Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Astri Lestari

Pandangan Orientalis Christoph Luxenberg Terhadap Kajian Al-Qur'an

Agama | Thursday, 24 Jun 2021, 19:39 WIB

A. Pendahuluan

Kajian Al-Qur’an dan disiplin ilmu yang menopangnya menjadi perhatian yang cukup memikat, tidak saja bagi umat Islam, tetapi juga bagi para pemerhati Islam di Barat. Hal ini, selain karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang diyakini bersumber dari wahyu dan dijadikan pedoman bagi pemeluknya, juga karena Al-Qur‟an menyisakan banyak misteri yang membuat orang terpikat dan tertantang untuk mengkajinya.[1]

Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun baru pada abad ke 18 gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme.[2] Orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara Islam. Objek kajian orientalisme mencakup peradaban, agama (khususnya Islam), seni, sastra, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.[3]

Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim. Akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggris adalah di antara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, kini banyak sekali universitas di Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, Universitas Edinburgh, University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain.[4]

Mengkaji orintalisme mendorong penulis untuk memaparkan salah satu tokoh orientalis yaitu Christoph Luxenberg terhadap kajian al-Qur’an. Mulai dari biografi, pemikiran, metode hingga kritik atau sanggahan dari beberapa tokoh kepada Luxenberg.

B. Biografi Christoph Luxenberg

Christoph Luxenberg adalah salah seorang orientalis yang tertarik terhadap kajian al-Qur’an.[5] Luxenberg merupakan nama samaran yang sengaja ia sembunyikan nama aslinya. Nama sebenar beliau adalah Ephraem Malki, berasal dari Lebanon, warganegara Jerman, penganut fanatik Kristian (Syriac Orthodox), memperoleh M.A. dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik, dengan alamat terakhir: August-Klein-Strasse 11, 66123 Saarbrucken. Pada 28 Mei 2003 yang lalu ia sempat dijemput memberikan syarahan di Universitat des Saarlandes berkenaan “Pengaruh bahasa Aramaik ke atas bahasa al-Qur'an” (Der Einfluss des Aramaischen auf die Sprache des Korans). Di samping bertugas sebagai pensyarah, ia juga aktif menulis dan memberikan interview untuk media masa.[6]

Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa alasan Luxenberg menggunakannama samaran dari Ephraem Malki menjadi Christoph Luxenberg adalah untukmenjaga dirinya dari kemungkinan-kemungkinan akibat kekerasan. Nama Chrishtoph Luxenberg terinspirasi dari nama Georg Christoph Lichtenberg, seorang perusak mitos. Lux (latin) diterjemahkan sebagai Licht (jerman).Kebanyakan versi yang beredar menyebutkan bahwa Luxenberg adalah Sarjana Jerman dalam bidang Semitic Languages. Hans Jansen, soerang professor di Universitas Leyden menduga bahwa Luxenberg adalah orang Lebanon yang beragama Kristen. Mengingat tulisan Francois de Blois dalam Journal of QuranicStudies yang mempertanyakan pengetahuan Luxenberg tentang bahasa Arab.

Berikut diantara karya Christoph Luxenberg:

1. Die Siro-Aramäische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlüsselung derKoransprache terbit di tahun 2000.

2. Weihnachten im Quran. di Streit um den Quran, Die Luxenberg Debatte:Standpunkte und Hintergründe terbit di tahun 2004.

3. Der Koran zum Islamischen Kopftuch terbit di tahun 2004.

4. Neudeutung der Arabischen Inschrift im Felsendom zu Yerusalem. Di Die Dunklen Anfänge, neue Forschungen zur Entstehung und frühen Geschichtedes Islam terbit di tahun 2005.

5. Relikte Siro-aramäischer Buchstaben di frühen Korankodizes im hejazi- undkufi- duktus. di Der frühe Islam terbit di tahun 2007.

