Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Samdy Saragih

Menjaga Si Emas Hitam Tetap Berkilau di Nusantara

Bisnis | Monday, 02 Aug 2021, 16:48 WIB
Ilustrasi minyak bumi dan lada. Sumber: shutterstock

Pernah pada suatu masa, rempah-rempah Nusantara menjadi buruan berbagai bangsa Eropa. Mereka meraciknya untuk mengawetkan daging, menyedapkan masakan, hingga menangkal penyakit.

Berkat segudang manfaatnya itu, rempah-rempah dihargai setara dengan mineral berharga. Lada hitam sampai pernah dijuluki sebagai emas hitam karena mahal harganya dan sukar pula mendapatkannya.

Bagaimana tidak, rempah-rempah itu hanya tumbuh nun jauh di Asia. Lada aslinya dari daratan India, tetapi kemudian bisa ditanam di Sumatra dan Jawa. Untuk cengkeh dan pala malah endemik Kepulauan Maluku.

Guna memburu rempah-rempah itu, para penguasa Eropa menyiapkan ekspedisi maritim. Ratu Spanyol mengirimkan pelaut Christopher Columbus, tetapi terdampar di Benua Amerika pada 1492. Sebaliknya, Portugis sukses menemukan rute laut ke India pada 1498 lewat Vasco da Gama dan kemudian berlanjut ke Nusantara melalui penjelajah berbeda.

Jejak Portugis kemudian diikuti oleh Belanda, Prancis, hingga Inggris. Sejarah mencatat Belanda membentuk Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC) pada 1602 untuk menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara.

Popularitas rempah-rempah kemudian memudar karena perubahan selera masyarakat Eropa. Akan tetapi, Belanda mendapatkan penggantinya dalam wujud kopi, teh, tebu, hingga tembakau. Sekalipun pemberontakan di mana-mana, Belanda siap merogoh kocek demi tetap mencengkeram negeri ini.

Sebagai penguasa Nusantara, Belanda otomatis menguasai seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalam buminya. Ini termasuk ketika minyak bumi menetes dari bawah tanah Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara. Sebagaimana dikutip dari buku Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950–1960an, Royal Dutch, cikal bakal Shell, didirikan pada 1890 untuk mengebor minyak Pangkalan Brandan.

Ternyata, cadangan hidrokarbon ditemukan di sejumlah titik lain. Tak hanya Shell, perusahaan asing dari berbagai negara menggarap ladang-ladang minyak itu. Saat Jepang menginvasi Indonesia pada awal 1942, kawasan incaran pertama adalah kilang minyak Tarakan, Kalimantan Utara.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia bertekad mengelola sendiri kekayaan alamnya. Sempat ada semangat nasionalisasi, tetapi tidak semua korporasi asing diusir. Saat Orde Lama, ladang minyak Blok Rokan tetap dikelola oleh Caltex, yang kini bernama Chevron. Begitu pun kala Pertamina memegang monopoli migas selama Orde Baru, korporasi asing masih dibolehkan berkontrak dengan perusahaan negara itu.

Di bawah cengkeraman Pertamina inilah Indonesia kecipratan rezeki minyak. Dekade 1970-an sampai 1990-an produksi selalu di atas 1 juta barel per hari. Sesekali, harga minyak melambung karena krisis di Timur Tengah sehingga untung menjadi berlipat-lipat.

Pada masa kejayaan ini, jargon minyak sebagai ‘emas hitam’ mengemuka. Serupa dengan era keemasan lada, perusahaan dan negara menikmati kemakmuran.

MASA SURAM

Sampai kemudian titik balik itu pun harus datang. Jika era lada berakhir karena turunnya permintaan, minyak menciut dari hulunya. Di Indonesia, produksi menurun selagi pasar masih prospektif.

Di jenjang sekolah, generasi muda Indonesia sudah diingatkan bahwa minyak adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Itu betul. Jika rempah-rempah bisa terus di-’daur ulang’ dengan menanamnya, tidak demikian dengan sumber energi fosil. Tatkala sebuah sumur disedot terus-menerus, pada suatu titik minyak akan terkuras habis.

