Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Birgitta Anjani Christiana Putri

Kebudayaan dan Pemaknaan Terhadap Kisah Sengsara Kristus

Agama | Friday, 15 Apr 2022, 07:35 WIB
Salib pada senja hari/Sumber: unsplash.com/Aaron Burden

Kebudayaan merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya yang dimiliki oleh manusia dalam kehidupannya di masyarakat yang menjadi miliknya melalui belajar. Kebudayaan sendiri memiliki tiga wujud, yaitu ide, aktivitas, dan benda.

Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan, hal ini tercipta karena banyaknya suku yang tersebar di wilayah-wilayah Indonesia. Mengacu pada definisi dari kebudayaan, maka di Indonesia terdapat ide, aktivitas, dan benda yang sangat ragam jenisnya dan tentu juga sangat banyak jumlahnya. Contoh kebudayaan yang dimiliki Indonesia yaitu adanya senjata tradisional bernama Mandau yang berasal dari Suku Dayak, upacara adat Rambu Solo yang berasal dari Suku Toraja, dan masih banyak lagi. Selain kebudayaan, ada tujuh agama yang diakui dan dianut oleh masyarakat Indonesia, salah satunya adalah Katolik dengan penganut sebanyak 8,42 juta orang. Walaupun Katolik bukan sebuah kebudayaan, namun sama dengan agama yang lainnya Katolik juga memiliki tradisi-tradisi yang dijalankan oleh penganutnya. Tradisi yang dijalankan dan kebudayaan yang dilestarikan oleh masyarakat di Indonesia tak jarang dilaksanakan secara bersamaan (akulturasi).

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah menjadi kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan yang asli. Fenomena akulturasi terjadi bukan baru-baru ini saja, melainkan sudah terjadi sejak lama.

Salah satu bentuk akulturasi antara budaya Indonesia dengan tradisi gereja yang paling sering diingat yaitu adanya visualisasi kisah sengsara Yesus Kristus yang dibawakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan kebudayaan daerah setempat. Sebagai contoh, adanya visualisasi dalam bentuk Wayang pada masyarakat di Jogja dan dalam bentuk pertunjukan manusia pada masyarakat di NTT.

Tradisi Wayang di Jogjakarta

Visualisasi wayang adalah sebuah wiracarita yang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak baik menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat. Kisah Wayang pada masyarakat Jawa diambil dari Kitab Mahabarata dan Ramayana. Teks asli kitab (epos) Mahabharata dan Ramayana ditulis dalam bahasa Sansekerta. Setelah masuk ke Jawa, teks tersebut disadur dan disunting ke dalam bahasa Jawa Kuna, sekaligus ditambah dan disesuaikan dengan cerita dan legenda yang telah merakyat pada waktu itu, maka jadilah cerita Mahabharata dan Ramayana versi Jawa. Wayang orang dewasa ini merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang amat tua, asli budaya Indonesia, diperkirakan telah bereksistensi kurang lebih 1.500 SM (Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010:47). Seiring berjalannya waktu, Kitab Wayang dalam bahasa Jawa Kuna banyak diterjemahkan ke bahasa Jawa Tengahan, Jawa Baru, bahasa Indonesia, dan bahkan bahasa asing. Perkembangan Wayang pada masyarakat suku Jawa membuat kebudayaan ini sudah pasti sangat melekat pada masyarakat tersebut sehingga tidak heran apabila gereja-gereja di Jogja juga menggunakan Wayang sebagai media untuk memvisualisasikan kisah sengsara Yesus Kristus bagi para umatnya. Visualisasi ini biasanya disebut Wayang Wahyu dengan lakon kisah sengsara. Mayoritas orang Jawa masih menjunjung tinggi adat istiadat budaya Jawa sebagai warisan nenek moyang sehingga tidak baik jika meninggalkan begitu saja budaya yang sudah ada.

Tradisi Tablo di NTT

Masyarakat Nusa Tenggara Timur membuat pertunjukan manusia atau drama kisah sengsara Yesus Kristus yang dinamakan Tablo. Tablo atau drama ini dibawakan oleh Orang Muda Katolik (OMK) pada hari raya Jumat Agung. Biasanya Tablo diadakan pada pagi hari sebelum jam 12 Siang. Drama kisah sengsara ini benar-benar divisualisasikan seperti pada zaman Yesus Kristus. Pada saat para aktor atau orang yang memerankan setiap tokoh dan kisah pada perhentian-perhentian saat Yesus Memanggul Salib ke Bukit Golgota, maka pada saat itu juga masyarakat yang ikut tergabung dalam drama kisah sengsara ini mendaraskan doa-doa khusus kepada Yesus Kristus yang telah berkorban untuk disalibkan demi menghapus dosa-dosa manusia. Tidak berbeda jauh dengan masyarakat di Jogja, masyarakat di provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan visualisasi kisah sengsara Yesus Kristus melalui media pertunjukan manusia. NTT sendiri merupakan provinsi yang memiliki banyak sekali kesenian pertunjukan, salah satunya ialah Tari Dolo. Tari Dolo merupakan tari yang ditampilkan oleh banyak orang tanpa harus menggunakan kostum yang sama selayaknya flashmob. Visualisasi kisah sengsara di NTT memang bukan dalam bentuk tarian, namun dalam kegiatan ini juga membutuhkan banyak orang seperti Tari Dolo. Tidak berbeda dengan wayang, Tari Dolo juga sudah melekat pada masyarakat di NTT karena tarian ini sudah menjadi kebudayaan yang melekat pada kehidupan masyarakat.

Visualisasi kisah sengsara Yesus Kristus yang dilakukan dengan dua cara yang berbeda ini menunjukan bahwa akulturasi benar-benar terjadi, bahkan bukan hanya antara kebudayaan dengan kebudayaan tapi juga antara kebudayaan dengan kepercayaan atau agama. Bentuk kegiatan akulturasi ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu masyarakat daerah setempat untuk lebih memahami dan menghayati esensi kisah sengsara Yesus Kristus yang selaras dengan kebudayaan setempat. Berjalannya tradisi baru atau buah dari akulturasi dalam jangka waktu yang lama ini menunjukan bahwa tindakan ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Tujuan dari kegiatan benar-benar tercapai, dengan bukti bahwa sampai saat ini belum ada masyarakat yang menentang atau melarang adanya visualisasi kisah sengsara Yesus Kristus yang dibawakan dengan kebudayaan khas setempat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image