6. The Siro-Aramaic Reading Quran-Sebuah Kontribusi untuk Decoding dari al-Qur’an terbit di tahun 2007.

7. Die syrische Liturgie und die geheimnisvollen Buchstaben im Quran terbit ditahun 2008.

Dari sekian karya Luxenberg, belum ada yang diterjemah kedalambahasa Indonesia. Salah satu karya nya yang telah diterjemah adalah Die Siro-Aramäische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlüsselung derKoransprache. Buku terjemahannya terbit dalam bahasa Inggris pada 1 Mei 2007 oleh penerbit Hans Schiler Publishers dengan tebal 352 halaman.[7]

C. Pemikiran Christoph Luxenberg Terhap Kajian Al-Qur’an

Dalam bukunya yang berjudul Die Syro-Aramaicaicaische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlusselung der Koranprache dan telah di bahasa Inggriskan dengan judul The Syro-Aramaicaicaic Reading of The Qur’an: A Contribution to the Decoding of the Qur’anic Language, Luxenberg mengajukan kritik terhadap otentisitas bahasa al-Qur’an. Menurutnya, ada banyak hal yang harus direkonstruksi dan dikaji ulang dalam al-Qur’an, termasuk persepsi mengenai asal bahasa al-Qur’an.

Model kajian Luxenberg ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Sebelumnya Abraham Geiger juga pernah melakukan proyek yang sama melalui bukunya yang berjudul Was hat Muhammed aus dem Judenthume Aufgenommen?. Beberapa orang bahkan menganggap bahwa kajian Luxenburg ini memang merupakan kelanjutan dari proyek Geiger. Jika ditilik lebih dalam, proyek Luxenberg dan Geiger memang memiliki kemiripan, sebab idenya sama-sama berangkat dari pendekatan kritik sumber (source-critical approach). Terinspirasi bahwa pendekatan semacam ini pernah berhasil diaplikasikan terhadap teks Injil dan Perjanjian Baru, maka Luxenberg mencoba mengaplikasikan pendekatan yang serupa pada al-Qur’an. Melalui pendekatan ini Luxenberg kemudian mengidentifikasi bahwa al-Qur’an memiliki multi sumber, yang berasal dari Pagan, Yahudi, Zoroastrian, Christian, Mandean, Manichean dan lain sebagainya. Melalui pendekatan ini, Luxenberg juga menilai bahwa terdapat banyak kata di dalam al-Qur’an yang disalahbacakan dan disalah artikan oleh para sarjana tafsir Muslim sehingga menimbulkan makna-makna yang ambigu. Karena berbagai kesalahan inilah, Luxenberg dan beberapa pakar lainnya kemudian mengajukan upaya-upaya untuk merekonstruksi versi pra-kanonik al-Qur’an yang bertujuan agar teks al-Qur’an terbebas dari seluruh ambiguitas dan ketidakjelasan makna.[8] Luxenberg juga mengklaim bahwa; bahasa Alquran sebenarnya adalah bukan bahasa Arab melainkan banyak dipengaruhi oleh bahasa Syiriak-Aramaik sehingga banyak kata atau ungkapan yang sering dibaca keliru dan sulit dipahami, kecuali merujuk ke Syiriak-Aramaik yang konon merupakan Lingua Franca pada masa itu.

Menurut Adian Husaini, bahasa Syro-Aramaic atau Syriak adalah bahasa komunikasi tulis di Timur Dekat mulai abad ke-2 sampai ke-7 Masehi. Bahasa Syriak dialek Aramaik merupakan bahasa di kawasan Edessa, suatu negara kota di Mesopotamia Atas. Bahasa ini menjadi wahana bagi penyebaran budaya Syriak ke wilayah Asia, Malabar dan bagian Timur Cina. Sampai munculnya Alquran, bahasa Syriak adalah media komunikasi yang luas dan penyebaran budaya Arameans, Arab, dan sebagian Persia. Budaya ini telah memproduksi literatur yang sangat kaya di Timur Dekat sejak abad ke-4, sampai digantikan oleh bahasa Arab pada abad ke-7 dan ke-8 M. Satu hal yang penting, menurut Luxenberg, literatur the Syriac-Aramaic dan matrik budaya ketika itu, praktis merupakan literatur dan budaya Kristen. Sebagian studi Luxenberg menyatakan bahwa literatur Syiriak yang kemudian menciptakan tradisi “Arab Tulis” ditransmisikan melalui media Kristen.[9]

