Reformasi Intelijen Negara Dalam Penegakan Politik Sipil
Info Terkini | 2021-07-14 16:26:51Oleh: Rafly Ramadhan
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkeinginan membentuk lembaga intelijen baru di Indonesia, yaitu Badan Intelijen Pertahanan (BIP) yang akan berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemhan). Dinilai janggal ketika Kemhan di beberapa negara memiliki badan intelijen tersendiri, sedangkan di Indonesia termasuk Kemhan justru tidak memilikinya. Kemhan menilai rencana ini bukan hal yang baru, karena sudah diwacanakan sejak tahun 2008.
Bainstranas merupakan satuan kerja di Kemhan yang dibentuk sejak 2014, yang bertugas memberikan informasi intelijen kepada Menhan untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan. Keinginan ini menjadi polemik, menurut mantan Kepala Badan Intelejen Strategis TNI, Soleman B. Ponto, karena tugas Menhan membuat kebijakan pertahanan, sedangkan penyelenggaraannya dilakukan oleh Panglima TNI dan lembaga terkait menurut bentuk ancamannya. Sehingga informasi intelijen yang diperlukan Kemhan dapat disuplai dari Bais TNI, BIN, dan Atase Pertahanan. Di luar itu, Kemhan juga sudah memiliki Ditjen Strategi Pertahanan guna menganalisis kebijakan.
Intelijen pertahanan merupakan produk intelijen strategis yang berinstrumen dalam perumusan strategi pertahanan raya guna menjadi dasar penyusunan kebijakan umum dan kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara. Rangkaian kegiatan intelijen pertahanan terdiri dari perkiraan intelijen pengamatan terhadap lingkungan untuk mengategorikan ada negara bersahabat dan yang tidak bersahabat, dan perkiraan ancaman.
Muncul resistensi, gagasan intelijen pertahanan dapat menciptakan birokrasi baru komunitas intelijen dan sekedar alokasi jabatan di kalangan perwira TNI. Distorsi pemahaman ini diperkuat trauma sejarah politik intelijen yang digunakan untuk kepentingan politik rezim. Penggunaan intelijen yang mengabdi pada kekuasaan rezim menyebabkan terjadinya aksi pelanggaran HAM saat Orde Baru.
Pelanggaran ini melibatkan aparat, unsur militer yang terlibat lepas dari jerat hukuman melalui impunitas yang diterapkan, sementara kepolisian dan lembaga yudisial adalah lemah. Di masa menjelang runtuhnya Orde Baru, jaringan BAIS tersebar hingga pelosok Koramil di tingkat kecamatan/kelurahan. Masalah koordinasi merupakan hal krusial yang memerlukan pembenahan berkelanjutan terhadap kinerja komunitas intelijen. BAIS TNI misalnya, bertanggung jawab pada Mabes TNI, BIN bertanggung jawab pada Presiden, sementara Polri pada Presiden.
Secara struktural, intelijen yang diproduksi oleh BAIS dapat diberikan pada Presiden atas diskresi Panglima TNI, sementara Presiden dapat memberikan intelijen yang dihasilkan BIN pada Dephan dan bukan sebaliknya. Reformasi intelijen Indonesia tidak terlepas dari konteks supremasi sipil. Hal ini kemudian secara riil dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2001, yaitu dengan perubahan BAKIN menjadi BIN dan pertanggungjawaban intelijen pada Presiden dan DPR. Sebelum lahir UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN berada di bawah kendali pemerintahan hasil Pemilu (supremasi sipil), dengan Kepala BIN yang ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden. Meskipun kemudian lahir UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN dianggap masih mengadopsi karakter militeristik yang konservatif.
Sebagai konsekuensi atas reformasi hubungan sipil-militer yang belum tuntas, intelijen pertahanan Indonesia belum sejalan dengan upaya penguatan sistem demokrasi bagi kepentingan nasional. Seharusnya, kesadaran ini meletakkan supremasi sipil sebagai pemegang otoritas tidak perlu ragu lagi untuk merealisasikan gagasan intelijen pertahanan agar Kemhan benar-benar fokus bagi penanganan tugas di bidang pertahanan dengan segala kemampuan deteksi dan strategi penanganannya terhadap ancaman yang muncul. Substansi intelijen pertahanan perlu menjadi revisi terbatas UU Nomor 17 Tahun 2011, karena UU ini masih menganut intelijen pertahanan masih dipegang oleh TNI dan bukan oleh Menhan sebagai otoritas sipil yang bertanggung jawab langsung ke Presiden sebagai pemegang komando tertinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.