Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Komunitas Ujung Pena

PPDB Zonasi Mereduksi Hak Pendidikan

Eduaksi | Monday, 05 Jul 2021, 17:48 WIB

Lagi-lagi kisruh dalam PPDB sistem zonasi tahun ini, hampir setiap tahun terjadi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Mulai dari adanya nepotisme, suap (riswah) agar anaknya bisa diterima di sekolah favorit jamak diketahui masyarakat. Ditambah adanya sistem zonasi beberapa tahun terakhir menambah kekisruhan dalam PPDB. Alhasil orang tua dibuat kebingungan mencari sekolah anaknya, karena tidak semua sekolah yang berada di zonasi adalah sekolah "favorit". Pemerintah mengklaim kenapa dibuat sistem zonasi agar tidak terjadi ketimpangan dalam kualitas pendidikan. Namun apakah dengan sistem zonasi menjadi solusi untuk mengatasi masalah tersebut? Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam kualitas pendidikan. Mengingat tidak semua sekolah yang ada di negeri ini memiliki kualitas dan sarana prasarana yang sama.

Ummu Abdul Hamid

Beberapa waktu lalu perwakilan orang tua calon peserta didik, melakukan aksi protes atas kebijakan zonasi di depan halaman kantor Disdik kota Balikpapan. (Tribunnews.com). Selain itu, protes datang juga datang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan, meminta agar segera dievaluasi penerapan sistem zonasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). (Balikpapan.prokal.co).

Sudah selayaknya kebijakan zonasi ini dibuat dengan pertimbangan yang matang sebelum dikeluarkan, yakni dengan persiapan sarana prasarana yang memadai sehingga tidak menimbulkan kisruh ditengah masyarakat. Lantas benarkah sistem zonasi adalah solusi mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan?

Zonasi solusi tambal sulam sistem kapitalisme

Sejatinya yang menyebabkan ketimpangan kualitas pendidikan dikarenakan, minimnya peran negara memfasilitasi sektor pendidikan. Dimana sektor ini tidak sepenuhnya diurus oleh negara, namun menggandeng pemilik modal yang memiliki tujuan profit bukan untuk pelayanan. Sehingga wajar, sekolah yang bagus dan berkualitas hanya bisa dijangkau orang yang mampu saja. Itulah sistem kapitalis yang menjadi akar permasalahan dalam sistem pendidikan kita. Jika dengan alasan zonasi adalah untuk menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan sejatinya hanyalah solusi tambal sulam semata. Pelabelan sekolah favorit atau tidak favorit hanya ada dalam sistem kapitalis sekuler.

Selain itu, yang menjadi asas sistem pendidikan kita adalah sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Dimana agama tidak dipakai sebagai landasan dalam membuat kurikulum, metode pembelajaran, sarana dan prasarana dibangun bukan untuk melayani umat tapi demi materi. Maka wajar saja, jika output sistem pendidikan sekuler adalah anak yang serba bebas tanpa aturan. Seolah-olah aturan (baca:agama) adalah membelenggu kebebasan bertingkah laku. Apalagi dengan kebijakan merdeka belajar, maka makin sempurnalah sekulerisme dalam sistem pendidikan kita. Saat ini kita dapati anak-anak yang mumpuni secara intelektual namun "bermasalah", yakni marak gaul bebas, narkoba, tawuran, hedonis dan sebagainya. Ini semua terjadi karena dipinggirkannya agama untuk mengatur kehidupan manusia.

Namun, benarkah pembiayaan yang menjadi problem bangsa ini dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas? Faktanya, Indonesia adalah negara yang kaya, nampak dari hasil hutan, laut dan tambang yang berlimpah. Namun karena pengelolaannya yang tidak sepenuhnya dikelola oleh negara, sehingga seolah-olah Indonesia adalah negara miskin yang tidak mampu membiayai negaranya.

Negara bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Menyelenggarakan pendidikan terbaik wajib diupayakan oleh negara. Termasuk dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat bukan demi mencari keuntungan. Karena pendidikan adalah hak rakyat dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya karena itu adalah tanggung jawab negara. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: " setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. (HR. Muslim).

Dalam sistem Islam, Aqidah Islam menjadi asas dalam menyelenggarakan pendidikan. Selain itu tujuan pendidikan dalam Islam adalah mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Yakni memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Serta mumpuni dalam tsaqofah Islam dan terdepan dalam sains teknologi. Wajarlah dalam peradaban Islam banyak lahir ulama, ilmuwan, orang-orang ahli dibidangnya.

Metode pembelajaran dan kurikulum yang digunakan mengacu pada aqidah Islam, sehingga setiap pelajaran ada proses pengkaitan terhadap keberadaan Allah sebagai pencipta dan pengatur. Fasilitas pendidikan sarana dan prasarana, serta gaji tenaga pengajar dibiayai penuhi oleh negara yang diambilkan dari pos Baitul mal yang berasal dari harta ghanimah, fa'i, kharajiyah, usyriyah, barang tambang, hutan, dan lain-lainnya.

Hal tersebut pernah dicontohkan pada masa Kekhilafahan Abbasiyah ilmu pengetahuan berkembang pesat, sehingga menjadi mercusuar di dunia saat itu. Negara "concern" terhadap pendidikan dengan banyaknya fasilitas pendidikan terbaik dan merata sampai ke pelosok dibangun. Seperti banyak dibangun sekolah, perpustakaan, menara astronomi. Tenaga pengajar pun digaji dengan gaji yang lebih dari cukup. Sebut saja Az Zajaj sebagai seorang fuqaha dan ulama digaji dua Dinar setiap bulan. Ulama lain seperti Hakim Al Muqtadir mendapat gaji lima puluh Dinar setiap bulan. (Buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia).

Luar biasa bukan bagaimana Islam mampu memberikan pelayanan terbaik dalam hal pendidikan, semua sarana dibangun secara maksimal. Tidak ada sekolah favorit atau tidak favorit, sebab kualitas terbaik diberikan secara merata. Semua warga berhak mendapatkan pendidikan baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim. Hal seperti ini tidak akan kita jumpai dalam sistem kapitalis sekuler.

Wallahu A'lam Bi Showab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image