Masa hidup lapangan minyak berbeda-beda, tergantung dari cadangan hidrokarbonnya. Pangkalan Brandan, sebagai contoh, sudah setop produksi sejak 2006 (Pertamina.com, 2013). Sementara itu, Blok Rokan yang dikelola Chevron masih terus menyemburkan minyak. Bahkan blok ini akan dialihkelolakan kepada Pertamina pada Agustus ini.

Gara-gara mengandalkan lapangan tua, produksi minyak nasional menciut. Indonesia yang dulu mengekspor minyak, kini mengimpor pula. Konsumsi menggelembung, tetapi produksi minyak dalam negeri kian seret. Bila sebuah negara lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, negara itu dinamakan importir netto (net importer).

Kinerja penambangan minyak dan gas bumi Indonesia diawasi oleh sebuah institusi bernama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Nama bekennya adalah SKK Migas. Produksi harian perusahaan minyak atau secara legal disebut ‘kontraktor kontrak kerja sama’ (KKKS) tercatat di lembaga itu.

Catatan produksi penting karena migas mempengaruhi perekonomian negara. Target pendapatan negara dari minyak dalam APBN dipatok berdasarkan lifting yakni volume produksi yang siap untuk dijual oleh penghasil minyak. Jadi, KKKS diharapkan dapat mengebor dengan mengacu pada lifting APBN.

Pada tahun ini, lifting minyak dipatok sebesar 705.000 barel per hari. Untuk memenuhi target itu pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Per 31 Mei 2021, SKK Migas mencatat realisasi capaian harian sebesar 670.000 barel. Di sisi lain, kebutuhan minyak nasional sudah lebih dari dua kali lipatnya.

Tabel produksi minyak dan kondensat nasional. Sumber: SKK Migas, 2021

Pandemi Covid-19 mungkin bisa menjadi salah satu sebab lesunya produksi. Akan tetapi, sebelum pandemi pun lifting sulit tercapai dengan berbagai alasan. Jika hanya mengandalkan sumur tua, tentu kemampuan mengeluarkan minyak tidak maksimal.

TARGET SEJUTA

Kendati tren tidak terlalu mengembirakan, SKK Migas selaku regulator justru berambisi mengerek produksi minyak menjadi 1 juta barel per hari pada 2030. Selain minyak, SKK Migas menargetkan produksi gas bumi sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD). Artinya, dalam kurun 9 tahun ke depan terdapat tambahan 300.000 barel minyak per hari agar produksi tercapai. Bagaimana bisa?

Tanah Air Indonesia sebenarnya masih menyimpan cadangan migas untuk mencukupi target SKK Migas. Sampai saat ini, migas baru ditambang dari 20 cekungan sedimen. Sementara itu, berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki 128 cekungan sedimen.

Dari 108 cekungan non-produksi, sebanyak 27 cekungan sudah ditemukan cadangan hidrokarbon tetapi belum dieksploitasi. Sementara itu, 13 cekungan sudah dieksplorasi tetapi nihil hidrokarbon. Masih ada lagi 68 cekungan ‘perawan’ alias belum dieksplorasi sehingga masih potensial mengandung hidrokarbon.

Jika 27 cekungan sudah pasti ada migas, kenapa tidak dieksploitasi? Fenomena ini mungkin sebuah keanehan di mata orang awam. Bila cekungan diibaratkan sebagai harta karun, kok tidak diburu?

Pangkal soalnya adalah karakter dari bisnis minyak itu sendiri? Dalam sebuah webinar, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan bahwa industri hulu migas membutuhkan investasi jumbo, memakai teknologi tinggi, dan mengandung resiko besar. Belum lagi, raksasa-raksasa migas global itu diperebutkan oleh banyak negara produsen sehingga kompetisi berlangsung ketat.

Di tengah tantangan itu, SKK Migas menancapkan empat pilar untuk memenuhi target 2030. Keempat pilar itu adalah (1) optimalisasi lapangan yang sudah eksis, (2) percepatan riset ke produksi, (3) percepatan pelaksanaan enhanced oil recovery (EOR), dan (4) eksplorasi penemuan skala besar.

