Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Tersisa Waktu Dua Pekan Lagi Untuk Mengasah Fitrah Kemanusiaan

Agama | Monday, 18 Apr 2022, 21:57 WIB

Idealnya setiap saat kita harus banyak membahas dan mengingat fitrah kemanusiaan. Betapa tidak, pada saat ini, sisi kemanusiaan kita terkadang sudah banyak melenceng dari fitrah manusia itu sendiri.

Berbagai tindak kejahatan yang terjadi hampir setiap menit membuktikan sisi fitrah kemanusiaan di sekitar kita mulai sirna. Tindak kejahatan pada saat ini sudah benar-benar di luar batas sisi kemanusiaan. Pencurian dengan kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, tindak pidana korupsi, dan lain sebagainya merupakan bukti terkikisnya nilai-nilai fitrah kemanusiaan.

Berkenaan dengan sebutan manusia, Al-Qur’an memberikan beberapa istilah, diantaranya basyar yang disebutkan sebanyak 36 kali dalam 26 surat, dan insan sebanyak 65 kali dalam 44 surat (Fuad Abdul Baqi, Al Mu’jam Al Mufahras Li Alfadhil Qur’an : 119-120, 153 – 154).

Imam Fakhrurrozi dalam Tafsir Fakhrurroji, Jilid 19 : 185-186) menyebutkan, basyar lebih mengacu kepada sosok makhluk yang memiliki badan, dapat dilihat dan diraba, memiliki tubuh, wajah, dan kepala. Sedangkan insan memiliki arti harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.

Manusia sebagai basyar hanya memiliki perbedaan sedikit dengan hewan, diantaranya dalam hal pertumbuhan bulu atau rambut. Oleh karena itu, dalam diri manusia terdapat sifat hewani (bahimiyah). Diantara sifat bahimiyah yang mendominasi manusia adalah kebutuhan akan makanan, minuman, dan kebutuhan hubungan biologis.

Sifat bahimiyah lainnya yang sering mendominasi manusia adalah keinginan untuk menguasai orang lain, rakus, berbuat jahat, dan mengambil hak manusia lainnya. Kondisi ini oleh para filosof disebut homo hominim lupus, manusia merupakan serigala (yang siap menerkam) manusia dan makhluk lainnya.

Di sisi lain, manusia memiliki fitrah yang baik, yakni makhluk yang dapat saling menyayangi, hidup harmonis, berakhlak lembut, hidup bertetangga, bermasyarakat, dan tolong-menolong. Kondisi ini oleh para filosof disebut homo hominim socius (manusia adalah makhluk sosial).

Tindakan kriminal dan tindak kekerasaan yang banyak mencuat akhir-akhir ini harus menjadi bahan renungan, “ada apa dengan manusia-manusia abad modern sekarang ini?” Mengapa mereka bersikap dan berperilaku brutal, bukankah manusia-manusia modern merupakan manusia yang berpendidikan tinggi?” Mengapa manusia berpendidikan tinggi bernurani mati?” “Apa yang salah dengan kehidupan manusia modern pada saat ini?”

Tepatlah apa yang dikatakan George Bernard Shaw seorang novelis dan politikus Irlandia, “Sekarang kita sudah belajar terbang di udara seperti burung, berenang di bawah laut seperti ikan, namun kita kekurangan satu hal untuk belajar hidup di bumi sebagai manusia.”

Secara filosofis, bisa jadi manusia-manusia pada saat ini telah berubah status dari homo hominim socius menjadi homo roboticus (manusia berkarakter robot). Sepintar dan sekuat apapun sebuah robot, ia merupakan benda yang nirperasaan (mati rasa). Ia hanya mengetahui perintah sesuai program mesin/komputer yang ada dalam tubuhnya. Ia tak akan perduli dengan apapun yang akan terjadi dengan perbuatannya, yang terpenting apa yang ia lakukan sesuai dengan program mesin/komputer yang ada dalam tubuhnya.

Kemungkinan besar, sebagian manusia pada saat ini laksana sebuah robot. Program mesin/komputernya adalah hasrat dan syahwat yang menguasai hati nurani dan pikirannya. Ia sudah tak peduli lagi dengan akibat yang akan terjadi dengan sikap dan perilakunya. Ia sudah tak lagi memiliki kepedulian dengan perasaan manusia lainnya bahkan bisa jadi manusia lainnya hanya dianggap sebagai “sarana” untuk mencapai hasrat dan keinginan syahwatnya.

Pendidikan manusia pada saat ini sangat maju. Demikian pula dengan teknologinya, serba canggih. Namun dibalik semua itu, ada sisi kemanusiaan yang sering hilang, yakni fitrah kemanusiaan. Karenanya, sudah saatnya kita mengembalikan fitrah kemanusiaan. Setiap saat kita harus kembali berupaya menghidupkannya.

Salah satu sisi fitrah kemanusiaan tersebut adalah nilai-nilai spiritual dan sosial. Nilai-nilai spiritual merupakan pengingat, bahwa kita akan kembali kepada Yang Maha Pencipta dan harus mempertanggungjawabkan segala perilaku kita. Sementara nilai-nilai sosial merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai spiritual yang diwujudkan dalam kehidupan saling menghormati, saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling melindungi.

Jika tanggungjawab spiritual dan sosial selalu tumbuh dalam hati kita, insya Allah kehidupan yang damai dan tentram akan tercapai. Namun jika sebaliknya, jika nilai-nilai spiritual dan sosial kita mati, bisa jadi kita akan hidup dalam rimba kebinatangan, saling menerkam, saling berebut kekuasaan, dan saling membunuh. Bahkan bisa jadi, kita akan menjadi “binatang jadi-jadian” yang berperilaku lebih kejam daripada binatang yang sebenarnya.

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam dengan banyak kalangan dari jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannnya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Q. S. al A’raf : 179).

Ramadhan yang suci ini merupakan saat yang tepat untuk mengasah kembali fitrah kemanusiaan kita. Saling menyayangi, saling peduli seraya mengasah kepakaan spiritual terdapat pada bulan nan suci ini. Sangatlah rugi jika kita memasuki bulan suci, namun ketika usai melewatinya kita tak mampu mengendalikan karakter kebinatangan yang ada pada jiwa kita.

Sangatlah rugi jika usai melewati bulan suci ini kita tak memiliki perubahan apapun. Oleh karena itu, kini tersisa waktu dua pekan lagi untuk kita manfaatkannya sebagai ajang untuk kembali mengasah fitrah kemanusiaan.

Alangkah bijaknya jika dua pekan tersisa dari bulan suci ini kita menyempatkan diri untuk melakukan i’tikaf. Inti dari i’tikaf adalah melakukan kontemplasi, perenungan atas perjalanan kehidupan. Tingkat paling minimal merenungi kehidupan kita satu tahun ke belakang.

Jika kita benar-benar melakukan kontemplasi, perenungan atas perjalanan hidup, sudah pasti kita akan menemukan berbagai kekurangan bahkan kecurangan dalam menjalani kehidupan ini. Untuk menghapusnya tak ada cara lain kecuali segera bertaubat, memohon ampun kepada-Nya.

Inti dari orang yang meraih kemuliaan lailatul qadar adalah mereka yang memperoleh ampunan Allah. Selain itu, orang-orang yang meraih kemuliaan lailatul qadar adalah mereka yang mampu menumbuhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan atau fitrah kemanusiaan dalam kehidupannya, menebar kasih sayang, menjauhi permusuhan, saling menghargai, dan mampu mengendalikan karakter bahimiyah yang bersemayam di jiwanya.

ilustrasi : saling menolong (sumber gambar : https://republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image