Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Boy Anugerah

Perlu Kebijakan Strategis Dalam Merespons Rivalitas Amerika dan Tiongkok di Indo Pasifik

Politik | 2024-07-05 03:35:24

Sejak akhir 2011, Amerika Serikat secara tegas menempatkan kawasan Asia Pasifik sebagai kawasan utama bagi perluasan pengaruh dan kepentingan nasionalnya. Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Barrack Obama, secara eksplisit menegaskan pentingnya kehadiran kembali Amerika Serikat di kawasan tersebut setelah sekian lama pemerintah Amerika Serikat menitikberatkan kebijakan-kebijakannya di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Secara garis besar, ada dua hal penting yang mendasari mengapa kawasan Asia Pasifik menjadi suatu urgensi bagi Amerika Serikat untuk hadir. Pertama, motif ekonomi, serta kontrol dan penguasaan sumber daya alam di kawasan. Kedua, melakukan perimbangan kekuatan (Balance of Power) terhadap kehadiran Tiongkok di kawasan tersebut.

Urgensi kawasan Asia Pasifik bagi Amerika Serikat dapat dilihat dari langkah-langkah teknis yang diambil seperti kunjungan Presiden Barrack Obama pada 2011 ke Darwin, Australia, dengan tujuan untuk menjalin kerja sama strategis dengan Australia melalui mekanisme penempatan 2.500 personel marinir Amerika Serikat di pangkalan militer Australia di Darwin, serta kunjungan Menlu Hillary Clinton ke Indonesia pada 2012 untuk memberikan pandangan Amerika Serikat terkait konflik di Laut Tiongkok Selatan yang pada ujungnya mengundang protes diplomatik dari Tiongkok. Selain itu, kebijakan eksisting yang sudah ditempuh Amerika Serikat demi menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik adalah memiliki pangkalan udara Hickam di Hawaii, pangkalan militer Yokota, Jepang, dan pangkalan militer Osan, Korea Selatan[1].

Upaya Amerika Serikat untuk menjadi kekuatan dominan dan berpengaruh di kawasan Asia Pasifik menemukan batu sandungan melalui peningkatan pengaruh dan kekuatan Tiongkok, baik secara militer maupun perekonomian. Hal inilah yang menimbulkan rivalitas kedua negara seperti yang pernah diperagakan pada masa perang dingin. Untuk membendung pengaruh Tiongkok yang terus membesar, Amerika Serikat menempuh kebijakan counterbalancing atau pembendungan pengaruh. Strategi yang dipilih oleh Amerika Serikat ini merupakan pengejawantahan prinsip perimbangan kekuatan (Balance of Power) dalam hubungan antarnegara, khususnya negara-negara yang memiliki benturan kepentingan nasional satu sama lain.[2]

Fenomena rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di Indo Pasifik merupakan dinamika lingkungan strategis global yang harus dicermati secara saksama oleh Pemerintah Indonesia karena mengandung ancaman yang bersifat potensial. Pertarungan dua kekuatan adidaya ini berada di banyak aspek krusial hubungan antarnegara seperti diplomasi, regionalisasi, perlombaan teknologi mutakhir, rantai pasok dan konektivitas, serta penguasaan pangsa pasar. Tentunya derajat ancaman yang ada tidak bisa dianggap berada di level rendah karena menyasar hampir seluruh aspek vital kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir yang lebih banyak bekerja sama dengan Pemerintah Tiongkok seperti dalam kasus pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dan hilirisasi nikel di Sulawesi menimbulkan resistensi politik ekonomi dari Jepang dan Uni Eropa yang notabene merupakan sekutu solid Amerika Serikat di Pasifik. Jepang menilai pemilihan Tiongkok dalam pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tidak bijak karena Jepang lebih berpengalaman dalam hal operasionalisasi kereta cepat. Sedangkan hilirisasi nikel di Indonesia dinilai Uni Eropa melanggar liberalisme perdagangan di WTO dan lebih banyak menguntungkan Tiongkok yang mendanai pembangunan pabrik smelter di Indonesia.

