Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deassy Destiani

Ketika Anak Usia Dini Bertanya Tentang Kondom

Eduaksi | Thursday, 19 Aug 2021, 13:54 WIB
Kurikulum Pembelajaran Anak Usia Dini

By Deassy M Destiani

Sebagai orang tua atau calon orang tua tentunya kita harus siap dengan berbagai pertanyaan yang mungkin dilontarkan anak. Ketika anak bertanya, itu artinya anak sedang belajar bersikap kritis. Disinilah “wow”momennya . Disitulah kesempatan orang tua untuk menjelaskan dengan benar sesuai ilmunya bukan hanya sekadar asal jawab saja.

Jadi sebelum anak bertanya, orang tua harus punya ilmunya terlebih dulu. Anak akan menanyakan segala hal yang terlihat, tercium, tersentuh, bahkan yang terlintas begitu saja di kepala mereka. Kadang pertanyaannya unik, aneh, menggelikan dan ajaib. Tak pernah terpikirkan sama sekali oleh kita, namun hal itu bisa ditanyakan mereka.

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan ajaib ini, ada kalanya orang tua merasa frustrasi. Mengapa jadi frustasi? Biasanya karena orang tua tidak tahu jawaban sebenarnya atau orang tua bingung menyusun kalimat sederhana yang dapat dimengerti anak. Akar dari rasa frustrasi ini adalah kesalahpahaman orang tua terhadap bahasa anak,

Terkadang orang tua menjawab pertanyaan anak melantur kemana-mana. Misalnya seperti kisah dibawah ini :

Sepulang sekolah, seorang anak perempuan yang masih duduk di SD bertanya pada ibunya,

"Ma, mau tanya, maksudnya ML itu apa ya?"

Mendengar hal itu, ibunya kaget dan bingung mau menjelaskan mengenai hal itu.

"Bagaimana Ma? Kok mama diam saja?" kata si anak mendesak ibunya.

"Wah. Kamu dengar dari mana istilah itu?"

"Loh kok Mama malah balik tanya... kan tinggal jelasin saja.. aku tuh cuman pengen tau artinya apa?"

"Hmm, tapi bagaimana ya? Ok deh.. kamu mama anggap sudah cukup dewasa untuk tahu. Ini adalah pendidikan seks, mama kasih tahu. ML itu artinya making love atau berhubungan badan. Dilakukan kalau kamu sudah menikah agar mempunyai keturunan. Bahayanya adalah banyak pasangan yang tidak menikah tetapi melakukan ML..." Kata sang ibu menjelaskan.

"Hal seperti itu dosa anakku, dan disebut sebagai dosa zina. Karena kamu anak perempuan, maka kamu harus bisa jaga diri, jangan sampai ML jika belum menikah.. Nah, sekarang gantian mama ingin tahu, kamu tahu dari mana istilah ML itu?"

Si anak dengan tenang membuka tasnya dan menunjukkan selebaran iklan kepada ibunya, "Ini lho Ma... Di gambar botol air mineral ada 300 ml, 600 ml yang gede 1500 ml.."

*******

Begitulah yang terjadi, jawaban yang diberikan kepada anak jauh dari apa yang dimaksud. Orang tua terlalu jauh berpikir karena di otaknya kata “ML” itu konotasinya negatif. Padahal “ML” bisa jadi mili liter atau bahkan semacam games seperti Mobile Legend yang saat ini juga sering disingkat sebagai “ML”.

Dari kisah diatas, akhirnya anakpun gagal memahami apa yang dia ingin tahu. Padahal anak-anak sangat penasaran mengapa segala sesuatu terjadi. Pertanyaan "mengapa" yang mereka ajukan sebenarnya bagian dari perkembangan perbendaharaan katanya. Sejak usia tiga tahun, anak menunjukkan kehausannya untuk memahami dunia sekitar. Ia sangat ingin berkomunikasi. Anak usia dini juga sangat termotivasi untuk belajar.

Kata "mengapa" bukan semata untuk memperoleh informasi, tetapi juga untuk berkomunikasi. Di usia empat tahun, kata "mengapa" langsung dikaitkan dengan sesuatu seperti, "Mengapa anjing menggonggong?" Yang ada dalam pikiran anak saat ia bertanya "mengapa" adalah "Wah, menarik sekali. Ceritain dong, anjing itu apa?" Anak-anak usia ini tidak butuh penjelasan sebab-akibat. Mereka hanya butuh perhatian dan ingin Anda bercerita apa saja tentang sesuatu yang ditanyakan.

Jadi jika menemukan pertanyaan anak yang aneh-aneh, maka kitalah yang perlu memahami bahwa anak cukup kritis karena imajinasi mereka sungguh luar biasa. Mereka mempunyai rasa penasaran yang sangat besar, bahkan melebihi kita.

Sebagai orang tua, apabila benar-benar tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan uniknya, jawab saja sejujur mungkin dan sebisa kita. Tidak perlu berbohong jika memang tidak tahu jawabannya. Kita bisa bilang, ‘nak... nanti ibu cari jawabannya dulu yah dibuku. Soalnya pertanyanmu itu hebat banget, ibu sampai gak tahu jawabannya. Nanti kita cari sama-sama di buku Ensiklopedia ya.”

