Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Budianto Sutrisno

Srikandi dari Ranah Minang: Tak Kenal, maka Tak Sayang

Sejarah | Tuesday, 09 Apr 2024, 15:47 WIB
Sumber foto: Beautynesia

Banyak nama pahlawan perempuan sudah tak asing bagi masyarakat luas. Akan tetapi, mungkin hanya sedikit pembaca yang tahu tentang perjuangan Srikandi dari ranah Minang di masa penjajahan. Salah seorang di antaranya adalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said ̶ ̶yang yang lebih dikenal dengan sebutan H.R. Rasuna Said. Dinamika kiprah perjuangannya tak kalah menarik dibandingkan dengan apa yang diperjuangkan oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika atau Tjut Nyak Dien.

Pejuang persamaan hak

Seperti halnya dengan R.A. Kartini, H.R. Rasuna Said dikenal sebagai tokoh perempuan yang gigih memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Kiprah beliau didukung oleh kemauan keras, pengetahuan luas, dan pengalaman hidupnya yang kurang beruntung dalam berumah tangga.

Sebagai seorang perempuan mandiri, H.R. Rasuna Said menolak perjodohan yang disodorkan oleh orang tuanya. Ia percaya bahwa perjodohan dapat mengakibatkan merosotnya martabat seorang perempuan. Karenanya, beliau menolak keras untuk dijodohkan dengan seorang pria, apalagi pria yang sudah menikah. Perempuan tegar ini tak mau dimadu. Ia menolak tegas keberadaan poligami, karena hal itu dianggapnya sebagai bentuk pelecehan terhadap kaum perempuan.

Ketika berusia 19 tahun, H.R. Rasuna Said memutuskan untuk menikah dengan pria pilihan hatinya. Akan tetapi sungguh sayang, pernikahan itu berujung pada perceraian. Ya, beliau lebih memilih bercerai ketimbang dimadu.

Tampaknya pengalaman berumah tangganya yang kurang mulus itu menjadi semacam pemicu bagi dirinya untuk memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia tak menginginkan kaum perempuan menjadi warga kelas dua di negerinya sendiri. Baginya, di hadapan hukum, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

H.R. Rasuna Said berdarah asli Minang. Dilahirkan pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatra Barat.

Seusai menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat, Rasuna Said melanjutkan sekolahnya di Pesantren Madrasah Diniyah, yang didirikan oleh seorang pendukung Gerakan Sumatra Thawalib. Gerakan ini merupakan gerakan yang mendapat pengaruh dari pemikiran modern Mustafa Kemal Ataturk ̶̶ ̶tokoh nasionalis transformatif Islam dari Turki. Itu sebabnya, buah pemikirannya selalu berorientasi lebih ke depan dibandingkan dengan tokoh-tokoh perempuan lain pada umumnya.

Rasuna Said sangat menaruh perhatian pada pendidikan bagi kaum perempuan. Ia berpendapat bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak hanya bisa dicapai melalui jalur pendidikan, melainkan perlu juga melalui jalur politik. Maka dirintisnyalah karier di bidang politik. Pada usia 16 tahun, Rasuna Said telah menjadi Sekretaris Sarekat Rakyat Sumatra Barat, di bawah pimpinan tokoh sentral yang penuh karisma, Tan Malaka.

Atas inisiatif Sumatra Thawalib, didirikanlah Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukttinggi pada 1930. Rasuna Said giat mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh PERMI. Pemikirannya telah memberikan pengaruh positif pada generasi muda pada masa itu. Perjuangan gigihnya melawan Belanda membuat penjajah murka. Rasuna Said menjadi perempuan pertama yang dijerat hukum Speek Delict ̶ ̶hukum Belanda yang menegaskan bahwa siapa pun yang menentang Belanda akan diganjar hukuman. Perempuan berhati baja ini dipenjarakan di Semarang pada 1932. Memang, harus ada harga yang harus dibayar demi memperjuangkan nasib kaum tertindas.

Jurnalis dan politisi

Setelah keluar dari balik jeruji penjara, Rasuna Said bukannya menjadi jera. Semangat perjuangannya justru semakin menyala. Ia melanjutkan pendidikannya di Islamic College, pimpinan K.H. Mochtar Jahja dan Dr. Kusuma Atmadja.

Pada tahun 1935 Rasuna Said memulai kiprahnya di bidang jurnalisme. Ia tercatat sebagai pemimpin redaksi di majalah Raya. Dua tahun kemudian, ia mendirikan perguruan putri. Wawasan cinta tanah air dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat. Ia pun menuliskan gagasan bernasnya pada majalah mingguan Menara Poetri yang didirikannya sendiri.

Di majalah ini, ia membahas tentang peran penting perempuan dalam rangka menyadarkan pergerakan antikolonialisme di kalangan perempuan. Namun sayangnya, penerbitan majalah ini hanya seumur jagung, karena diterpa masalah kurangnya pendanaan.

Perjuangannya bukanlah melalui angkat senjata, melainkan melalui ketajaman pena yang membuat Belanda miris. Dengan pena, Rasuna Said berhasil menggerakkan ribuan hati para pemuda---terutama kaum perempuan---untuk berani bersifat kritis, mengemukakan pendapat pribadi dan memperjuangkan nasib sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Rakyat disadarkan, bahwa semangat persatuan dan kemandirian sangat diperlukan untuk meraih apa yang disebut sebagai kemerdekaan.

Tulisan Rasuna Said dikenal sebagai tulisan dengan analisis dan kritik yang tajam serta berani.. Hatinya tak gentar terhadap ancaman polisi Belanda yang selalu mengincar dirinya dan mempersempit ruang geraknya. Bila tekad sudah bulat untuk berkarya sebagai bangsa merdeka dan berdaulat, segala rasa takut telah dicampakkannya. Yang tetap berdiri perkasa adalah semangat berjuang di dalam kebenaran dan keadilan.

