Mengulik Jejak Islam di Salatiga
Sejarah | 2024-07-30 15:21:18Salatiga, sebuah kota di Jawa Tengah yang sejuk karena terletak di lereng Gunung Merbabu. Sekalipun setelah sekian tahun sepertinya kesejukannya sudah mulai sedikit memudar, karena semakin padat penduduk. Maklum kota kecil, hanya empat kecamatan. Wajar banyak lahan hijau yang akhirnya berubah menjadi pemukiman maupun tempat usaha.
Jika menelusuri Salatiga, tentunya akan banyak kita temukan bangunan Belanda yang masih berdiri kokoh. Ya, karena dulunya Salatiga pernah dijadikan markas militer dan tempat persinggahan Belanda di Jawa Tengah. Tempatnya yang strategis (antara utara dan selatan Jawa), serta iklimnya yang sejuk, menjadikannya pilihan bagi Belanda untuk bertahan dan bermarkas di Salatiga. Salatiga dipandang sangat strategis dalam kegiatan lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa sehingga dijadikan sebagai pusat persinggahan para pedagang. Oleh karena itu, maka Pemerintah Hindia Belanda memandang Salatiga sangat strategis untuk dijadikan sebagai kota militer. Sehingga pada tahun 1746, VOC (Vereenidge Oost Indische Company) mulai menempatkan pasukannya di Salatiga dan membangun sebuah benteng yang diberi nama Benteng De Hersteller (sekarang digunakan sebagai Kantor Satlantas Kota Salatiga). Pembangunan Benteng tersebut terutama dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan di sepanjang jalur Semarang-Surakarta. Benteng ini juga digunakan untuk menghalau dan mengawasi pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro yang terpecah. Selain itu dengan letak yang strategis, benteng ini juga diperuntukkan sebagai tempat kontrol VOC terhadap dua kekuasaan penting di Jawa, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Pada masa Perang Jawa atau Perang Diponegoro, Kota Salatiga merupakan kota favorit sehingga banyak pejabat Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang bertempat tinggal di Salatiga. Dalam upaya membantu perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Pakubuwana VI mengirim utusan abdi dalemnya yang bernama Kyai Rono Sentiko. Beliau ditugaskan untuk memata-matai pergerakan Pasukan Militer Pemerintahan Hindia Belanda di Salatiga. Di Salatiga beliau bertemu dengan para laskar prajurit Pangeran Diponegoro, antara lain yakni Kyai Condro yang berasal dari Magelang dan Kyai Sirojudin atau Kyai Damarjati. Beberapa masjid peninggalan laskar Pangeran Diponegoro, masih berdiri tegak hingga sekarang. Berikut diantaranya:
1. Masjid Damarjati
Merupakan masjid tertua di Kota Salatiga yang terletak di Jl. Damarjati, Kelurahan Krajan Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Masjid ini didirikan Kyai Rono Sentiko anggota Laskar Pangeran Diponegoro atas bantuan Kyai Damarjati merujuk pada prasasti tertempel di dinding masjid. Kalau melihat prasasti tertulis tahun berdirinya masjid pada 1826, sejak itu berdasar cerita tutur Islam masuk ke Salatiga. Konon, pembangunan masjid tersebut merupakan bagian dari strategi Kiai Rono Sentiko dan Kyai Damarjati untuk mengalahkan Belanda sekaligus mensyiarkan Islam di Salatiga.
2. Masjid Al-Atiiq
Masjid ini oleh masyarakat disebut dengan nama Masjid Kauman Salatiga. Masjid tertua kedua setelah masjid Damarjati, juga erat kaitannya dengan sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada Tahun 1825-1830. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1247 H/1832 M oleh Kyai Rono Sentiko (berdasarkan tulisan di Mihrab Masjid). Dalam sejarahnya Masjid ini dahulu digunakan sebagai pusat keagamaan dan sebagai tempat untuk mengatur siasat perang
3. Masjid Al Fudhola
Salah satu peninggalan jejak penyebaran Islam di Salatiga adalah Masjid Al Fudhola. Masjid yang terletak di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, ini telah berusia sekitar 170 tahun. Menurut informasi, masjid Al Fudhola itu dibangun oleh Kiai Abdan, yang merupakan teman seperjuangan Kiai Abdul Wahid saat perang Jawa. Diperkirakan Masjid Al Fudhola dibangun sekitar tahun 1850-an. Di depan Masjid Al Fudhola terdapat pohon sawo yang kemungkinan sudah berusia ratusan tahun. Pohon sawo ini konon sebagai penanda anggota pasukan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa.
4. Masjid Hasan Ma’arif
Belum diketahui dengan pasti kapan Masjid Hasan Ma’arif ini didirikan, sebab literatur resmi terkait pendiriannya sulit ditemukan. Keterangan berdasarkan cerita turun temurun menyebutkan bahwa masjid tersebut dibangun oleh Kyai Condro, salah seorang anggota laskar Pangeran Diponegoro. Kyai Condro mengundang sahabatnya bernama Hasan Maarif yang piawai mengajarkan agama Islam, kemudian mendirikan mushola kecil. Hingga kemudian pemeluk agama Islam semakin banyak, maka dusun tanpa nama itu mulai dikenal sebagai kawasan Muslim. Setelah Kyai Condro dan Hasan Maarif wafat, tahun 1919, Mushola dibongkar dan diperbesar menjadi masjid, yang selanjutnya diberi nama Masjid Hasan Ma’arif. Sementara dusun yang semakin besar, atas kesepakatan masyarakat setempat dinamakan Desa Kecandran, diambil dari nama Kyai Condro.
.
Sumber:
https://historia.id/kuno/articles/jawa-terbelah-tiga-di-salatiga-DOZ9X/page/1
https://radarsemarang.jawapos.com/salatiga/724757679/sejarah-kantor-satlantas-polres-salatiga-dulunya-merupakan-benteng-voc-paska-perang-jawa
https://kecandran.salatiga.go.id/2019/08/14/artikel-menelusuri-masjid-peninggalan-laskar-diponegoro-di-salatiga/
https://jateng.solopos.com/kisah-masjid-al-fudhola-salatiga-dan-jejak-pasukan-diponegoro-di-perang-jawa-1581980
https://radarsemarang.jawapos.com/cahaya-ramadan/724520084/berusia-198-tahun-masjid-damarjati-salatiga-dibangun-laskar-diponegoro
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.