Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kunci Sukses

Meniti Samara Dengan Berkah Ramadhan

Agama | Friday, 15 Apr 2022, 14:07 WIB
Oleh Indah Kartika Sari (Pemerhati Keluarga)

Mendengar ungkapan “Baitiy Jannatiy” atau “Rumahku adalah Surgaku” serasa menyejukkan hati. Betapa tidak, suasana surga yang menyenangkan dan menggembirakan hadir di tengah-tengah rumah tangga. Datangnya tamu agung bulan Ramadhan yang penuh berkah seakan melengkapi suasana damai rumah tangga dalam naungan cinta Ilahi. Rumah tangga bagaikan surga dunia ini digambarkan Allah SWT dengan ungkapan Sakinah, Mawaddah dan Rahmah. Firman Allah SWT :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu Mawaddah dan Rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [QS Ar-Rum 21].

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya an-Nizhom al-ijtima’iy fii al-Islam, menjelaskan konteks ayat ini yang artinya, pernikahan itu menjadikan suasana sakinah yaitu suasana di mana seorang suami merasa cenderung kepada istrinya. Begitu pula sebaliknya, istri pun akan cenderung kepada suaminya. Keduanya akan merasa tentram dan damai di sisi pasangannya masing-masing. Kecenderungan ini membuat mereka akan merasa dekat dan akan berusaha saling mendekat, bukannya saling menjauh. Rasa tentram dan damai itu akan membuat suasana bahagia. Kedekatan dan keakraban yang terjadi pada suami istri akan memunculkan rasa cinta (mahabbah) sehingga muncullah suasana mawaddah yang menjadi pelekat kuat hubungan pasangan suami istri. Dengan adanya mawaddah, rumah tangga muslim akan bertabur cinta dan kemesraan. Mawaddah akan tercipta bila suami istri saling memberi, sering mengingat dan mensyukuri kebaikan masing masing serta menjalin komunikasi yang penuh dengan kehangatan dan persahabatan.

Dengan berjalannya biduk rumah tangga mereka dari waktu ke waktu, maka Allah menurunkan suasana rahmah (rasa kasih sayang). Rahmah adalah bentuk kasih sayang suami istri tanpa adanya imbalan, saling menutup kekurangan masing-masing dan menjadi pelengkap ketika mawaddah sudah mulai menurun. Suasana rahmah yaitu cinta dan kasih sayang yang tulus, tak pernah lapuk dimakan waktu juga tak pudar dimakan usia.

Maa syaa Allah, karena suasana rahmah inilah, kita sering melihat betapa seorang suami masih setia kepada istrinya walaupun secara fisik istrinya sudah tidak cantik dan tidak menarik lagi. Suasana rahmah membuat kita dibuat takjub dengan pasangan suami istri yang awet hingga mereka menjadi kakek nenek. Bahkan suasana rahmah membuat kita kagum dengan kesetiaan suami dalam mendampingi istrinya menjalani hari-harinya yang tak berdaya dan ketulusannya merawat sang istri dengan segala keterbatasannya. Padahal di saat yang sama suami itu mampu untuk menikah lagi. Namun saat itu, suasana rahmah-lah yang berperan besar menopang keutuhan rumah tangga. Subhaana-Llah, siapa lagi yang menurunkan suasana sakinah,mawaddah dan rahmah itu kalau bukan Sang Pemilik Cinta dan Kasih Sayang ?

Ketika Allah SWT menurunkan ayat tersebut tentu saja Allah menginginkan sebuah pernikahan tersebut diliputi kedamaian dan ketentraman. Kedamaian dan ketentraman ini merupakan awal dari suasana bahagia. Suasana bahagia akan menciptakan keluarga tangguh yang siap melahirkan generasi cemerlang.

Rasulullah SAW menegaskan lebih rinci tentang gambaran kebahagiaan seorang muslim dalam sabdanya:

اربع من السعادة : المرأة الصالحة والمسكن الواسعة والجار الصالح والمركب الهنىء—واربع من الشقاء: الجار السوء والمرأة السوء والمركب السوء والمسكن الضيق (رواه أبن حبان(

“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalehah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang : tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang jelek dan tempat tinggal yang sempit”.(HR.Ibnu Hiban)

Namun sangat disayangkan, saat Ramadhon seperti sekarang rumah tangga muslim masih banyak yang diliputi kemuraman. Ramadhan yang penuh dengan keberkahan belum mampu menciptakan suasana bahagia dalam rumah tangga muslim. Krisis identitas keluarga muslim masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan hatta Ramadhan tiba.