Pembacaan Luxenberg atas al-Qur’an melalui bahasa Syiria-Aramaik menghasilkan kesimpulan yang sangat bertentangan dengan pandangan tradisional muslim dalam banyak hal; bahwa al-Qur’an sangat terpengaruh ajaran Kristen Syiria-Aramaik, baik bahasa maupun muatan teologis; bahwa bahasa al-Qur’an bukanlah Arab melainkan bahasa campuran Aramaik-Arab; al-Qur’an tidak ditransmisikan melalui lisan tetapi tulisan. Hal ini dikarenakan banyaknya kesalahan baca yang ditemukan Luxenberg di dalam al-Qur’an yang jika tradisi ini memang ada, maka mestinya kesalahan tersebut sudah diinterupsi sejak awal. Salah baca (misreading) ini berlanjut pada pemaknaan yang menyimpang. Hal ini disebabkan pengenalan tanda baca harakat (vowel sign) dan penambahan tanda titik (diacritical point) dari yang sebelumnya telah dikemas gundul (original consonantal script). Kondisi ini yang kemudian mendorong Luxenberg mengajurkan pembacaan baru atas al-Qur’an dengan bantuan bahasa Syiria-Aramaik.

Posisi pemikiran Luxenberg berada pada kajian al-Qur’an yang berkepentingan untuk melihat urtext al-Qur’an. Rekonstruksinya menggunakan pendekatan filologis-atomistik, yang selanjutnya menjebak Luxenberg pada etymological fallacy. Emendasinya terhadap al-Qur’an adalah praktik textual criticism. Teori keterpengaruhan bahasa dan isi kandungan al-Qur’annya ideologis merujuk pada tradisi Kristen di Syiria. Fokus kajian pada bahasa Syiria, sebentuk revivalis pemikiran Alphonse Mingana.[10]

D. Metodologi Christoph Luxenberg Terhap Kajian Al-Qur’an

Pada awal abad 21, Christoph Luxenberg menggunakan metode ilmiah filologis dalam mengkaji bahasa al-Qur’an. Dengan metode ilmiah filologis, Luxenberg ingin menghasilkan teks al-Qur’an yang lebih jelas. Kajian filologis Luxenberg terhadap al-Qur’an menggiringnya untuk menyimpulkan:

1. Bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu banyak kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami kecuali dengan merujuk pada bahasa Syiriak-Aramaik yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.

2. Bukan hanya kosakatanya yang berasal dari Syiriak-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syiria (Peshitta).

3. Al-Qur’an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan di edit ulang.[11]

Alasan Luxenberg untuk menggunakan analisis filologis bahasa Syriak adalah adanya perbedaan-perbedaan bacaan (qirā’ah) dalam al-Qur’an yang mengundang pertanyaan akan belum mantapnya bahasa Arab sebagai bahasa tulis. Ia menganggap bahasa Arab saat itu belumlah merupakan bahasa tulis yang resmi, melainkan hanya bahasa lisan. Ia mengatakan bahwa kat ( قرآن ) “Qur’ān” yang dipahami oleh sarjana Muslim dan kebanyakan sarjana Barat sebagai masḍar (kata benda) dari qara’a (membaca) atau qarana (menghubungkan) oleh Luxenberg dianggap keliru. Yang benar menurutnya, berasal dari kata qeryana dalam bahasa Syiriak-Aramaik yang berarti ajaran liturgi dari Injil Kuno.

