REKLAMASI UNTUK APA DAN SIAPA ?
Eduaksi | 2021-06-05 22:06:24Hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 mencatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 270, 20 juta jiwa. Jumlah ini menunjukkan terdapat kenaikan penduduk bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010. Ledakan penduduk ini menimbulkan berbagai dampak dan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat, seperti kemiskinan, perumahan, lapangan pekerjaan dan lain-lain (Christiani dkk, 2014). Dengan demikian, Pemerintah berupaya untuk terus mencari jalan keluar dari resiko yang terjadi atas fenomena tersebut. Namun, upaya yang dilakukan Pemerintah tidak berjalan mulus begitu saja, terdapat perdebatan dan pro kontra atas kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah. Salah satu program yang dilakukan Pemerintah dan menuai perdebatan tersebut adalah reklamasi di beberapa wilayah di Indonesia. Reklamasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bisa juga dalam artian pengurukan tanah. Adapun menurut UU Republik Indonesia memacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, mendefinisikan reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi, yakni dengan cara pengeringan lahan, pengurukan, atau drainase. Sehingga, reklamasi adalah pembuatan daratan baru dari dasar laut atau sungai yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal. Dalam pelaksanaanya, pastinya terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan reklamasi. Dalam (Lolombulan, 2017) disebutkan persyaratan yang harus diberlakukan ketika hendak melakukan reklamasi, 1) memiliki dan memperhatikan analisis AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan); 2) tanah reklamasi adalah tanah yang dikuasai oleh negara; dan 3) pemrakarsa reklamasi diberikan prioritas pertama untuk langsung mengajukan hak atas tanah reklamasi. Selain itu, di dalam Peraturan Presiden No 122 tahun 2012 juga telah dijelaskan secara lengkap mengenai syarat dari reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah apakah reklamasi yang direncanakan dan dibuat oleh Pemerintah sudah mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat pula ? hal ini bisa kita saksikan bersama melalui hasil reklamasi yang sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia telah melakukan reklamasi. Namun, apakah reklamasi tersebut berdampak positif bagi masyarakat ? dalam (Himawan & Tolen, 2016) hasil wawancaranya dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan terdapat 37 lokasi yang akan dikembangkan melalui reklamasi. Bagimanakah keadaan wilayah-wilayah yang tereklamasikan tersebut? Dalam video youtube akun (Daftar populer, 2021) Forum Rakyat Bali telah konsisten melakukan penolakan pembangunan reklamasi Teluk Benoa sejak tahun 2014. Mereka melakukan penolakan tersebut didasarkan karena sudah terlalu banyaknya pengerukan pasir yang diangkut. Selain itu, warga dan aktivis yang ada di jakarta juga gencar melakukan demo aksi penolakan reklamasi pantai ancol dan pulau-pulau buatan di Kota jakarta. Aksi yang telah dilakukan oleh warga sekitar lokasi reklamasi cenderung tidak didengarkan dan tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Suara mesin alat reklamasi telah mengalahkan suara teriakan dan aksi semangat warga. Tak dapat dipungkiri, program reklamasi juga memiliki dampak positif terutama dalam hal memenuhi kebutuhan hidup manusia yang kian meningkat dan membutuhkan ruang-ruang baru. Namun, masyarakat tak henti-hentinya menyuarakan dampak negatif yang telah dirasakan oleh mereka. Pengerukan pasir menghasilkan kerusakan lingkungan yang parah, seperti terjadinya abrasi karena kurangnya pasokan pasir dan rusaknya terumbu karang. Padahal, dua jenis hasil bumi ini merupakan peredam gelombang laut alami, sehingga abrasi tidak dapat dielakkan. Dilansir dari (Chandra, 2016) Terumbu karang telah mengalami kerusakan di 3 pesisir Makassar karena aktivitas pembangunan Center Point Indonesia (CPI) pada tahun 2017-2018. Terdapat pula kerusakan di beberapa rumah nelayan akibat abrasi tersebut. Tak hanya itu, Pesisir Serang Banten juga mengalami abrasi dan ekosistem mangrove yang rusak setelah melakukan aktivitas pengerukan pasir dalam program reklamasi di Jakarta. Tragisnya, yang luput diperhatikan adalah dampak sosial dan budayanya. Dampak ini terjadi pada ekosistem laut, sehingga nelayan dalam melanjutkan kehidupannya yang bergantung dengan laut harus mengalami kerugian akibat rendahnya penghasilan dari tangkapan ikan. Tak sedikit, para nelayan yang beralih profesi demi mendapatkan rupiah untuk memenuhi kebutuhannya. Bayangkan saja, jika ekosistem laut kian hari kian memburuk indahnya pantai juga tidak dapat disaksikan oleh anak cucu di masa yang akan datang. Mereka akan menikmati dampak-dampak rusaknya ekosistem laut saja akibat pembangunan reklamasi yang cenderung lebih mementingkan kaum Pemerintah dan pengembang.
Fenomena yang berkaitan dengan masalah lingkungan dan berdampak terhadap kehidupan masyarakat ini menyadarkan sosiolog untuk lebih mempelajari dan menganalisisnya. Menurut Dunlop dan Cutton dalam (Adiwijaya, 2020) konsep sosiologi lingkungan memiliki hubungan yang saling berkaitan, salah satu diantaranya yaitu masyarakat modern dinilai tidak akan berkelanjutan, hal ini didasari oleh mereka hidup pada sumber daya yang terbatas, sedangkan penggunaan pelayanan ekosistem jauh lebih cepat dan banyak. Dalam hal ini juga didukung oleh pertumbuhan populasi yang pesat sesuai dengan permasalahan di Indonesia yang kemudian Pemerintah mengambil upaya reklamasi sebagai jalan pintasnya. Aksi demo yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang terdampak reklamasi ini sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh Karl Marx mengenai konflik terjadi karena pertentangan antar kelas, seperti kaum proletar dan borjuis. Kaum borjuis yang identik dengan kaum kapitalis, pemilik modal, dan pemilik sarana produksi bertentangan dengan kaum proletar yang identik dengan tidak memiliki sarana produksi dan memberikan kontribusi berupa tenaga kepada kaum kapitalis untuk mempertahankan hidupnya. Fenomena ini juga menyepakati persoalan konflik menurut Dahendrof dalam (Anggreta, 2015) bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Pemerintah dan pengembang atau swasta juga memiliki kepentingan untuk mendapatkan penghasilan dari adanya pembangunan reklamasi tersebut, namun di lain sisi nelayan juga memiliki kepentingan dalam hal kelestarian ekosistem laut sebagai sumber kehidupannya. Sehingga, salah satu teori sosiologi lingkungan yang sesuai dengan fenomena tersebut adalah Marxisme ekologis, yaitu yang menyatakan kerusakan lingkungan merupakan dampak perkembangan kapitalis (Susilo,2009). Dalam hal ini, Pemerintah seharusnya lebih mendengarkan suara rakyat atas kebijakan yang telah dibuatnya, dalam pelaksanaana analisis AMDAL juga seharusnya lebih dikaji lebih dalam, sehingga tidak membuat kerugian pada satu pihak. Sudah sepatutnya, Pemerintah ataupun kaum pengembang mengesampingkan ego demi kepentingannya dan memperhatikan rakyat sebagai kaum yang dilindunginya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.