Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Moh. Rivaldi Abdul

Amuk Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro

Sejarah | Monday, 05 Jul 2021, 17:05 WIB

Sewaktu berkunjung ke Museum Benteng Vreburg Yogyakarta, saya melihat ada gambar perempuan di sudut taman dekat gedung G. Penasaran dengan siapa sosok itu, saya pun coba melihatnya lebih dekat. Ternyata, itu adalah Nyi Ageng Serang. Perempuan Nusantara yang melakukan amuk melawan penjajah Belanda, dan sekarang dikenang sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Nyi Ageng Serang lahir di Serang, Sragen, Jawa Tengah, pada 1762 M. Nama aslinya adalah Kustiah Wulaningsih Retna Edi. Dalam buku Nyi Hajar Dewantara yang ditulis B.S. Dewantara (1984) disebutkan juga kalau namanya adalah Raden Ajeng Murtasiyah. Adapun Nyi (atau Nyai) Ageng Serang merupakan sebutan untuknya, setelah menikah dengan Pangeran Kusumowijoyo yang adalah Adipati Serang.

Nyi Ageng Serang adalah anak dari Panembahan Senopati Notoprojo, Adipati Kadilangu. Ayahnya merupakan keturunan Sunan Kalijaga.

Berdasarkan buku yang ditulis Mashoed Haka berjudul Dunia Nyi Ageng Serang: Sejarah Wanita Pejuang (1976), bisa disajikan sanad beliau: Nyi Ageng Serang (Kustiah Wulaningsih Retna Edi) binti Panembahan Senopati Notoprojo bin Panembahan Wijil ing Kadilangu bin Panembahan Rangga Notoprojo bin Panembahan Rangga Seda (Sepuh) bin Panembahan Kanitan bin Panembahan Pinatih bin Panembahan Semarang bin Kanjeng Sunan Hadikusuma bin Sunan Kalijaga.

Nyi Ageng Serang mendapatkan pendidikan agama yang baik. Sehingga, perempuan dengan darah Sunan Kalijaga ini menjadi sosok yang istikamah dalam beragama. Diketahui dirinya suka melakukan tirakat. Juga digambarkan bahwa ketika tidur terdapat pusaka yang melindunginya dari orang berkeinginan mencelakai. Serta, ada cahaya yang memancar dari tempatnya. Ini adalah penggambaran bahwa Nyi Ageng Serang termasuk muslimah yang selalu menjaga diri bahkan sekalipun di waktu sedang tidur.

Ayah dan kakak-kakaknya gugur di medan pertempuran melawan penjajah Belanda. Dia dibesarkan sendiri oleh ibunya di Serang. Ketika ibunya telah tiada, Nyi Ageng Serang hijrah ke Yogyakarta, dan hidup dalam keraton. Dia masih termasuk kerabat keraton, serta ayahnya, Panembahan Senopati Notoprojo, termasuk sosok yang amat dihormati.

Saat Nyi Ageng Serang dewasa, dia keluar keraton dan tinggal di Demangan untuk menikmati hidup bersama dengan masyarakat. Warga sangat gembira menyambut kedatangannya. Pengalaman hidup bersama penduduk biasa membuat hatinya sangat berduka. Dia melihat sendiri bagaimana beban hidup pribumi yang ditindas penjajah Belanda. Itu membuat jiwa nasionalisme Nyi Ageng Serang yang sudah menyala sejak masih usia anak-anak semakin membara.

Pada April 1792 M, Sultan Hamengku Buwono I wafat, sehingga Nyi Ageng Serang kembali ke keraton. Kemudian, dia memutuskan untuk pulang ke Serang. Masyarakat sangat menyambut kedatangannya. Dia tinggal dan berkeluarga di Serang.

Semangat nasionalisme Nyi Ageng Serang terus menyala-nyala. Sikap penjajah yang semakin menjadi-jadi menyengsarakan rakyat membuat jiwa “amuk”-nya makin berkobar. Namun, waktu yang tepat untuk melawan penjajah Belanda secara langsung belum juga datang. Nyi Ageng Serang banyak melakukan tirakat, memohon pertolongan serta petunjuk dari Tuhan yang Esa.

Amuk Nyi Ageng Serang di Medan Perang Diponegoro

Dalam buku Membicarakan Feminisme, Nadya Karima Melati menjelaskan bahwa, “Amuk adalah ekspresi amarah dan penghancuran oleh seorang kawula atas penindasan feodalisme yang terus-menerus terjadi pada masa kolonialisme.... Banyak karya sastra yang mengisahkan amuk hanya terjadi kepada lelaki, sedangkan perempuan harus terlebih dahulu meninggalkan tubuh yang mengunci keperempuanannya untuk melakukan amuk....”

