DIGITALISASI BLUE SUKUK PRODUK FLEKSIBELITAS USAHA KECIL DAN MENENGAH KELAUTAN SEBAGAI OPTIMALISASI
Bisnis | 2021-05-25 01:48:51DIGITALISASI BLUE SUKUK PRODUK FLEKSIBELITAS USAHA KECIL DAN MENENGAH KELAUTAN SEBAGAI OPTIMALISASI PERBANKAN SYARIAH DI ERA HYBRID
Covid-19 telah berlangsung selama hampir dua dekade, yang jangkauan meluas ke seluruh dunia dengan berbagai tingkat penyebarannya. Bahkan memasuki kuartal kedua tahun 2021, secara umum pandemi ini masih belum sempurna untuk diatasi (Ilham, 2020). Adanya covid-19 juga mengharuskan semua kegiatan berdasar pada digital collaboration tools. Aktivitas sehari-hari termasuk pekerjaan menjadi lebih fleksibel atau biasa disebut dengan model baru working hybrid. Hal ini mengisyaratkan bahwa perlu adaptasi pada perubahan zaman dengan memanfaatkan teknologi digital yang semakin berkembang. Covid-19 juga disebut sebagai akselerator dalam transformasi digital. Indonesia termasuk negara yang merasakan dampak dari adanya pandemi ini. Dengan populasi terbesar keempat di dunia, transformasi digital di Indonesia dapat menjadi peluang yang besar bagi semua bidang. Khususnya terkait dengan bidang ekonomi keuangan syariah.
Indonesia dikenal dengan populasi muslim terbesar di dunia, ini mengisyaratkan bahwa terdapat peluang besar bagi pertumbuhan keuangan syariah pada tingkat yang lebih cepat dari perbankan konvensional yang sudah lama berkembang sebelumnya. Pertumbuhan perbankan syariah ini juga ditunjang oleh perbaikan tingkat literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia yang menurut laporan resmi OJK (2019) menunjukkan peningkatan, pada tahun 2016 indeks literasi keuangan syariah sebesar 8,11 persen kemudian meningkat pada tahun 2019 sebesar 38,02 persen. Peningkatan literasi keuangan syariah ini juga membawa dampak positif bagi pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah itu sendiri dan diharapkan mampu mengimbangi bahkan menyalip pangsa dari bank konvensional. Karena informasi terkait produk perbankan syariah yang tersalurkan dengan baik pada masyarakat. Hal ini dapat berjalan dengan baik jika dilakukan digitalisasi terhadap sistem perbankan syariah. Untuk itu, investasi dalam digitalisasi ini juga sangat diperlukan.
Digitalisasi pada sistem keuangan sering disebut sebagai Financial Technology atau fintech dan diartikan sebuah inovasi dalam sistem keuangan khususnya keuangan syariah yang diaplikasikan secara digital dengan tujuan, masyarakat dapat dengan mudah mengakses produk dan layanan keuangan syariah. Apalagi ditunjang pada era distrupsi saat ini, penggunaan digital communication atau telecommuting sudah sangat tinggi, atau selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari angka pengguna internet di Indonesia pada tahun 2019 sebesar 150,10 juta meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 132,70 juta, begitu juga terjadi pada pengguna smartphone, berikut data lengkapnya:
Dalam digitalisasi perbankan ini juga dikenal istilah digital banking yang diartikan sebagai layanan kegiatan perbankan syariah dengan menggunakan sarana elektronik atau digital milik hak cipta bank syariah, yang menurut (Skinner, 2014) nasabah dapat melakukan beberapa transaksi perbankan secara mandiri secara online. Selain itu, pada digitalisasi perbankan syariah ini sudah mencakup prinsip-prinsip muamalah yang berdasar pada transaksi yang tentunya tidak melanggar aturan syariah seperti masyir, ikhtikar, tadlis, riba, zhulm, dan gharar (Akhtar, 2018). Prinsip-prinsip muamalah ini diaplikasikan pada digitalisasi keuangan syariah dengan bentuk layanan seperti mudharabah, murabahah, qardh hasan dan sebagainya (Hidayat, 2019).