Penindasan oleh Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, Rasuna Said merupakan salah seorang tokoh yang ikut mendirikan organisasi pemuda Nippon Raya pada 1943. Pembentukan organisasi ini diprakarsai oleh Chatib Sulaimen dengan bantuan Soekarno. Merupakan gabungan dari berbagai organinsasi pemuda dan kepanduan yang berada dalam kawasan Minangkabau.

Tujuan utama penggabungan organisasi ini adalah untuk menghindarkan pemuda Indonesia dari kegiatan agitasi yang ditanamkan oleh pihak tentara Jepang.

Pada awalnya, Jepang mengizinkan organisasi ini tumbuh dan berkembang. Namun ketika tujuan organisasi tersebut semakin jelas menjadi ancaman bagi penjajah, Jepang membubarkan organisasi Nippon Raya dan menahan pemimpinnya.

Perlu kita ketahui, pada masa pendudukan Jepang, atas inisiatif Kekaisaran Jepang didirikanlah organisasi kerukunan Minangkabau.. Gagasan ini diinisiasi oleh Gubernur Militer Jepang untuk Sumatra Barat, Yano Kenzo. Tujuannya agar sang gubernur militer dapat dengan mudah melakukan konsolidasi kekuatan para datuak---yang notabene merupakan kekuatan elite adat Minangkabau yang berpengaruh besar pada masyarakat luas. Menguasai para datuak berarti menguasai seluruh masyarakat Minangkabau.

Konon, bagi masyarakat Minangkabau pada masa itu, organisasi ini dapat digunakan sebagai badan konsultasi masyarakat kepada tentara kependudukan Jepang dan untuk melindungi mereka dari kesewenang-wenangan tentara jepang. Teorinya memang indah, tetapi kenyataannya jauh panggang dari api. Tak mengherankan, jika pada era kemerdekaan, organisasi ini dianggap sebagai kolaborator fasis Kekaisaran Jepang. Tak ada jalan lain: organisasi harus dibubarkan!

Sebagai tambahan informasi, setahun sejak masa pendudukan, Jepang mengubah fokus kebijakan dari konsolidasi kekuatan dan pengendalian terhadap kawasan Asia Tenggara yang telah didudukinya, ke upaya persiapan mempertahankan kawasan yang telah diduduki tersebut dari serangan Sekutu. Jepang bermaksud menggunakan persatuan rakyat Minangkabau untuk membela kepentingannya. Sebelumnya, mereka selalu gagal melengkapi kekuatan angkatan bersenjatanya dengan tentara bayaran.

Atas usulan Chatib Sulaiman, dibentuklah organisasi tentara sukarelawan yang disebut Giyogun Koenkai. Di bawah pengawasan Jepang, organisasi ini menyaring calon perwira sukarelawan. Para pemuda yang terpilih diyakinkan bahwa bekal pelatihan militer yang diberikan Jepang itu ditujukan untuk meraih cita-cita kemerdekaan Indonesia. Ini tak lain dari apa yang disebut sebagai muslihat ”saudara tua”.

Perlu pula diingat, selama pendudukan Jepang, banyak perempuan Sumatra Barat dijadikan perempuan penghibur secara paksa, atau jugun ianfu. Jepang tak segan melakukan penculikan, pemerkosaan, dan bujukan palsu. Hal seperti inilah yang ikut memicu dan memacu para perempuan pejuang seperti Rasuna Said, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiah, Siti Manggopoh, Zakiyah Daradjat, dan perempuan pejuang lainnya, gigih menuntut kemerdekaan dan persamaan hak antara pria dan wanita.

Kini kita beralih kembali pada kiprah Rasuda Said pada masa pascapengakuan kedaulatan Indonesia. Ternyata perempuan yang sarat energi ini juga aktif berkecimpung di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Di samping itu, ia juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) dan Dewan Pertimbangan Agung sejak tahun 1959 hingga beliau tutup usia pada 2 November 1965. Masa bakti perjuangannya terentang pada kurun 1926--1965. Sebuah himpunan prestasi pejuang perempuan yang luar biasa pada zamannya, bahkan untuk ukuran masa sekarang.

Untuk mengenang dan mengapresiasi jasa-jasanya, pemerintah telah mengangkat Hajjah Rangkayo Rasuna Said sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 084/TK/Tahun 1974. Nama harumnya juga diabadikan sebagai nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Tetap hidup dan menginspirasi

Akhir kata, izinkan penulis mengutip semboyan ’Jasmerah’ yang diucapkan Bung Karno dalam pidatonya pada HUT Republik Indonesia 17 Agustus 1966. Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Apa yang telah kita capai di masa silam merupakan awal jalan bagi apa yang akan kita raih di masa sekarang dan bekal bagi masa depan.

Persamaan hak antara pria dan wanita serta kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat itu dapat kita capai berkat perjuangan para pejuang yang telah mendahului kita. Termasuk di dalamnya jerih payah para perempuan pejuang dari ranah Minang.

Mereka telah lama tutup usia, tetapi semangatnya tetap hidup dan menginspirasi kita semua sebagai anak bangsa yang melanjutkan estafet kepemimpinan. Semangat dan prestasi mereka patut kita teladani. Tanpa jasa dan pengorbanan para pendahulu, mustahil kita bisa mencapai kemajuan seperti yang kita alami sekarang ini. Ingatlah selalu bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.

Wahai, para Srikandi dari ranah Minang, selama hayat masih dikandung badan, jasamu pasti kami ingat selalu!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image