Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wahyu Ginanjar

Kembali Memahami Hakikat Idul Fitri

Agama | Wednesday, 12 May 2021, 20:23 WIB

Momentum idul fitri tahun ini kembali dirasakan berbeda karena masih dalam suasana pandemi Covid-19. Hal ini ditandai dengan tetap pelaksanaan ibadah di bulan ramadhan dengan protokol kesehatan, ditambah dengan larangan mudik yang di sampaikan oleh pemerintah Indonesia karena khawatir ada lonjakan penambahan kasus pasien positif.

Padahal mudik merupakan tradisi yang ditunggu-tunggu bagi masyarakat perantau karena merupakan bagian dari momentum berharga dapat bersilaturahmi dengan sanak keluarga di kampung halaman.

Akan tetapi, dengan suasana berbeda ini tidak menyurutkan kebahagiaan umat Islam dalam melaksanakan idul fitri. Makanan, pakaian, dan yang lainnya di siapkan walaupun hanya berbagi dengan sahabat dan tetangga terdekat. Karena momen idul fitri bagi masyarakat indonesia merupakan momentum saling berbagi sebagai tanda kasih sayang sesama.

Saling berbagi inilah yang menjadi salah satu makna hakikat dari idul fitri selain dimaknai sebagai hari kemenangan, karena dianggap berhasil memenangi untuk mengendalikan nafsu hewani yang ada dalam dirinya.

Selama satu bulan lamanya umat Islam di terpa latihan mengendalikan nafsu dengan menahan lapar dan haus mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, sehingga selepas idul fitri umat Islam merasakan kebahagiaan yang sangat luar bisa.

Idul fitri secara bahasa terdiri dari dua unsur kata yaitu id yang memiliki arti harfiah kembali dan fitri yaitu kesucian atau agama yang benar. Menurut salah satu pakar tafsir Indonesia Quraisy Shihab mengatakan bahwa makna fitri/fitrah memiliki tiga makna yaitu agama yang benar, asal kejadian, dan kesucian.

Idul Fitri di maknai kembali agama yang benar bahwa secara bathiniah menuntut keserasian hubungan karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagaman yang benar. Artinya ada hubungan yang sesuai antara hamba dengan khalik, makhluk, dan alam semesta.

Idul fitri dimaknai dengan asal kejadian mengidentifikasikan bahwa manusia harus ingat kembali kepada purwa daksi (asal dari mana dan akan kemana), sehingga memunculkan kesadaran bahwa dirinya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Dengan begitu, seluruh hidupnya semata-mata mengharap ridha Allah tidak berharap kepada manusia karena yang dituju adalah Allah Sang Pemilik Makhluk.

Terakhir idul fitri dimaknai kesucian memiliki makna tiga penopang utama yaitu keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Quraish Shihab kesucian adalah gabungan tiga unsur, yaitu benar, baik dan indah. Sehingga seseorang yang ber-Idul Fitri dalam arti kembali ke kesuciannya akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik.

Bahkan lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu mencari sisi-sisi yag baik, benar, indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar menghasilkan ilmu.

Berdasarkan uraian tersebut hakikatnya orang yang memahami hakikat makna idul fitri tidak akan mencari kesalahan dan kejelakan orang lain tetapi berusaha sekuat mungkin untuk menutupi setiap aibnya. Karena sadar betul bahwa hakikatnya pengejawantahan dari makna kesucian adalah memandang segalanya dalam pandangan positif bukan negatif.

Dari ketiga makna inilah, hakikatnya idul fitri merupakan salah satu momentum manusia berusahan untuk mencapai maqam insan kamil (manusia yang sempurna) yaitu manusia yang benar yakin terhadap agama Islam, ingat berasal dari mana akan kemana, dan berusaha memandang sesuatu dalam kacamata kebaikan. Ketika tiga hal ini tercapai maka akan memunculkan as-sa'dah (kebahagiaan) dalam diri muslim.

Di ujung tulisan, penulis menekankan bahwa momentum idul fitri bukan hanya sebatas ditandi dengan pakaian baru, tetapi terus berbenah diri menjadi muslim yang sadar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image