Dalam sebuah kuliah umum di Universitaet des Saarlandes, tahun 2003 lalu, Luxenberg menyebut sejumlah contoh lain, menurut dia, kata ( قسورة ) “qaswarah” (Q.S al-Mudassir [74]:51) mestinya dibaca ‘qasuurah’. Kata ( سیئت ) “sayyi’at” (Q.S. al-Nisa [4]:18) mesti dibaca ‘saniyyat’, dari bahasa Syiriak ‘sanyata’. Kata آذنك)) “ażannaka” (Q.S. al-Fussilat [41]:47) seharusnya dibaca ‘iżżaka’. Kemudian kata ( عتل ) “utullin” (Q.S. al-Qalam [68]:13) mestinya dibaca ‘alin’, sedang kata ( زنیم ) “zanīm” dalam ayat yang sama harus dibaca ‘ratim’, sesuai dengan bahasa Syiriak ‘rtim’. Kata ( مزجة ) “muzjatin” (Q.S. Yusuf [12]:88) seharusnyaa dibaca ‘murajjiyatin’, dari bahasa Syiriak ‘mraggayta’. Kemudian kata ( یلحدون ) “yulhidūna” (Q.S. al-Nahl [16]:30) seharusnya dibaca ‘yulghuzūna’ dari bahasa Syiriak ‘Igez’. Selanjutnya kata ( تحتھا ) “tahtiha” (Q.S. Maryam [19]:24) mesti dibaca sesuai dengan bahasa Syiriak ‘nahiitihaa’. Kata “saraban” ( سربا ) pada (Q.S. al-Kahfi [18]:61) harusnya dibaca ‘syarya’ dalam bahasa Syiriak.[12]

E. Kritik Terhadap Christoph Luxenberg Dalam Kajian Al-Qur’an

Apa yang diungkapkan oleh Luxenberg dalam kajian semantiknya terhadap al-Qur’an, menuai banyak sanggahan, baik dari kalangan orientalis (baca: Barat) itu sendiri, maupun Muslim (baca: Timur). Menurut penulis, kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh christoph sangat keliru dan jauh dari kebenaran. Bahkan Luxenberg mengatakan bahwa syariat yang ada dalam al-Qur’an merupakan jiplakan dari Yahudi dan Nasrani. Hal ini tentu bertentangan dengan pendapat orientalis lainnya yang tentu dapat dijadikan sanggahan bagi Luxenberg. Beberapa kritikan tersebut yaitu;

1. Dr Tyler

Orientalis dari Jenewa ini, mengatakan bahwa “al-Qur’an berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya, di dalamnya tidak saling bertentangan. Ia mempunyai sanad, sehingga tidak diragukan lagi lafal-lafalnya berasal dari Allah.

2. Adian Husaini

Ia berpendapat bahwa karya Luxenberg ini dipandang sebagai ancaman terhadap kajian al-Quran. Kemudian ia menguatkan pendapatnya ini dengan menyebutkan beberapa analisis menurut beberapa tokoh terhadap buku Luxenburg di Jurnal HUGOYE, Journal of Syriac Studies, Robert R. Phenix Jr. dan Cornelia B. Horn, dari University of St. Thomas, Summit Avenue St. Paul, mencatat implikasi metode kajian filologi yang dilakukan Luxenberg terhadap Alquran. Menurut mereka, “Any future scientific study of the Qur'an will necessarily have to take this method into consideration. Even if scholars disagree with the conclusions, the philological method is robust.”[13]

3. Syamsuddin Arief

Seorang peneliti Orientalisches Seminar di Frankfrurt Jerman, memberikan sanggahan-sanggahan ilmiahnya terhadap teori Luxenberg. Syamsuddin menunjuk beberapa asumsi keliru yang digunakan oleh Luxenberg. Pertama, Luxenberg mengira al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya sehingga pembaca boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan; kedua, Luxenberg menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai patokan sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu pada teks; dan ketiga, Luxenberg menyamakan al-qur’an dengan Bible, di mana pembaca boleh mengubah dan mengotak-atik teks yang dibacanya bilamana dirasa tidak masuk akal dan sulit dipahami. Ketiga asumsi tersebut yang digunakan oleh Luxenberg sebagai pondasi argumennya yang taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya.[14]