Namun, produk layanan pada perbankan syariah masih terbatas, hal ini dinilai wajar karena masih dalam tahap perkembangan inovasi digitalisasi (Santoso, 2019). Hal ini tercermin dari beberapa sektor usaha masyarakat yang membutuhkan bantuan modal dari perbankan syariah yang dinilai lebih fleksibel daripada bank konvensional dan masih kesulitan dalam mengakses produk perbankan syariah sesuai dengan usaha yang dijalani. Salah satu potensi permintaan terbesar terhadap produk syariah ini ada pada usaha berbasis UMKM sampai perusahaan besar di sektor kelautan seperti pertanian pada rumput laut dan sebagainya (Rudi, 2019). Sehingga dibutuhkan analisis lanjutan mengenai potensi layanan produk perbankan syariah ini terutama ditunjang dari inovasi teknologi pada produk perbankan syariah itu sendiri.
Indonesia sendiri juga dikenal sebagai negara maritim dan salah satu negara dengan peroduksi hasil kelautan yang terbesar seperti perikanan laut, rumput laut dan lainnya. Hal ini sesuai ketetapan hukum laut UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa luas lautan Indonesia sebesar 2/3 dari luas total wilayah Indonesia. Ditambah lagi, hampir 65 persen penduduk di Indonesia hidup di kawasan pesisir dan laut (Nursanah, 2016). Untuk itu, potensi laut Indonesia yang besar seharusnya diimbangi dengan pengelolaan yang suistinable dengan didukung sistem usaha berbasis kelestarian kelautan.
Tetapi Indonesia masih belum memiliki peluang besar bagi keberlanjutan usahanya. Salah satu faktor dominan yang menjadi penyebabnya adalah terkait dengan permodalan yang lemah, sedangkan dilihat dari fungsi perbankan syariah adalah membantu perekonomian umat untuk menciptakan kesejahteraan hidup sesuai dengan hukum syariah. Untuk itulah, diperlukan produk syariah yang dapat fleksibel dalam akses di masyarakat khususnya sesuai dengan bidang usaha atau keperluan yang dibutuhkan seperti pada sektor usaha kelautan ini. Mufidah (2019) mengatakan bahwa salah satu solusi dalam menjawab tantangan produk perbankan yang fleksibel adalah adanya blue sukuk yang berguna bagi pendanaan nasabah, dalam hal ini adalah pengusaha di sektor kelautan, sehingga investasi di sektor ini dapat terus berjalan dan manfaat perbankan syariah dapat dirasakan masyarakat.
Blue sukuk sendiri diartikan sebagai instrumen pembiayaan keuangan syariah yang terfokus pada kegiatan usaha atau proyek pelestariaan ekosistem laut, jadi hampir mirip dengan green sukuk yang berfokus pada pelestarian di darat. Penerbitan blue sukuk ini sebenarnya masih sebatas pembahasan atau tahap perencanaan sejak tahun 2018, tetapi terdapat peluang besar untuk diterbitkan karena memiliki banyak manfaat untuk perekonomian dan lingkungan. Dari adanya penerapan blue sukuk pada sektor usaha kelautan dapat diambil manfaat selain mengelola usaha secara berkelanjutan dengan ditunjang modal dari perbankan syariah yang dapat diakses secara digital, juga dapat memberi kontribusi bagi kelestarian ekosistem laut yang pada akhirnya terjadi siklus jangka panjang dalam keberlangsungan usaha. Hal ini sebenarnya yang menjadi nilai ekonomis berupa keuntungan ekonomi sumber daya alam (Chuen, 2015).
Produk Blue sukuk juga menerapkan prinsip muamalah yang dapat mencegah praktek ilegal berupa pungli dalam keberlangsungan usaha. Karena dalam salah satu poin blue sukuk ini menyatakan bahwa pusat pengelolaan akan secara langsung diawasi oleh pemerintah dengan ditunjang kemudahan birokrasi perizinan usaha. Kemudian, blue sukuk ini dapat diterapkan pada semua jenis usaha sektor kelautan dari perusahaan besar maupun berbasis UMKM karena pemberlakuan tarif yang terjangkau dan adanya bantuan fasilitas pemasaran di dalamnya sehingga menambah nilai produk kelautan yang diproduksi UMKM sektor kelautan.
Dalam akses pada produk perbankan syariah yang berupa blue sukuk ini sudah dipermudah dengan digitalisasi. Pengusaha sektor kelautan khususnya basis UMKM dapat langsung mendaftarkan usahanya untuk dapat dimodali sesuai akad atau kesepakatan dengan bank syariah. Kemudahan persyaratan administrasi juga menajadi keunggulan dari digitalisasi perbankan syariah ini. Meskipun tidak semua persyaratan administrasi bisa dilaksanakan secara online sebab ada persyaratan tertentu yang harus diurus langsung ke bank syariah. Tetapi ini tidak menjadi penghalang karena perbankan syariah sendiri sudah memperluas jaringannya secara kinerja di masyarakat yaitu melalui kantor cabang perbankan syariah. Perbankan syariah ini secara sengaja mempeluas jaringan ke daerah dengan tujuan membantu ekonomi umat dan secara tidak langsung mempromosikan keuangan syariah yang lebih fleksibel terhadap masyarakat sampai ke daerah-daerah.
