Digitalisasi dan Khittah Perbankan Syariah
Bisnis | 2021-05-18 06:32:20Perbankan syariah di Indonesia terus menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu. Industri perbankan syariah yang awalnya hanya dihuni oleh satu pemain (Bank Muamalat Indonesia) pada awal dekade 1990an, kini telah semakin ramai. Data Statistik Perbankan Syariah (SPS) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa per Februari 2021, telah terdapat 14 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 175 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Perkembangan industri perbankan syariah setidaknya didorong oleh dua jenis aksi korporasi yang sebagiannya diakibatkan oleh perubahan regulasi. Pertama, merger tiga bank syariah milik BUMN, yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM), BRI Syariah, dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) yang mulai beroperasi pada bulan Februari 2021 lalu. Merger tiga bank syariah tersebut membawa impian ambisius, yakni hadirnya sebuah bank syariah yang menjadi top 10 bank nasional dan top 10 bank syariah dunia pada tahun 2025 sejalan dengan upaya Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Merger dan konsolidasi tiga bank syariah BUMN ini diharapkan akan menjadi pelopor penguatan industri perbankan syariah di Indonesia.
Kedua, konversi sejumlah bank konvensional menjadi bank syariah. Hal ini khususnya terjadi pada Bank Pembangunan Daerah (BPD). Tren konversi BPD ini diawali oleh BPD Aceh yang mengalami konversi pada tahun 2016, kemudian disusul oleh Bank NTB pada tahun 2018. Konversi sejumlah BPD ini memiliki arti penting karena secara signifikan mampu meningkatkan pangsa pasar (market share) dari perbankan syariah. Pangsa pasar perbankan syariah yang sebelumnya "mentok" di angka 5% kemudian meningkat menjadi 6,3% pada saat konversi Bank Aceh terjadi. Mengingat bahwa Bank Nagari (Sumatera Barat) dan Bank Riau Kepri saat ini tengah dalam proses menuju konversi, maka tren peningkatan pangsa pasar pasca konversi BPD diperkirakan masih akan berlanjut.
Di samping perkembangan perbankan syariah yang didorong oleh aksi korporasi maupun perubahan kebijakan di atas, perkembangan perbankan syariah tidak terlepas dari perkembangan sektor ekonomi syariah yang terkait, yaitu industri halal dan filantropi Islam. Dari sisi industri halal, perkembangan industri halal yang saat ini tengah didorong pemerintah tentu tidak akan terlepas dari peran perbankan syariah sebagai penyedia jasa keuangan bagi industri halal. Tingkat kesadaran akan pentingnya kehalalan produk serta regulasi yang mendukung (UU Jaminan Produk Halal/JPH dan turunannya) serta perkembangan pasar industri halal domestik dan global yang cepat menjadikan integrasi industri halal dan perbankan syariah merupakan sebuah keniscayaan jika perbankan syariah ingin terus berkembang pesat.
Di samping itu, perkembangan filantropi Islam yaitu zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) juga sejalan dengan perkembangan perbankan syariah. Peningkatan kesadaran untuk memenuhi kewajiban sosial dan membantu masyarakat luas melalui instrumen ZISWAF terlebih pada masa bencana alam maupun pandemi COVID-19 menjadikan transaksi keuangan lembaga pengelola ZISWAF ikut meningkat. Perbankan syariah dalam konteks ini memiliki peran krusial untuk menyediakan layanan jasa sistem pembayaran sehingga dapat memastikan donasi ZISWAF dapat dilakukan di manapun dan kapanpun jua oleh masyarakat.
Di tengah perkembangan di atas, perbankan syariah menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Salah satunya adalah pandemi COVID-19 yang memporak-porandakan ekonomi dunia serta mengubah berbagai aspek kehidupan manusia. Perubahan tersebut selain berupa kesadaran akan kesehatan yang meningkat, juga membawa pada akselerasi penggunaan teknologi digital oleh masyarakat. Seiring dengan peningkatan akses telepon seluler dan internet, maka interaksi masyarakat dengan layanan digital seperti e-commerce, e-money, hingga fintech menjadi hal yang lumrah pada saat ini. Terkhusus fintech, kehadiran layanan keuangan berbasis digital ini dianggap dapat menjadi ancaman bagi industri perbankan secara umum, termasuk perbankan syariah. Hal ini semakin menguat seiring dengan kehadiran BigTech, yaitu perusahaan teknologi startup yang mampu mengintegrasikan berbagai layanan baik fintech, e-commerce, payment system, hingga berbagai layanan lainnya dalam satu platform aplikasi. Hal ini tentu dapat menjadi ancaman tersendiri bagi industri perbankan syariah.
Dalam pandangan penulis, hendaknya perbankan syariah kembali pada "khittahnya", yakni sebagai institusi jasa keuangan yang lahir dari masyarakat (bottom-up) yang ingin terbebas dari jerat layanan keuangan ribawi dan menyediakan jasa keuangan yang lebih halal dan lebih baik. Dalam hal ini, perbankan syariah harus mampu merangkul lagi segmen masyarakat yang penting bagi perkembangan ekonomi syariah, yaitu:
1. UMKM, dengan jumlah unit bisnis maupun serapan tenaga kerja yang besar di seluruh Indonesia namun rentan mengalami kendala permodalan.
2. Pesantren, dengan semangat kewirausahaan berbasis santri yang saat ini berkembang namun membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan.
3. Lembaga pengelola ZISWAF, yang mengelola dana sosial masyarakat dan menggerakkan ekonomi di saat yang paling sulit sekalipun
Perbankan syariah harus mampu menyediakan solusi layanan jasa keuangan bagi segmen masyarakat di atas yang seringkali diabaikan oleh lembaga keuangan konvensional. Solusi tersebut sangat mungkin dicapai melalui proses digitalisasi. Namun digitalisasi ini bukan hanya semata menjadikan adanya teknologi dan mesin yang dioperasikan, namun mampu menjawab permasalahan mereka. Misalkan, perbankan syariah menyediakan pembiayaan bagi wirausaha santri di bidang makanan, dan hendaknya diarahkan untuk membantu pengadaan bantuan makanan bagi mustahik zakat yang dikelola oleh lembaga amil zakat mitra bank syariah. Kemampuan inovasi dan juga sinergi bank syariah dengan berbagai stakeholder melalui upaya digitalisasi yang solutif adalah kunci kesuksesan mereka pada masa mendatang, insyaallah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.