Maka, kesimpulan Luxenberg, bahwa “al-Qur’an memuat artikel tertentu dari Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) yang dibacakan dalam kebaktian Kristen", masih sangat tidak objektif dan sama sekali tidak meruntuhkan kewibawaan Mushaf Uṡmānī yang memiliki kekuatan hujjah yang kuat sebagai wahyu Allah Swt. Apalagi, kesimpulan seperti ini, meskipun menggunakan metode yang berbeda dengan para orientalis sebelumnya bukan barang baru dalam tradisi orientalis dan misionaris Kristen.

Apa yang dipaparkan Luxenberg tentang kajian filologinya tehadap Alquran menunjukkah adanya ketidakobjektifan dalam meneliti, bahkan terkesan lebih cenderung dilandasi dengan apoktif. Padahal seharusnya dalam bahasa kritik pengajaran, ketika seseorang mengkritik tidak boleh ada peluang bagi perasaan benci (ḥawā) untuk mempengaruhinya, apalagi dilandasi dengan egoism dan kepentingan diri sendiri yang sering menjadikan segalanya menjadi bias, tidak objektif.[15]

F. Penutup

Christoph Luxenberg adalah salah seorang orientalis yang tertarik terhadap kajian al-Qur’an. Luxenberg merupakan nama samaran yang sengaja ia sembunyikan nama aslinya. Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa alasan Luxenberg menggunakannama samaran dari Ephraem Malki menjadi Christoph Luxenberg adalah untukmenjaga dirinya dari kemungkinan-kemungkinan akibat kekerasan. Nama Chrishtoph Luxenberg terinspirasi dari nama Georg Christoph Lichtenberg,seorang perusak mitos.

Dalam bukunya yang berjudul Die Syro-Aramaicaicaische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlusselung der Koranprache dan telah di bahasa Inggriskan dengan judul The Syro-Aramaicaicaic Reading of The Qur’an: A Contribution to the Decoding of the Qur’anic Language, Luxenberg mengajukan kritik terhadap otentisitas bahasa al-Qur’an. Menurutnya, ada banyak hal yang harus direkonstruksi dan dikaji ulang dalam al-Qur’an, termasuk persepsi mengenai asal bahasa al-Qur’an.

Pada awal abad 21, Christoph Luxenberg menggunakan metode ilmiah filologis dalam mengkaji bahasa al-Qur’an. Dengan metode ilmiah filologis, Luxenberg ingin menghasilkan teks al-Qur’an yang lebih jelas.

Apa yang diungkapkan oleh Luxenberg dalam kajian semantiknya terhadap al-Qur’an, menuai banyak sanggahan, baik dari kalangan orientalis (baca: Barat) itu sendiri, maupun Muslim (baca: Timur). Menurut penulis, kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh christoph sangat keliru dan jauh dari kebenaran. Bahkan Luxenberg mengatakan bahwa syariat yang ada dalam al-Qur’an merupakan jiplakan dari Yahudi dan Nasrani. Hal ini tentu bertentangan dengan pendapat orientalis lainnya yang tentu dapat dijadikan sanggahan bagi Luxenberg.

G. Daftar Pustaka

Agustono, Ihwan. “Karakteristik Kesarjanaan Barat Kontemporer Dalam Studi Al-Qur’an”. Disertasi S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018.

Akbar, Abdul Haris. “Christoph Luxemberg Tentang Orisanalitas Al-Qur’an”. Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

Arif, Syamsuddin. “Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg”, AfKar. Juni 2005.

Fawaid, Ah. “ Dinamika Kajian Al-Qur’an di Barat dan Dampaknya Pada Kajian Al-Qur’an Kontemporer”, Nuansa, vol.10, no.2. Juli-Desember 2013.