Eksistensi digitalisasi perbankan syariah juga mulai terlihat dengan adanya laporan volume transaksi kanal digital PT Bank Syariah Indonesia. Berdasarkan laporan katadata (2021) terkait volume transaksi digital BSI yang mencapai Rp 40,85 triliun pada triwulan 1 tahun 2021, dengan transaksi tertinggi berasal dari layanan mobile yang mengalami peningkatan 85,23 persen secara year on year. Hal ini dapat dikatakan perkembangan yang signifikan karena dilihat dari terbentuknya BSI yang belum sampai satu tahun masa operasi di Indonesia dan sudah memiliki pangsa yang besar dalam menyalurkan produk-produk syariahnya. Adanya inovasi yang dilakukan pada setiap digitalisasi yang dilakukan oleh sistem perbankan syariah juga menunjang dalam pengaruhnya terhadap pangsa. Tentunya inovasi yang dimaksud adalah terkait dengan sistem yang fleksibel artinya dapat diakses oleh kalangan masyarakat yang membutuhkan layanan pebankan syariah sesuai dengan tujuan dan kepentingannya.
Kemudahan akses modal yang didapat oleh para pengusaha di sektor kelautan dengan adanya blue sukuk ini pada nantinya akan menambah iklim peningkatan dalam investasi di sektor kelautan. Dalam suatu teori ekonomi pembangunan dikenal teori Harrold-Domar yang mengemukakan bahwa adanya pengaruh positif dari kegiatan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi negara (Jamaludin, 2019). Untuk itu, secara tidak langsung adanya digitalisasi dan inovasi dari produk-produk perbankan syariah, khususnya dalam menjangkau sektor-sektor perekonomian telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Jika kemudahan akses permodalan perbankan syariah terus dipertahankan bahkan dikembangkan maka dampaknya terhadap investasi pada sektor kelautan akan tumbuh signifikan. Hal ini karena investor akan melihat bahwa usaha di sektor kelautan memiliki prospek usaha berkelanjutan yang mencerminkan bisnis yang sehat secara financial.
Dalam kenyataanya produk blue sukuk belum diterbitkan, tetapi peluang bagi perbankan syariah dalam memasukan blue sukuk ke dalam produk perbankannya terhitung tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kesuksesan green sukuk yang sudah diterbitkan sebelumnya juga mempunyai permintaan tinggi dari pasar, terhitung pada tahun 2018 permintaan terhadap green sukuk sebesar 32,26 persen dari seluruh total produk perbankan syariah (OJK, 2018). Untuk itu, peluang bagi perbankan syariah dalam mengenalkan blue sukuk terhadap sektor usaha di bidang kelautan juga berpotensi besar dalam menarik pasar. Karena pasar dalam hal ini adalah pengusaha di sektor kelautan khususnya berbasis UMKM akan merespon sumber permodalan yang fleksibel dan akuntable dalam pengelolaanya.
Meskipun terdapat survei dari PwC Indonesia (2018) yang menyatakan bahwa pangsa pasar dari perbankan syariah ke depannya akan tetap sama atau bisa lebih tinggi tetapi dalam presentase lebih rendah. Ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh produk dan layanan perbankan syariah belum sebaik perbankan konvensional. Tetapi, hal ini dapat diatasi dengan digitaisasi dan inovasi terhadap sistem perbankan syariah itu sendiri, salah satunya terkait dengan kemudahan akses produk dan layanan perbankan syariah sesuai kepentingan masyarakat seperti usaha atau bisnis dalam sektor kelautan. Sistem digitalisasi perbankan syariah selain memudahkan akses oleh masyarakat juga memberi keuntungan terhadap keefisienan perbankan syariah yaitu adanya digitalisasi dapat lebih menghemat biaya operasional perbankan syariah. Hal ini sangat beralasan karena mengingat kemampuan dalam penghimpunan dana oleh perbankan syariah terhitung relatif kecil dibandingkan dengan perbankan konvensional yang masih memiliki pangsa yang besar.
