Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fitriyan Zamzami

Belajar dari Para Budak

Sejarah | Wednesday, 18 Aug 2021, 09:24 WIB

Buku "The Servants of Allah" karya Prof Sylviane Diouf sedianya sudah lama terbit, sekitar 20 tahun lalu. Ia kisah tentang para Muslim yang direnggut dari tanah air mereka di Afrika Barat dan dijadikan budak di Amerika, selatan dan utara pada abad ke-18 hingga abad ke-19.

Tapi sejak lama juga saya skeptis dengan isinya. Ini kebodohan di bagian saya karena ternyata isinya tak hanya istimewa secara akademis, tapi juga bikin malu hati banyak di antara kita orang yang mengaku Islam. Berikut beberapa contoh kisah di dalamnya.

Omar ibn Said, salah satu budak Muslim yang ternyata merupakan ulama di kampung halamannya di Senegal. (Randolph Linsly Simpson African-American Collection, Beinecke Rare Book & Manuscript Library, Yale University)

Di Karibia, ada toko buku yang menjual Alquran berbahasa Arab. Pemilik toko buku itu mencatat, para budak akan menabung sedikit demi sedikit bertahun-tahun hanya untuk bisa memiliki Alquran tersebut. Harta itu kemudian mereka jaga sepenuh hati bahkan jika perlu dengan mengorbankan nyawa.

Namanya budak, tentu sukar punya harta untuk dizakatkan. Namun, para budak Muslimah tercatat kerap mengumpulkan biji demi biji gandum atau beras. Yang terkumpul itu kemudian dijadikan kue bernama sarakat, dari kata sadaqah, yang dibagikan di akhir Ramadhan.

Meski secara syariat lepas dari kewajiban karena kehidupan penuh kerja paksa sebegitu, para budak tetap berpuasa. Di Brasil, mereka sahur dan berbuka secara sederhana, menahan lapar dan haus sementara bekerja tanpa henti di ladang-ladang.

Dari kalangan para budak, sejumlah saksi menuturkan sejenis tarian melingkar yang dilakukan para budak Muslim di waktu-waktu tertentu. Tarian itu dikenal dengan nama Shout. Sylviane Diouf, penulis buku ini menyimpulkan, nama itu berasal dari kata "shawt" alias sekali putaran dalam ritual tawaf di Ka'bah. Para budak tentu tak punya daya ke Makkah, dan "tarian" itu satu-satunya yang bisa mereka lakukan untuk mengobati rindu.

Para budak juga terus mencuri-curi waktu untuk shalat. Sekali waktu ada budak pria yang kedapatan dan dilempari mukanya dengan tanah oleh anak tuan tanah. Sang budak justru kemudian yang dipenjarakan karena hal itu.

Meski Alquran membolehkan mengonsumsi makanan haram jika kelaparan mengancam nyawa, para budak terekam tetap setia hanya mengonsumsi yang halal saja. Mereka di sela beban kerja yang mematikan itu tetap mencoba bercocok tanam sendiri agar bisa makan makanan halal.

Di sejumlah wilayah di Amerika Selatan, segelintir budak yang berhasil membebaskan diri membentuk semacam asosiasi. Mereka kemudian mengumpulkan uang untuk membebaskan satu demi satu budak lainnya. Jika datang kapal budak, mereka yang duluan naik menawar budak Muslim untuk dibeli dan dibebaskan. Saat Kerajaan Inggris kemudian mengeluarkan kebijakan abolisi, di wilayah tempat asosiasi-asosiasi ini berdiri tak lagi ada satupun budak Muslim.

Servants of Allah (2001), Sylviane Diouf

Tak seperti rekan-rekan mereka yang pagan, para misionaris dan majikan menuliskan bagaimana sukarnya membuat para budak Muslim ini beralih agama. Ada satu kisah, seorang budak yang tertangkap dan coba dikonversi berulang kali hanya mengucapkan dua kata, "Allah, Muhammad Allah, Muhammad "

Di antara para budak yang di bawa ke Amerika, tak sedikit yang di negara asalnya merupakan "marabout" alias ulama. Mereka menjaga ilmu mereka hanya berbekal tongkat kayu dan pasir di tanah karena tak punya akses ke tinta dan kertas.

Pada akhirnya, para budak Muslim ini juga yang memicu sejumlah pemberontakan di tanah koloni. Selepas pemberontakan-pemberontakan tersebut, tentu para budak Muslim yang masih terikat maupun yang berhasil mebebaskan diri dihabisi. Kerajaan Spanyol bahkan mengeluarkan kebijakan tak boleh lagi mendatangkan budak Muslim. Hal ini, ditambah sejumlah faktor lainnya menghilangkan perlahan jejak Islam di antara para budak hingga baru belakangan ditemukan lagi.

Dan yang akhirnya ditemukan lagi tersebut menuturkan kisa-kisah yang demikian heroik, Kisah para Muslim dan Muslimah yang seperti pendahulu mereka pada masa Rasulullah (semoga damai selalu untuknya), Bilal ibn Rabbah (semoga Allah selalu meridhoinya), menahan segala kesukaran untuk berpegang teguh pada agama Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image