Karim, Abdul. “Pemikiran Orientalis Terhadap Kajian Tafsir Hadis”, Addin, vol.7, no.2. Agustus 2013.

Najah, Nailun. “Otentisitas Bahasa Al-Qur‘An Dan Pemaknaan Bidadari Surga (Respon Stefan Wild Terhadap Hipotesa Luxenberg)”, Kabilah, vol. 3, no. 1. Juni 2018.

“Problematika Kajian Linguistik Al-Qur’an” diakses, 24 Juni, 2021, https://123dok.com/document/q511kpwy-problematika-kajian-linguistik-al-quran.html.

Rihlasyita, Wilda. “Telaah Pendekatan Linguistik dalam Buku Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an” (Sebuah Kajian Kritis), Jurnal Al-Yasini, vol.3, no.2. November 2018.

Yusuf, Khaeruddin. “Orientalis dan Duplikasi Bahasa Alquran (Telaah dan Sanggahan atas Karya Christoph Luxenberg)”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, vol.9, no.1. Juni 2012.

[1] Ah. Fawaid, “ Dinamika Kajian Al-Qur’an di Barat dan Dampaknya Pada Kajian Al-Qur’an Kontemporer”, Nuansa, vol.10, no.2 (Juli-Desember 2013): 231.

[2] Abdul Karim, “Pemikiran Orientalis Terhadap Kajian Tafsir Hadis”, Addin, vol.7, no.2 (Agustus 2013): 308.

[3] Ihwan Agustono, “Karakteristik Kesarjanaan Barat Kontemporer Dalam Studi Al-Qur’aN” (Disertasi S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018), 36

[4] Abdul Karim, “Pemikiran Orientalis Terhadap Kajian Tafsir Hadis, 309.

[5] Nailun Najah, “Otentisitas Bahasa Al-Qur‘An Dan Pemaknaan Bidadari Surga (Respon Stefan Wild Terhadap Hipotesa Luxenberg)”, Kabilah, vol. 3, no. 1 (Juni 2018): 134.

[6] Syamsuddin Arif, “Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg”, AfKar (Juni 2005): 71.

[7] “Problematika Kajian Linguistik Al-Qur’an” diakses, 24 Juni, 2021, https://123dok.com/document/q511kpwy-problematika-kajian-linguistik-al-quran.html.

[8] Nailun Najah, “Otentisitas Bahasa Al-Qur‘An Dan Pemaknaan Bidadari Surga (Respon Stefan Wild Terhadap Hipotesa Luxenberg), 134-135.

[9] Khaeruddin Yusuf, “Orientalis dan Duplikasi Bahasa Alquran (Telaah dan Sanggahan atas Karya Christoph Luxenberg)”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, vol.9, no.1 (Juni 2012): 157.

[10] Abdul Haris Akbar, “Christoph Luxemberg Tentang Orisanalitas Al-Qur’an”, (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), 147-148.

[11] Wilda Rihlasyita, “Telaah Pendekatan Linguistik dalam Buku Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an” (Sebuah Kajian Kritis), Jurnal Al-Yasini, vol.3, no.2 (November 2018): 142.

[12] Khaeruddin Yusuf, “Orientalis dan Duplikasi Bahasa Alquran (Telaah dan Sanggahan atas Karya Christoph Luxenberg), 158.

[13] Khaeruddin Yusuf, “Orientalis dan Duplikasi Bahasa Alquran (Telaah dan Sanggahan atas Karya Christoph Luxenberg), 160

[14] Khaeruddin Yusuf, “Orientalis dan Duplikasi Bahasa Alquran (Telaah dan Sanggahan atas Karya Christoph Luxenberg), 163

[15] Khaeruddin Yusuf, “Orientalis dan Duplikasi Bahasa Alquran (Telaah dan Sanggahan atas Karya Christoph Luxenberg),167-168

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image