Bedoui (2019) menjelaskan bahwa jika suatu produk perbankan syariah bersifat fleksibel atau mudah dalam diakses oleh masyarakat maka perbankan syariah memiliki peluang besar dalam mencapai pangsa yang besar. Hal ini diartikan sebagai bentuk konsistensi dalam pembenahan sistem perbankan syariah. Dengan digitalisasi, literasi keuangan syariah dapat perlahan meningkat sehingga pengenalan perbankan syariah yang sentral dan berdasar pada masyarakat juga akan tercapai dengan efisien. Masyarakat akan memilih produk suatu perbankan dari sisi kemudahan akses seperti dalam akses pengurusan administrasi dan pencairan dana serta pengembalian dana permodalan yang tidak terlalu memberatkan. Serta adanya faktor kepastian hukum dalam permodalan ini juga menjadi salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih produk perbankan terutama perbankan syariah.
Jaminan kepastian hukum jasa keuangan juga menjadi prioritas Otoritas Jasa Keuangan. Di Indonesia sendiri dalam pengawasan jasa keuangan termasuk dalam persaingan usah sudah menerapkan regulatory sandbox. Regulatory Sandbox ini berarti pengujian yang berbasis mekanisme untuk menilai keandalan dari proses usaha atau bisnis, instrumen keuangan, model bisnis, beserta tata kelola penyelenggara yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK, 2020). Selain itu, untuk adaptasi terhadap transformasi perlu dilakukan pengembangan sistem suptech yaitu pengawasan berbasis Intelegency Technology atau IT untuk mendorong adaptasi bertahap dalam perizinan, pelaporan maupun pengawasan baik dalam jasa keuangan maupun pada persaingan usaha (OJK, 2020).
Seperti halnya teknologi dapat mengubah industri keuangan, teknologi juga mengubah cara industri ataupun otoritas keuangan menerapkan dan menegakkan peraturan. Supervisors Technology (SupTech), yang didefinisikan sebagai bagian dari FinTech, telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. SupTech berfokus pada solusi berbasis teknologi untuk mengurangi atau menyelesaikan tantangan regulasi dan pengawasan, termasuk tantangan yang ditimbulkan oleh perluasan FinTech. Hal ini memanfaatkan data digital dan jaringan komputer untuk menggantikan proses gaya lama, struktur organisasi lembaga, alat analisis, dan meningkatkan proses pengambilan keputusan. Elemen kuncinya adalah data 3-V, termasuk tipe baru dan sumber volume data yang lebih besar yang mungkin belum dapat digunakan hingga saat ini misalnya, email, file PDF, rekaman suara, lalu lintas internet dan media sosial (Zetzsche, 2017). Kombinasi teknologi dan proses inovatif digunakan untuk memodernisasi pengumpulan dan analitik data. SupTech ini juga menggunakan teknologi biometrik yaitu berkaitan dengan pengambilan dan penyimpanan digital dari karakteristik unik individu atau pelanggan seperti sidik jari, suara dan wajah terutama dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan transaksi keuangan. Adanya teknologi biometrik ini juga menggambarkan peningkatan pengawasan dan jaminan kerahasiaan konsumen jasa keuangan yang berarti bahwa teknologi telah mengupgrade sistem jasa keuangan itu sendiri.
Adanya upgrade pengawasan jasa keuangan oleh OJK ini membawa peningkatan bagi kepercayaan dan keamanan bertransaksi khususnya dalam sistem keuangan perbankan syariah. Sistem SupTech ini juga menawarkan beberapa kelebihan khususnya dalam peralihan dari prosedur manual ke sistem berbasis teknologi. Ada 6 prinsip yang ditawarkan oleh sistem SupTech khususnya dalam menunjang pengawasan keuangan yaitu menurut lembaga Toronto Centre (2017), yaitu:
Data-Input Approach. Lembaga pelapor secara otomatis mengemas data bisnis dalam format standar dan sangat terperinci sesuai spesifikasi oleh lembaga pengawas dan mengirimkannya ke database pusat. Tidak ada agregasi yang dilakukan sebelum pelaporan, yang mengurangi biaya kepatuhan dibandingkan dengan pendekatan berbasis template manual, dan membantu menghindari kesalahan atau kerugian selama agregasi.
Data-Pull Approach. Data bisnis mentah atau tidak standar bersumber langsung dari sistem operasional lembaga dengan proses otomatis yang dipicu dan dikendalikan oleh lembaga pengawas, dan kemudian distandarisasi oleh lembaga itu sendiri, menggunakan solusi Suptech.