EOR dianggap menjanjikan untuk peningkatan produksi sumur tua. Melalui EOR, sebuah reservoir minyak diinjeksi dengan fluida agar tetesan minyak terus muncrat dari batuan di perut bumi. Fluida itu bisa berupa gas, air panas, alkalin, polimer, hingga mikroba. Menurut riset British Petroleum, pengeboran konvensional hanya mampu menyerap sepertiga cadangan reservoir. Teknik EOR diharapkan dapat menyedot minyak sampai tetes penghabisan.

Supaya kita dapat membayangkan betapa beratnya mencapai visi 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas, uang bisa dijadikan parameter. SKK Migas menaksir kebutuhan investasi sebesar US$187 miliar atau Rp2.711 triliun (kurs 1US$=Rp14.500) dalam kurun 2021-2030. Hampir separuh dari investasi untuk sektor minyak. Besarnya modal sektor migas sebanding dengan hasil. Paling tidak, potensi pendapatan kotor mencapai US$371 miliar dan pemasukan negara US$131 miliar.

Mengejar potensi keuntungan mungkin wajar dalam ekonomi, tetapi faktor ketahanan dan kedaulatan energi juga esensial sifatnya. Bauran Energi Nasional 2030 menetapkan kontribusi minyak bumi sebesar 23,0% dari total kebutuhan energi, merosot dari 28,8% pada 2020. Kendati porsinya turun, konsumsi minyak menjadi 2,27 juta barel per hari pada 2030, berbanding hanya 1,66 juta barel per hari pada 2020.

Dari target itu terlihat bahwa produksi 1 juta barel per hari pun tidak berhasil menutup konsumsi dalam negeri. Sebanyak 1,27 juta barel minyak terpaksa diimpor per hari agar kebutuhan domestik terjaga.

Berkaca dari proyeksi itu, produksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari harus tetap dipacu. SKK Migas selaku regulator sudah memiliki strategi untuk mencapai tujuan itu. Sejumlah insentif fiskal dan kemudahan perizinan sudah dijanjikan.

Pelaku usaha seharusnya bisa menangkap peluang tersebut. Menyusul alih kelola Blok Rokan pada bulan ini, Pertamina akan menguasai sekitar 70% produksi minyak nasional (Bisnis.com, 2020). Itu artinya, BUMN tersebut akan menjadi tumpuan terbesar untuk memacu produksi nasional.

Dibandingkan dengan korporasi asing, Pertamina tentu saja paling mengetahui iklim bisnis di Indonesia. Meski demikian, kemampuan Pertamina untuk mengakses modal mungkin masih kalah dengan perusahaan multinasional. Alhasil, insentif pemerintah sangat berarti untuk merangsang pelaku usaha hulu minyak.

Menilik cadangannya di puluhan cekungan, minyak bumi di Indonesia mungkin tidak akan habis dalam satu dekade mendatang. Akan tetapi, ikhtiar untuk menyedot kekayaan alam itu perlu tetap perlu dipelihara selagi belum ada pengganti sumber energi sepadan.

Lada, sebagai pendahulu emas hitam, juga tidak terus-menerus merajai pasar. Meski demikian, sampai saat ini masih saja ada peminat rempah itu baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Sekalipun Indonesia tidak sedominan masa silam, aroma lada masih terhirup di beberapa perkebunan.

Dalam buku Perdagangan Lada Abad XVII disebutkan bahwa Aceh dan Banten dulunya penghasil dan eksportir lada terbesar. Kini, menurut catatan Kementerian Pertanian, produsen lada terbesar beralih ke Bangka Belitung dan Lampung.

Kiranya seperti itu jualah minyak bumi kita. Mungkin sekarang Blok Rokan di Riau dan Blok Cepu di Jawa Tengah-Jawa Timur adalah pemasok terbesar minyak bumi nasional. Ke depan, siapa tahu lapangan minyak raksasa akan berpindah ke daerah lain yang masih menyimpan cadangan hidrokarbon.

Itu semua dalam rangka menjaga agar si emas hitam ini tetap berkilau di Nusantara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image