Menyikapi rivalitas kedua major power tersebut, Indonesia yang berkomitmen untuk menjadi kekuatan dunia yang berpengaruh perlu mengambil langkah kebijakan luar negeri yang bersifat strategis, mampu merespons ancaman dan tantangan yang ada, meminimalisasi semua potensi risiko, serta mengoptimalkan pencapaian kepentingan nasional. Dalam tataran filosofis, objektif utama kebijakan luar negeri Indonesia adalah mewujudkan perdamaian abadi berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai baik tujuan nasional yang bersifat jangka panjang dan kepentingan nasional yang bersifat jangka pendek, konsepsi PSI perlu dijadikan landasan dalam perumusan strategi dan kebijakan luar negeri Indonesia. Strategi yang dilakukan, dalam konsepsi PSI, dapat dilakukan baik dengan menggunakan strategi defensif maupun strategi ofensif. Penjelasannya sebagai berikut;

Strategi Defensif;

Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di Indo Pasifik telah memicu pembentukan proksi melalui berbagai aliansi strategis negara-negara kawasan. Amerika Serikat bersama Jepang, India, dan Australia membentuk forum dialog keamanan segiempat bernama QUAD untuk merespons dinamika keamanan kawasan. Hal ini tentu direspons oleh Tiongkok melalui penguatan kerja sama militer dengan Rusia dalam kerangka regional Shanghai Cooperation Organization (SCO). Tiongkok juga melakukan ekspansi ekonomi melalui kebijakan Silk Road dan Belt Road Initiative (BRI) dengan menjadikan negara-negara Asia Tengah, Afghanistan, dan negara-negara Asia-Afrika sebagai pangsa pasar. Menyikapi situasi ini, Indonesia perlu menerapkan strategi defensif dengan tidak terprovokasi dan menjadi bagian dari allignment manapun. Indonesia harus memposisikan dirinya netral dan berpijak pada prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif yang selama ini menjadi pedoman. Strategi defensif ini perlu diterapkan mengingat sifat ancaman yang bersifat tidak langsung. Namun demikian, kewaspadaan nasional harus tetap tinggi. Pemerintah Indonesia dapat menugaskan BAIS TNI melalui kantor atase pertahanan di negara-negara Pasifik agar terus mencermati perkembangan yang ada dan senantiaasa memberikan rekomendasi strategis kepada pemerintah.

Strategi Ofensif;

Magnitudo rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok sangat terasa di kawasan Asia Tenggara yang menjadi lebensraum bagi Indonesia dan negara-negara kawasan, terutama dalam hal konflik Laut Cina Selatan. Konflik ini pada awalnya mendudukkan Indonesia sebagai non-claimant state dan mediator. Namun demikian, perkembangan strategis regional dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa Tiongkok tidak segan untuk melakukan pelanggaran terhadap hak berdaulat Indonesia di wilayah Laut Natuna yang notabene merupakan ZEE Indonesia. Sebagai dampaknya, terjadinya penggerusan sumber daya maritim dan sumbatan produktivitas terhadap nelayan lokal Natuna.[3] Menyikapi kondisi ini, Indonesia sudah semestinya menerapkan strategi ofensif. Strategi ofensif ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk gelar kekuatan militer (naval presence) di Laut Natuna Utara, penempatan sistem pertahanan negara secara komprehensif, termasuk tindakan kuratif dengan melakukan pencegatan dan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan tradisional dan kapal penjaga pantai Tiongkok yang melanggar ZEE Indonesia. Pemerintah Indonesia juga tidak perlu segan untuk menerapkan hukum positif nasional terhadap pelanggaran tersebut mengingat pelanggaran dilakukan di wilayah yurisdiksi Indonesia. Selama ini, pemerintah melalui Kemenlu RI masih bersikap defensif dengan hanya mengajukan nota diplomatik kepada Kedubes Tiongkok di Jakarta. Strategi dan aksi yang ofensif akan lebih menaikkan marwah Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Referensi

[1] Nainggolan, Poltak Partogi. “Kepentingan Strategis Amerika Serikat di Asia Pasifik”. Jurnal Politica Vol. 4(1), Mei 2013. Halaman. 77-98. Diakses di https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/329/263.

[2] Al Syahrin, M Najeri. “China Versus Amerika Serikat: Interpretasi Rivalitas Keamanan Negara Adidaya di Kawasan Asia Pasifik”. Jurnal Global dan Strategis, Th. 12, No. 1, Januari-Juni 2018. Halaman. 150-151.

[3] Anugerah, Boy, “Menyoal Konflik Antarnegara di Laut Cina Selatan”, diiakses di https://kumparan.com/boy-anugerah/menyoal-konflik-antarnegara-di-laut-cina-selatan-1vC5dD6b7fFm.

Xi Jinping dan Joe Biden

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image