Amuk adalah bentuk ekspresi pertahanan atau pembelaan diri dari penindasan maupun penghinaan. Nyi Ageng Serang melakukan perlawanan, sebab dia sadar betul kalau kemerdekaan tanah airnya sedang diinjak-injak. Tubuh perempuan bukan batasan diri untuk berjuang membela kebenaran. Meski tubuh perempuannya sudah tua, namun tidak menghalanginya untuk melakukan amuk di medan Perang Diponegoro.

Ketika pecah Perang Diponegoro pada 20 Juli 1825 M, Pangeran Diponegoro meminta bantuan pasukan kepada Nyi Ageng Serang. Namun, yang terjadi malah Nyi Ageng Serang tidak hanya mengirimkan pengikutnya, melainkan juga memutuskan untuk terjun langsung ke medan pertempuran.

Dia selipkan selendang pusaka pemberian ibunya di tombak bersama dengan bendera nasional menjadi satu. Selendang yang didapatkan ibunya sebagai benda waris dari Bendoro Raden Ayu Mangkubumi itu konon memiliki kekuatan gaib (menjadi penambah spirit perjuangan bagi Nyi Ageng Serang), sehingga dapat membantunya dalam medan perang.

Pasukan Nyi Ageng Serang bergerak dari Serang. Dalam bukunya Mashoed Haka: Dunia Nyi Ageng Serang..., dijelaskan rute barisan Nyi Ageng Serang menerobos Gundih, Purwadadi, Demak, Semarang, serta Juana. Kemudian menuju Magelang lewat Salatiga, Boyolali, Sragen, dan menghanguskan Rembang serta menghancurkan pos-pos militer di sepanjang sungai Progo, kemudian berhenti di Klaten, setelah itu menuju dan menetapkan pos di Prambanan.

Salah satu strategi Nyi Ageng Serang dalam melakukan “amuk” di medan Perang Diponegoro adalah Taktik Lumbu. Yang mana setiap prajurit diwajibkan membawa daun keladi. Setelah menyerbu pasukan musuh, Taktik Lumbu segera dilakukan dengan cara bersembunyi di ladang menggunakan daun yang mereka bawa. Sehingga, keberadaan mereka tidak diketahui musuh, dan bahkan musuh mengira pasukan Nyi Ageng Serang telah hilang tanpa jejak, sebab apa yang dilihatnya dikira sawah atau tegalan lumbu belaka.

Nyi Ageng Serang adalah seorang ahli strategi perang. Kehebatannya diakui banyak orang bahkan oleh Pangeran Diponegoro. Tidak heran jika Nyi Ageng Serang dipercaya menjadi paranpara (penasehat) dalam Perang Diponegoro.

Semangat Amuk Hingga Akhir Hayat

Ketika meletus Perang Diponegoro (1825 M) usia Nyi Ageng Serang sudah sepuh. Meski begitu dia tetap semangat memimpin pasukannya terjun ke medan perang.

Hampir 3 tahun lamanya Nyi Ageng Serang terjun langsung berperang. Kesehatannya semakin memburuk. Sehingga, pada Maret 1828 M, dia undur dalam medan pertempuran dan menetap di Deksa.

Apa semangat “amuk” melawan penjajah dalam dirinya sudah pudar?

Oh, tidak. Jelas tidak. Dia undur, sebab jasmaninya yang sudah sepuh memang tidak memungkinkan lagi untuk terjun ke medan pertempuran. Namun, spirit nasionalismenya tetap mengamuk ingin merdeka dari penjajahan.

Pada suatu sore yang amat tenang di Deksa, Nyi Ageng Serang berkata pada cucunya, Ali Basah Notoprojo (salah seorang panglima dengan gelar Basah dalam Perang Diponegoro): “...aku yakin cucuku, di Timur sana esok keindahan zaman baru akan terbit bersama sinar surya yang cerah. Aku bermohon kepada Tuhan, apabila aku tidak sempat menyelesaikan tugasku hari ini, semoga kelak ada di antara anak cucu atau cicit-cicitku yang menjalin hidup dan perjuangannya bersama anak cucu atau cicit Kaki Aryo Diponegoro, agar perjuangan kita melawan penjajahan Belanda itu dapat kita kobarkan terus.” (Dikutip dari bukunya B.S. Dewantara yang berjudul Nyi Hajar Dewantara).

Bahkan menjelang akhir hayatnya, semangat amuk melawan penjajahan dalam diri Nyi Ageng Serang tidak memudar sedikit pun. Itu tergambar dari harapannya agar anak-cucunya melanjutkan perjuangan membela tanah air.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image