Sesungguhnya yang dibutuhkan anak itu adalah respon orang tuanya. Apakah orang tuanya memerhatikan dia, apakah orang tuanya mau meluangkan sedikit waktunya untuk memikirkan pertanyaan yang dia punya. Karena jika kita sudah tahu caranya, kita bisa merespons dengan bijaksana pertanyaan apa pun dari anak.

Jawaban orang tua itu tidak harus selalu dipahami anak. Terkadang setelah dijawab anak akan manggung-manggut. Entah mengerti atau tidak. Disinilah orang tua harus bijak. Jika anak tidak bertanya lagi jangan teruskan atau kembangkan jawaban melebih apa yang ingin di dengar anak.

Khusus untuk jawaban menyangkut pendidikan seksual cukup katakan apa yang bisa dengan mudah dipahami anak. Mungkin anak akan terdiam setelah mendengar jawaban kita. Saat terdiam itu anak biasanya sedang memproses jawaban tersebut dalam otaknya. Ketika proses itu terjadi bisa saja anak tersebut bingung dengan jawaban orang tuanya, namun seiring berjalan waktunya suatu saat dia akan paham juga dengan jawaban orangtuanya.

Contoh :

Ketika anak saya usia 5 tahun diajak ke mini market. Disana ada beberapa kotak kondom yang dipajang dekat kasir. Ketika akan membayar belanjaan, anak saya bertanya, “Ma.. itu apa sih kok warnanya lucu kayak permen.”

Orang tua mana yang tidak kaget mendengar pertanyaan anak di depan umum seperti itu. Yang saya lakukan adalah tarik nafas, mencoba berpikir menggunakan otak kiri, bukan emosi. Saya gunakan cara berpikir logis dan mencoba membahasakannya dengan bahasa anak 5 tahun. Lalu saya jawab begini, “Oh itu bukan permen nak, itu namanya kondom. Itu salah satu obat untuk orang dewasa. Tidak boleh digunakan anak anak”.

Saya mengatakan itu adalah obat. Memang benar itu kan obat untuk kontrasepsi. Saya memilih kata “obat” bukan “alat kontrasepsi” sebab anak usia 5 tahun belum perlu tahu tentang berbagai jenis alat kontrasepsi. Kata “obat” anak anak sudah familiar karena beberapa kali mereka minum obat. Cara berpikir anak usia dini itu masih dalam tahap pra operasional konkrit. Jadi tidak bisa menelaah hal-hal yang masih sukar dipahami tanpa mereka melihatnya sendiri secara konkrit atau nyata. Jika kita menggunakan kata “alat kontrasepsi” bisa jadi mereka tanya lagi, “itu alatnya seperti apa? Cara pakainya gimana?” Wah bisa mabok deh jawabannya. He..he...he..

Jadi kunci menjawab pertanyaan anak usia dini adalah pilihan kata. Semakin pas pilihan katanya anak biasanya semakin puas dengan jawabannya. Dia tidak akan bertanya lagi kemana-mana.

Untuk semua orang tua, hindarilah jawaban yang mematahkan rasa ingin tahunya seperti "Jangan tanya terus kenapa, sih!" atau "Diam ah, jangan ganggu mama!" meski ia terlihat biasa saja, saat menerima jawaban Anda, bisa jadi hal ini akan membuatnya kurang percaya diri karena merasa tidak dihargai. Setelah itu dia akan menjadi anak yang malas bertanya sebab respon orang tuanya tidak baik. Padahal bertanya itu adalah salah satu proses dalam belajar,

Ketimbang mematahkan semangatnya itu, lebih baik jawab tidak tahu, jika memang begitu kondisinya. Tidak ada salahnya menjawab "Mama tidak tahu, bagaimana kalau kita sama-sama cari jawabannya?" Anda bukan orang yang tahu segalanya, kan? Wajar saja. Akan lebih baik, saat orangtua dan anak sama-sama mencari tahu jawabannya dari buku, internet atau bertanya langsung kepada ahlinya jika pertannyaannya memang merupakan bidang spesifik.

Pertanyaan "mengapa" yang terus-menerus memang melelahkan. Anda kerap berharap "mengapa" itu segera berakhir. Meski begitu, Anda tetap perlu sabar. Menjawab pertanyaan atau sekadar bercerita tentang topik yang diajukan anak merupakan "makanan" bagi rasa ingin tahunya. Jawaban-jawaban Anda juga dapat meningkatkan rasa ingin tahu anak dan memberi pemahaman lebih baik tentang arti kata.

Hal penting lainnya yang perlu diingat adalah berikan mereka proses dalam mendapatkan jawaban, karena ia akan belajar cara mencari jawaban sendiri dalam setiap kesulitan. Jika kita menanggapi pertanyaan mereka dengan sungguh-sungguh, mereka juga akan belajar bersungguh-sungguh dalam setiap hal.

Bangunlah komunikasi dua arah melalui cara merespons pertanyaan anak dengan bijaksana. Jika kita selalu merespons dengan baik dan bijaksana, kitalah yang akan dicari anak jika ia butuh jawaban. Sangat riskan jika pertanyaan anak sudah berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan, lalu ia mendapatkan jawaban dari orang yang salah pula. Pastikan bahwa kitalah yang pertama dicari anak jika ia mempunyai pertanyaan.

Salam Sehat!!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image