Meski Ramadhan sudah silih berganti datang dan pergi, fenomena disharmonisasi keluarga ini menjadi persoalan yang terus merebak ke seantero negeri, Ini ditunjukkan oleh peningkatan angka perceraian dari tahun ke tahun. Penyebab perceraian didominasi oleh permasalahan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan gangguan pihak ketiga. Selain itu faktor perceraian juga disebabkan oleh pasangan menikah usia muda yang belum matang dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga. Fenomena gugat cerai mendominasi kasus perceraian . Di antara penyebabnya adalah banyak istri menjadi wanita karir, sehingga penghasilan istri lebih besar, istri tidak sabaran dan menuntut hal-hal diluar kemampuan suami (seperti uang belanja), istri merasa memiliki hak yang sama dengan suami apalagi hak perempuan sudah diatur oleh UU sehingga jika ada KDRT, istri berani menuntut cerai suami. Sebab lain, pendidikan perempuan sudah tinggi sehingga perempuan merasa lebih mandiri dan tidak membutuhkan suami lagi.

Meski Ramadhan hadir di tengah-tengah rumah tangga muslim, namun rumah tangga muslim sudah mulai kehilangan visi dan misi dalam membentuk dan menjalankan biduk rumah tangga. Suasana sistem sekuler kapitalis telah menggerus peran suami, istri dan anak. Dampak ekonomi liberal telah memaksa para suami terpaksa kehilangan peran utamanya sebagai pencari nafkah akibat PHK. Kerasnya sistem sekuler kapitalis telah memaksa para istri menggantikan peran suami menjadi pencari nafkah. Beban kerja yang sedemikian tinggi ditambah konsekuensi meninggalkan keluarga jauh ke negeri orang telah membuat para istri mengalami tekanan psikologis yang berat. Mereka terpaksa mengorbankan peran utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi. Ketidakmampuan memikul beban rumah tangga dan pekerjaan secara bersamaan telah memicu konflik rumah tangga yang berujung pada keretakan. Nasib generasi berada di ujung tanduk. Kehilangan makna kebahagiaan dan kasih sayang akibat perceraian kedua orang tuanya.

Suasana ibadah Ramadhan yang sarat dengan taqwa sudah terkikis dalam keluarga muslim. Motivasi materi telah memaksa para orang tua mengejar karir hingga melupakan kenikmatan beribadah di bulan Ramadhan. Sang anak tidak dapat lagi merasakan suasana ibadah di bulan Ramadhan bersama kedua orang tua mereka. Di kala buka puasa tiba, anak hanya sendirian menyantap hidangan berbuka tanpa kehadiran orang tua yang masih berada di tempat kerja. Sang anak juga tidak dapat merasakan betapa nikmatnya tadarrus al Qur’an dan qiyamullail bersama orang tuanya. Pada saat sahur pun, ibu mereka tidak dapat menghidangkan hidangan sahur bahkan ayah yang diharapkan dapat memberikan nasehat-nasehat penggugah jiwa pun tak didapatkan pula karena keduanya masih tertidur pulas akibat keletihan dalam bekerja. Sekalipun Ramadhan hadir, namun suasana keluarga terasa gersang dan jauh dari nilai-nilai ruhiyah. Bahkan yang memprihatinkan, Ramadhan yang syahdu terusik dengan berbagai keributan akibat konflik dalam rumah tangga. Stress dan beban mental melanda pemikiran dan hati anak-anak. Di akhir Ramadhan, tidak ada persiapan dalam menyambut datangnya malam Qodar. Keluarga justru tersibukkan dengan persiapan menyambut lebaran. Para ayah di malam-malam i’tikaf justru bekerja keras mencari tambahan biaya untuk persiapan menyambut lebaran. Lebaran hanya dijalankan sebatas seremonial belaka. Pasca Romadhan, tidak ada yang berbekas dari madrasah Ramadhan selain rutinitas tanpa makna. Wajar saja jika dengan berlalunya Ramadhan, degradasi moral generasi dan tingkat perceraian semakin bertambah.

