Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kristian hadiwijaya

Toleransi Sebagai Langkah Awal Menuju Kebahagiaan

Gaya Hidup | Monday, 07 Jun 2021, 10:48 WIB
Sumber: Republika

Dalam wawancaranya dengan BBC News, Trevor Phillips1 berkata, “orang-orang merasa lebih bahagia jika mereka bersama orang-orang yang seperti diri mereka sendiri. Tetapi pertanyaannya adalah: apa arti dari "seperti diri mereka sendiri" yang sesungguhnya?”.2 Pernyataan sekaligus pertanyaan itu agaknya sesuai dengan kehidupan sehari-hari saat ini. Kita merasa lebih senang ketika berkumpul dengan orang-orang yang memiliki banyak kesamaan dengan kita, seperti kesamaan agama, kesamaan hobi, kesamaan selera makan, hingga kesamaan pandangan politik. Sebaliknya, kita terkadang dapat dengan mudah marah dan benci kepada orang lain yang memiliki pendapat dan keyakinan yang berbeda.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan adalah sebuah ketetapan dari Allah SWT. Orang-orang yang sama agamanya pun memiliki pedoman yang berbeda dalam beribadah. Sama halnya dengan pandangan politik, dimana setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk menunjukkan dukungannya. Jika perbedaan membuat seseorang tidak bahagia, maka bagaimana sikap kita terhadap perbedaan yang tidak dapat dielakkan itu?

Cara terbaik untuk tetap bahagia ditengah perbedaan adalah dengan memupuk sikap toleransi. Toleransi menurut KBBI artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.3 Toleransi bukan berarti menyamakan semua hal, akan tetapi menghormati perbedaan yang ada.

Toleransi dapat dimaknai berbeda oleh setiap individu. Namun demikian, Sebuah indeks telah disusun oleh beberapa peneliti untuk mengeneralisasikan sikap toleransi tersebut. Pada tahun 2016, Global Social Tolerance Index (GSTI) disusun oleh Stelios H. Zanakis, William Newburry, dan Vasyl Taras untuk mengukur tingkat toleransi sebuah negara. GSTI terdiri atas 13 komponen yang terbagi dalam 4 dimensi toleransi yaitu: jenis kelamin, minoritas, imigrasi, dan agama.4

Hasil penelitian tersebut menempatkan negara-negara barat sebagai negara dengan tingkat toleransi yang tinggi. Negara yang termasuk dalam 10 besar negara paling toleran berdasar pada GSTI adalah: Swedia, Norwegia, Andora, Swiss, Jerman, Perancis, New Zealand, Belanda, Australia, dan Finlandia.5 Hasil yang cukup mengejutkan adalah Indonesia berada diurutan ke-48 bersama Georgia. Peringkat Indonesia lebih baik dari Malaysia namun masih lebih rendah dari Vietnam (37) dan Thailand (46).

Sikap toleransi yang ditunjukan oleh masyarakat di negara-negara tersebut membuat mereka dapat hidup dengan lebih bahagia. Hasil survey dari PBB menunjukkan bahwa 10 negara dengan tingkat toleransi yang tinggi juga tergolong dalam negara yang bahagia. Negara-negara yang toleran cenderung memiliki ranking kebahagiaan yang tinggi seperti Swedia (10), Norwegia (4), Swiss (2), Jerman (16), Prancis (36), New Zealand (8), Belanda (7), Australia (9), dan Finlandia (5). Berdasar pada hasil survei diketahui juga bahwa Indonesia memiliki tingkat kebahagian yang terbilang rendah yaitu berada diperingkat 79.6

Sikap toleransi mungkin akan lebih sulit bagi masyarakat Indonesia karena budaya kolektif yang masih kental. Budaya kolektif membuat masyarakat selalu ingin mengerjakan segala sesuatu secara bersama-sama. Budaya kolektif juga membuat masyarakat merasa bahwa kehidupan orang lain menjadi bagian dari kehidupannya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, sikap toleransi dapat kita mulai dengan menanamkan pemahaman dan nilai-nilai toleransi kepada diri kita sendiri.

Pemahaman yang baik tentang toleransi akan membuat kita lebih menghargai dan menghormati hak-hak orang lain seperti hak beragama, hak untuk hidup, hak berpendapat, dan hak untuk bahagia. Sikap toleransi yang kita tunjukan akan membuat orang lain disekitar kita merasa lebih tenang, aman, dan lebih bahagia. Lingkungan yang bahagia itulah yang kemudian akan membuat kita, secara langsung ikut menjadi lebih bahagia.

Catatan:

1 Mark Trevor Phillips adalah mantan ketua Equality and Human Rights Commission (EHRC) Inggris, mantan presenter televise, dan seorang eksekutif perusahaan. Pada tahun 2003 Trevor Phillips ditunjuk sebagai ketua Commission for Racial Equality (Komisi Kesetaraan Ras) di Inggris. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Trevor_Phillips, diakses pada tanggal 18 februari 2019

2 Mark Easton, “Does Diversity Make Us Unhappy?”, BBC News, [Online], http://news.bbc.co.uk/2/hi/programmes/happiness_formula/5012478.stm, diakses pada tanggal 18 Februari 2019

3 Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di http://kbbi.web.id/toleran diakses pada tanggal 19 Februari 2019.

4 Stelios H. Zanakis, dkk., “Global Social Tolerance Index and multi-method country rankings sensitivity”, (Journal of International Business Studies 2016), volume 47, issue 4, hlm. 482 – 483

5 Ibid., hlm. 491

6 John Helliwell, dkk., “World Happiness Report 2016 Update”, (Sustainable Development Solutions Network), edisi 2016, hlm. 22-24

7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2002), hlm. 190.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image