Reporting Utilities.SupTech dapat membuat utilitas pelaporan yaitu, struktur terpusat yang berfungsi tidak hanya sebagai database umum dari data granular yang dilaporkan tetapi juga sebagai tempat penyimpanan interpretasi aturan pelaporan, dalam format yang dapat dibaca oleh komputer. Utilitas pelaporan dapat mengurangi biaya dan ketidakefisienan lingkungan pelaporan saat ini, di mana setiap lembaga pelapor merancang dan menerapkan proses dan interpretasi aturan pelaporannya sendiri, seringkali mengandalkan nasihat hukum eksternal untuk peraturan yang kompleks. Bersama dengan peraturan yang dapat dibaca mesin yaitu peraturan yang dikeluarkan sebagai kode pemrograman yang dapat segera diasimilasi oleh sistem operasional institusi, tanpa perlu manusia untuk menafsirkannya.
Real-Time Access.Supervisor melihat data operasional leluasa daripada periode pelaporan yang ditentukan dengan mengakses langsung dengan sistem operasional lembaga, yang dapat mencakup pemantauan transaksi secara real time.
Gathering Intelligence from Unstructured. Data selain mengubah pelaporan regulasi, SupTech juga menciptakan peluang bagi lembaga pengawas untuk mengumpulkan dan menganalisis data tidak terstruktur yaitu, data yang tidak diatur dalam database dengan efisiensi yang lebih tinggi, yang dapat membebaskan supervisor dari tugas-tugas yang memakan waktu seperti membaca banyak file PDF, pencarian di internet. Data yang relevan dapat mencakup, misalnya, big data, situs web perusahaan atau usaha kecil menengah, materi pemasaran, perjanjian konsumen, media sosial, dan informasi yang dibuat secara internal di badan pengawas tetapi disimpan dalam format yang tidak terstruktur misalnya, laporan inspeksi, email, komunikasi resmi, notulen rapat, aplikasi lisensi.
Regulatory Submissions and Data Quality Management. Meskipun banyak lembaga pengawas khususnya di negara maju yang memiliki prosedur yang sepenuhnya otomatis untuk mengelola pengiriman oleh lembaga pelapor dan mengelola kualitas data yang dilaporkan, termasuk menjalankan uji validasi, produk dan layanan SupTech baru ditawarkan secara khusus untuk pengiriman dan kualitas data manajemen, yang dapat menguntungkan supervisor di yurisdiksi di mana tugas-tugas ini masih melibatkan prosedur manual.
Kemajuan pengawasan dengan sistem SupTech yang mulai diterapkan OJK juga meningkatkan kualitas pelayanan perbankan syariah khususnya dalam produk keuangannya yang semakin fleksibel terhadap perkembangan digitalisasi. Produk keuangan ini diterapkan dalam bentuk financial technology dalamd membantu permodalan usaha kecil dan menengah dengan berbagai tingkat permodalannya. Salah satunya adalah terkait dengan blue sukuk yang sedang dibahas untuk diterapkan di Indonesia. Peluang diterbitkannya juga besar, mengingat ekosistem laut merupakan hal yang penting untuk dijaga kelestariannya. Sehingga usaha-usaha yang berbasis kelautan juga perlu untuk menerapkan bisnis econowable maritime.
Dengan demikian, peluang besar bagi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia masih tetap ada dan terus meningkat jika ditunjang oleh digitalisasi sekaligus inovasi di dalamnya. Inovasi ini dapat berupa pembaharuan produk-produk syariah yang masih belum dikelola dalam digitalisasi perbankan syariah seperti pada blue sukuk yang berpeluang besar akan diterbitkan. Sifat fleksibelitas perbankan syariah sangat diperlukan pada masa saat ini, apalagi pada era distruptif segala hal termasuk transaksi keuangan dituntut lebih mudah dilakukan melalui digitalisasi yang memberi kenyaman dalam setiap transaksinya. Hal ini dengan alasan transaksi online perbankan syariah memiliki kelebihan dalam hal prinsip muamalah yang terjamin sesuai tuntunan syariah yang dianjurkan. Ditunjang adanya upgrade dalam pengawasan jasa keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia yaitu dengan adopsi sistem Supervisors Technology juga dapat membawa dampak positif bagi peningkatan kepercayaan perbankan syariah dalam menjalankan sistem teknologi dalam menajemennya atau dalam penyaluran permodalan khususnya pada sektor usaha kecil dan menengah. Sehingga pada akhirnya pertumbuhan ekonomi nasional juga akan meningkat seiring dengan peningkatan ekonomi usaha kecil menengah khususnya berbasis kelautan yang ditunjang permodalan yang fleksibel dan akuntable dari perbankan syariah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.