Oleh karena itu seiring dengan datangnya Ramadhan tahun ini, penting bagi keluarga muslim menjadikan Ramadhan sebagai madrasah untuk mengembalikan “role” keluarga muslim sejati. Keluarga muslim sejati adalah potret keluarga yang menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam membangun hubungan suami, istri dan anak-anak dalam suasana kesakinahan. Rumah tangga dibangun atas dasar ikatan yang kokoh (mitsaaqon gholizhon) yang menjadikan Allah sebagai Saksi sekaligus sebagai Wakil dalam segala urusan dalam rumah tangga. Bagi suami sebagai qowwam dalam rumah tangga, istri dan anak adalah titipan sekaligus amanah Allah yang harus dipelihara kefitrahan dan kesucian aqidahnya. Dengan kepemimpinannya itu, suami memiliki otoritas hendak kemana biduk rumah tangganya itu akan diarahkan. Tentu dengan dasar aqidah yang kokoh, suami tidak akan membiarkan debu-debu kehidupan sekuler kapitalis mengikis habis keyakinan, pemikiran bahkan sikap istri dan anak-anaknya.

Keluarga muslim sejati akan menjadikan keridhoan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Menjadikan taqwa kepada Allah sebagai landasan dalam membangun rumah tangga. Menjadikan ketaatan kepada syariah sebagai bekal dalam menyelesaikan berbagai persoalan rumah tangga. Aqidah yang kokoh akan membawa pemahaman setiap anggota keluarga bahwa rizki itu berasal dari Allah sehingga tugas suami adalah berusaha memberikan makanan, pakaian, pendidikan dan kesehatan berasal dari nafkah yang halal dan thoyib. Anggota keluarga yang lain berusaha agar suami atau kepala keluarga tidak terperosok ke dalam pekerjaan yang haram. Aqidah yang kokoh akan melahirkan sikap ketaatan istri kepada suami dalam rangka ketaatan kepada Allah. Aqidah yang kokoh akan memunculkan kepatuhan anak kepada orangtua. Aqidah yang kokoh pun akan melahirkan sikap ridho seorang istri dalam menjalankan kewajibannya sebagai ummun wa robbatul bait. Sementara itu aqidah yang kokoh juga akan menjadikan suami memperlakukan istri dan anak-anaknya seperti sahabat yang bisa saling berbagi. Aqidah yang kokoh akan menjadikan seluruh anggota keluarga melaksanakan berbagai kewajiban tanpa menuntut hak-haknya karena meyakini bahwa hak-hak sekaligus pahala akan diperoleh setelah melaksanakan berbagai kewajiban dalam keluarga.

Keberadaan sebuah keluarga di masyarakat akan terasa lengkap jika semua anggota keluarga terlibat aktif dalam melakukan perubahan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa rusaknya sistem di masyarakat menjadi pangkal persoalan disfungsi keluarga. Oleh karena itu Allah SWT membimbing pasangan suami istri untuk berdoa tidak hanya meminta kepadaNya agar dikaruniakan pasangan hidup dan anak-anak yang menjadi penyejuk mata (qurrata a’yun) namun juga memohon agar menjadi pemimpin bagi umat Islam. Menjadi teladan sekaligus agen perubahan di masyarakat untuk membimbing mereka menuju umat yang terbaik. Ramadhan menjadi momen yang tepat bagi keluarga muslim untuk menularkan ruh perjuangan kepada masyarakat di sekitarnya. Keterlibatan keluarga muslim dalam ajang buka bersama atau kegiatan kultum ba’da tarawih menjadi sarana yang tepat untuk menyebarkan opini Islam kaaffah.

Potret keluarga samara dambaan umat tidak begitu saja terwujud setelah ijab kabul diucapkan. Sebab setelah itu, suami dan istri akan memikul amanah setengah agama bahkan menempuh banyak ujian dalam proses mengharmonisasi dua orang yang berbeda karakter dan latar belakang sekaligus keluarga besar masing-masing di belakangnya. Untuk itu ada beberapa kiat yang menjadi pedoman bagi siapa saja akan memasuki jenjang rumah tangga atau pun yang sudah menjalaninya, diantaranya :

Pertama, menetapkan visi dan misi berumah tangga. Dengan datangnya Ramadhan, suami dan istri dapat melakukan evaluasi sekaligus introspeksi terhadap tahun-tahun perjalanan keluarga yang sudah mereka bina selama ini. Bahkan perjalanan baru sebuah keluarga dapat dimulai lagi sejak datangnya Ramadhan. Setiap anggota keluarga dapat membuat rancangan aktivitas Ramadhan untuk menguatkan visi dan misi keluarga yang sudah ditetapkan oleh kepala keluarga.

