Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Harits Masduqi

Ibu: Selaksa Perjuangan, Seberkah Pengorbanan

Agama | 2021-07-20 18:30:55

Belasan tahun aktif di dunia maya aku jarang sekali bercerita tentang keluarga. Banyak temanku yang heran melihat foto-fotoku di media sosial yang selalu sendirian tanpa keluarga. Aku memang tidak terlalu demen mengunggah foto atau bercerita tentang keluargaku di dunia maya. Aku lebih suka menunjukkan foto keluarga dan menceritakannya kepada teman ketika bertemu secara langsung di dunia nyata.

Hari ini aku membuat pengecualian.

Aku bercerita sedikit tentang almarhumah Ibuku. Beliau adalah perempuan yang sangat kuat sepanjang hidupnya dan baru sakit berat menjelang beliau meninggal. Ibuku yang begitu luar biasa itu berjuang dan berkorban sendirian membesarkan ketujuh anaknya sejak Bapakku meninggal di awal tahun 1980-an. Bapakku yang seorang mubaligh dan guru Agama Islam di sekolah menengah meninggal di usia yang relatif muda, 51 tahun.

Ketika Bapakku meninggal, Ibuku baru berumur 42 tahun. Mbakyuku yang tertua baru berumur 19 tahun dan sedang kuliah di Universitas Islam Malang. Aku, putra keenam, hampir berumur 9 tahun, sedang adikku yang terkecil baru mau masuk sekolah dasar. Now can you imagine how hard our life was? Tak heran bila Ibuku berfilsafat, "Hidup adalah perjuangan. Jangan cengeng menjalani kehidupan.”

Aku tidak akan bercerita detil tentang perjuangan Ibuku di tulisan sederhana ini. Insya Allah, akan aku ceritakan di novel-novelku kelak. Yang pasti, keenam saudaraku relatif berhasil dalam hidupnya. Mayoritas kuliah dengan baik dan menjadi guru di SD, SMP, dan SMA. Aku? You can Google my name. Rasanya beberapa pembaca sudah tahu; aku berhasil menjadi dosen bahasa dan sastra di universitas top di Malang yang terkenal memiliki salah satu Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris terbaik di Indonesia. Alhamdulillah.

Dulu semasa Ibuku masih hidup, aku akui kadang aku kurang berdoa dengan sungguh-sungguh. Kenapa? Karena aku haqul yakin bahwa Ibuku sudah serius mendoakanku, paling tidak lima kali dalam sehari. Aku yakin Ibuku mencintai, merestui, dan mendoakan usahaku. Aku pun juga selalu berusaha untuk membanggakan dan menyenangkan hati beliau.

Anda boleh percaya, boleh tidak. Almarhumah Ibuku yang rajin beristighfar, memegang teguh rejeki halal, dan mengutamakan kejujuran itu seperti diberi kemudahan oleh Allah dalam hal berdoa untuk keberhasilan putra-putrinya. Terkadang doa Ibuku dikabulkan begitu cepat. Baru beberapa minggu aku menyampaikan ke Ibuku agar didoakan untuk lolos beasiswa presentasi ke Amerika, tak sampai dua bulan aku dinyatakan lolos memperoleh travel grant untuk presentasi makalah dan mengunjungi beberapa kota di Amerika! Hal yang sama juga terjadi ketika aku melamar beasiswa perjalanan ke beberapa kota di Benua Australia, Asia, dan Eropa. Alhamdulillah.

Mengapa aku begitu yakin dengan doa almarhumah Ibuku?

Aku sangat percaya bahwa "ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua". Kalau orang tua sudah merestui niat dan usaha kita, Insya Allah, Tuhan Semesta Alam akan mendukung kita meraih kesuksesan. Kecerdasan dan usaha itu penting, tetapi doa Anda dan orang tua JAUH lebih penting. Berbaik hatilah pada orang tua Anda, jaga lisan Anda, dan berusahalah untuk menyenangkan hati keduanya. Insya Allah, keajaiban akan datang pada kehidupan Anda.

“Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain”

(Ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kamarahan kedua orang tua).

Aku rangkai sekelumit cerita ini untuk sedikit menginspirasi pembaca, terutama untuk kawan-kawan yang ditakdirkan Allah menjadi single parent yang terus berusaha keras untuk menghidupi putra-putrinya dengan rejeki halal, teman-teman yang menjadi yatim/piatu sejak kecil, dan rekan-rekan yang istiqomah berjuang di jalan yang benar dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Semoga segala perjuangan Anda mendapatkan pahala dan barokah dari Allah Subhaanahu Wa Ta'ala. Aamiin Allaahuma Aamiin.

Sebagai akhir dari kisah nyata ini, ijinkan aku menutupnya dengan perihal yang menggembirakan. Alhamdulillah, almarhumah Ibuku sudah menunaikan ibadah haji sekitar tujuh tahun sebelum beliau meninggal. Menurut cerita beliau, selama ibadah haji itu beliau melaksanakan ibadah umrah berkali-kali yang diniatkan untuk Bapakku, Bapak/Ibu beliau, dan anggota keluarga lainnya yang meninggal terlebih dahulu. Menunaikan ibadah haji inilah mungkin prestasi beliau dalam hidup yang paling mengesankan. Sebuah prestasi yang membanggakan, selain membesarkan ketujuh putra dan putrinya menjadi insan budiman yang hatinya selalu tergerak untuk mendoakan kedua orang tuanya, Insya Allah.

"Allahummaghfirlaha warhamha wa ‘afiha wa’fu ‘anha wa akrim nuzulaha wawassi’ madkhalaha waj’alil jannata maswaha. Allahumma la tahrimna ajraha wa la taftinna ba’daha waghfir lana wa laha."

"Allahummaghfirli wali walidaya warhamhuma kama robbayani shoghiro. Aamiin ya Robbal 'Aalamiin."

Bukan Bumi Manusia tapi Bumi Allah, Idul Adha 2021

@HaritsMasduqi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image