Saat Youtuber Menambang Kemiskinan
Gaya Hidup | 2021-05-03 22:47:31Menolong orang miskin untuk dijadikan sebuah konten Youtube rasanya sudah lumrah saat ini. Sepengetahuan saya, ada beberapa selebritas Tanah Air yang memproduksi konten semacam itu. Mungkin menurut mereka itu kreatif, sekaligus berpotensi menjaring banyak viewers. Saya cukup yakin alasan yang terakhir lebih menjadi pertimbangan utama.
Konten semacam itu dibuat tentu karena ada pasarnya, ada penikmatnya. Agak miris bukan ketika saya menggunakan kata penikmat? Sebelum mengulas soal konten-konten Youtube dengan konsep semacam itu, saya ingat pernah menyaksikan acara ajang pencarian bakat penyanyi dangdut di sebuah stasiun televisi. Dalam acara itu, salah seorang kontestan diminta menceritakan latar belakang kehidupannya.
Pada momen itu, terungkap bahwa dia berasal dari keluarga tidak mampu. Rumahnya reyot, orang tuanya sudah tak bekerja dan sakit-sakitan. Saat menceritakan hidupnya, kontestan itu tak kuasa membendung tangis. Ada pula juri yang menitikkan air mata. Dan tak sedikit penonton di studio yang ikut terharu. Dia menyanyi hanya lima menit. Tapi durasi untuk menelanjangi dan mengeksploitasi kemiskinannya berlangsung lebih dari 30 menit. Di sela-sela momen tersebut, logo brand sponsor berseliweran.
Adegan demi adegan itu biasanya diakhiri dengan kata-kata motivasi dari para juri. Mereka menyuguhkan pesan-pesan moral yang basi dan klise. Seolah-olah hidup semudah kalimat-kalimat yang mereka rangkai secara spontan. Kalimat-kalimat yang miskin pengalaman. Prosesi itu kemudian diakhiri riuh tepuk tangan penonton di studio. Apakah banyak yang menyaksikan program tersebut? Tentu banyak.
Lalu ke mana kontestan-kontestan itu setelah ajang pencarian bakat berakhir? Tentu ada yang menjadi selebritas, tapi lebih banyak yang tenggelam dan melakoni kembali kehidupan aslinya. Bergumul lagi dengan kemiskinannya.
Konten semacam itu kini diproduksi pula oleh segelintir selebritas untuk saluran Youtube-nya. Mereka, dalam konten yang dibuatnya, menemui atau bahkan ditemui oleh orang-orang miskin. Model percakapannya tak jauh berbeda dengan acara ajang bakat penyanyi dangdut, yakni berkisar pada kesusahan orang-orang itu. Kemudian terlontar pula pertanyaan-pertanyaan soal ibadah. Menimbulkan kesan bahwa mereka miskin karena kurang bersyukur dan beribadah. Bukan skeptis, tapi menurut saya penyematan soal ibadah dalam konten-konten tersebut juga memiliki intensi khusus. Silakan terka-terka sendiri apa motivasinya.
Setelah orang-orang miskin itu ditelanjangi, sang selebritas kemudian membantunya. Memberinya uang atau memenuhi apa yang dibutuhkannya. Pasca-melewati serangkaian proses produksi, konten itu diunggah ke Youtube. Mengingat mereka adalah selebritas (mungkin diperkuat pula dengan strategi marketing atau promosi), konten eksploitasi kemiskinan itu pun diterima dan dengan mudah memperoleh ratusan ribu, bahkan jutaan klik. Dari proses monetisasi, brand deal, dan lainnya, uang kemudian mengalir ke rekening para selebritas tersebut.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menilai persoalan baik atau tidak baik. Dari kacamata orang yang dibantu, apa yang dilakukan para selebritas itu tentu saja sangat bernilai. Selebritas-selebritas itu, secara sadar atau tidak sadar, juga sudah membantu tugas negara dalam memelihara orang-orang miskin.
Tapi dalam konteks motivasi, sulit untuk mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan kepada orang-orang miskin itu adalah sebuah tindak ketulusan menolong. Sebab di sana ada proses komodifikasi; apa yang mereka lakukan pada akhirnya akan muncul sebagai sebuah produk (konten) yang dimaksudkan untuk menangguk profit. Ada logika berdagang di dalamnya.
Pada saat bersamaan, di sebagian konten Youtube para selebritas itu, ada ajang pamer kekayaan; jam puluhan juta, mobil mewah berharga miliaran, dan rumah megah yang kamar mandinya bahkan lebih luas dari ukuran rumah petak warga Tambora, Jakarta Barat. Setangkup kekayaan mereka, tentu saja bersumber dari hasil menambang; menambang kemiskinan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.