Kedua, mengazzamkan niat berkeluarga untuk meraih keridhoan Allah. Menjadikan hidup berkeluarga sebagai sarana beribadah kepada Allah juga menjadi lahan untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya. Berkeluarga menjadi sarana untuk belajar menjadi pemimpin dan siap untuk dipimpin sesuai kapasitas amanah yang dimiliki. Berkeluarga juga sebagai sarana untuk membentuk suami sholih, istri sholihah sekaligus anak-anak yang sholih dan sholihah yang semuanya akan masuk ke dalam surga bersama-sama (QS az Zukhruf : 70).

Ketiga, Setiap anggota keluarga memahami hak dan kewajiban masing-masing. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga bukan untuk mendiskriminasikan perempuan tetapi demi harmonisasi peran masing-masing. Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan pada perempuan sejatinya adalah perlindungan terhadap kehormatan dan kesucian perempuan, sesuatu yang tidak disadari dan dipahami para pegiat gender. Merefresh kembali hak dan kewajiban suami istri dapat dilakukan melalui proses belajar baik dengan metode training atau dauroh yang bisa dilakukan saat moment Ramadhan. Ingatlah bahwa kehidupan berkeluarga adalah kehidupan yang penuh dengan proses belajar dan menggali pengalaman sebanyak-banyaknya. Sering-seringlah melakukan sharing dengan pasangan suami istri yang lebih senior dan berpengalaman.

Keempat, mengenal lebih dekat keluarga-keluarga teladan di masa Rosulullah. Mereka adalah keluarga-keluarga yang telah berhasil meraih semua kriteria kebahagian yaitu kebahagiaan seksual, kebahagiaan moral, kebahagiaan intelektual, kebahagiaan spiritual dan kebahagiaan ideologis. Semua kebahagiaan tersebut dapat diraih melalui sistem yang kondusif bagi lahirnya keluarga samara yang ideologis. Kebahagiaan keluarga akan terasa lengkap jika ditunjang oleh kebahagiaan material yaitu kesejahteraan keluarga. Hal ini dicirikan keluarga tersebut mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan pelengkap. Setiap keluarga membutuhkan kekuatan finansial untuk dapat eksis.

Kesejahteraan keluarga tidak bisa diraih melalui peran dan tanggung jawab individu atau keluarga saja. Islam menjamin tercapainya kesejahteraan hidup melalui mekanisme penerapan sistem politik ekonomi Islam. Dalam politik ekonomi Islam, upaya meraih kesejahteraan bukan hanya dibebankan kepada individu dan keluarga, namun juga merupakan tanggung jawab negara. Individu (suami/ayah) berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan dirinya juga keluarganya. Dalam pandangan Islam, yang pertama bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarga adalah suami/ayah (QS al-Baqarah[2]:233). Jika seseorang tidak memiliki suami/ayah atau ada suami/ayah tapi mereka tergolong yang miskin sehingga tidak mampu menafkahi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah ini beralih kepada ahli warisnya (QS al-Baqarah[2]:233).

Mekanisme berikutnya adalah peran negara. Negara sebagai penanggung jawab urusan umat wajib memenuhi kebutuhan warganya. Islam menetapkan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya, baik kebutuhan dasar sebagai individu (sandang, pangan, dan perumahan) maupun kebutuhan kolektif berupa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Agar negara bisa melaksanakan hal-hal yang diwajibkan atasnya, maka Islam telah memberikan wewenang kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum seperti minyak, tambang besi, tembaga dan sebagainya. Semua harta yang termasuk kepemilikan umum harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf perekonomian umat. Sebab, kekayaan tersebut adalah milik umat, sementara negara hanya mengelolanya. Jika negara mengelola semua harta milik umum dengan benar semata demi kemashlahatan rakyat, kemudian individu juga sungguh-sungguh berusaha untuk mencari rizki demi menafkahi diri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka kesejahteraan hidup individu rakyat akan terjamin.

Dalam sistem Islam juga tidak akan ditemui para perempuan yang mendapat beban tambahan sebagai pencari nafkah. Para perempuan tetap dapat melaksanakan tugasnya sebagai ibu tanpa diganggu dengan tuntutan bekerja. Negara melindungi ibu dan keluarga agar sejahtera dan dapat menjadi pendukung terbentuknya masyarakat yang kuat. Itulah gambaran negara khilafah yang menerapkan aturan Allah secara keseluruhannya. Oleh karena itu, hukum Allah SWT saja yang diterapkan oleh negara khilafah yang dapat menjaga keutuhan keluarga sekaligus menjamin kebahagiaan dan kesejahteraannya. Ramadhan adalah moment tepat bagi keluarga muslim untuk berkontribusi mewujudkannya. WaLlaahu a’lam bish-showab..

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image