Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Manggala P Putra

Bang Dul dan Era Musik Digital

Gaya Hidup | 2021-04-16 17:09:38

"Lebih pilih mana Bang Dul, dengar musik via internet atau beli CD asli di toko?" tanya saya ke seorang kawan senior pada suatu sore yang mendung di teras rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat.

"Enak lewat internet lah. Nggak cuma streaming, banyak juga lagu dari situs download bajakan. Gratis Bro," jawab dia disusul tawa terkekeh-kekeh mirip bos mafia di film-film laga mandarin. Saya tersenyum mendengar jawaban itu. Entah kenapa, celetukannya tidak sampai bikin kaget.

Oh ya, kawan bekerja sebagai tenaga lepas ini dulu pernah mengaku punya cita-cita jadi musisi band legendaris macam The Beattles atau Koes Ploes. Namun, mengaku modal dan skill masih pas-pasan, dia baru bisa merintis kariernya sebagai pemusik kelas tongkrongan. Usianya kepala tigaan.

Jawaban dia tadi mungkin terkesan santai. Saya pun, karena kawan, lebih muda pula, masih menanggapi biasa. Namun, saya berangan-angan, bagaimana jika pelaku industri musik yang mendengar itu. Terutama soal lagu bajakan gratis. Kayaknya mereka bakal langsung senewen.

Gimana tidak. Lagu dibajak jadi salah satu yang bikin jangar alias pening kepala pelaku bisnis rekaman musik sejak dulu. Apalagi kini sejak internet mewabah. Baru rilis karya baru, besoknya versi bajakannya sudah beredar secara online. Bahkan, konon katanya, ada lagu yang belum resmi diluncurkan, eh, sudah duluan nongol di situs-situs musik bajakan. Canggih

Sudah begitu, bisnis musik tradisional belakangan juga terus melesu. Kecenderungan konsumen muda hingga tua untuk membeli album musik secara fisik beberapa tahun terakhir makin merosot. Salah satunya, ya gara-gara cara mengenyam musik lewat platform digital atau streaming musik terus meningkat tajam.

Tidak percaya? Mungkin laporan terbaru International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), yang saya kutip dari Wall Street Journal terbitan April 2015, bisa jadi acuan.

Menurut IFPI, tahun lalu untuk pertama kalinya, pendapatan global dari penjualan rekaman musik lewat metode unduhan berbayar dan berlangganan melampaui penghasilan dari rekaman format fisik.

Pada 2014, pendapatan bisnis musik digital di seluruh dunia tumbuh hampir tujuh persen menjadi 6,85 miliar dolar AS. Sementara penghasilan rekaman musik dalam bentuk fisik, seperti CD (compact disc), menurun 8 persen ke 6,82 miliar dolar AS.

Layanan streaming seperti Spotify AB dan Beats Music (dari Apple) disebut salah dua penggeraknya. Layanan online yang memungkinkan pengguna menikmati musik tanpa mengeluarkan biaya (karena ada iklan audio di dalamnya), atau juga yang menerapkan biaya berlangganan bulanan, keduanya digabungkan tumbuh 39 persen dari pendapatan 2013. Angka itu menggambarkan betapa era menikmati musik mulai bergeser, dari kepingan cakram padat ke format digital lebih murah.

Bagaimana di Indonesia? Ya, rasanya kurang lebih sama. Hanya saja belum bisa dipastikan berapa banyak angka pendapatan penjualan musik lewat layanan streaming atau metode unduhan berbayar.

Meski begitu, ada beberapa indikator yang menunjukan pergerakan pola konsumsi musik menggunakan internet mulai menggerogoti. Salah satu paling kasat mata, bergugurannya toko-toko penjualan rekaman musik dalam bentuk fisik di Tanah Air.

Mungkin Anda sudah mendengar. Toko penjualan rekaman fisik terbesar di Indonesia, Disc Tarra menutup sekitar 40 gerainya akhir tahun 2015. Perusahaan yang pernah punya 100 gerai ini hanya menyisakan delapan gerai saja di Jakarta. Toko lain yang sejumlah gerainya mulai gulung tikar ke depan adalah Duta Suara.

Ini bukan kali pertama toko CD lokal mengalami kesulitan dan memutuskan bubar jalan. Pada 2013, toko ternama di Jakarta, Aquarius lebih dahulu melakukannya. Toko terletak di Jalan Mahakam, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini kehabisan napas, tersengal-sengal menyaingi tren digital.

"Kami sudah kehabisan peluru. Ya, memang sudah saatnya, (produk rekaman musik) fisik enggak ada peminat," ungkap seorang petinggi toko Aquarius Ko Alyaw kepada salah satu media online nasional, Desember 2013 silam.

Lalu bagaimana masa depan industri musik Indonesia ke depan? Apakah ini akhir dari siklus kehidupannya?

Menurut saya, seharusnya tidak. Sejarah mencatat teknologi baru di dunia musik memang akan selalu menyisihkan yang lama. Namun bukan berarti pelaku industri musik harus meratapi nasib sial karenanya.

Sebagian dari Anda mungkin ingat dengan perangkat portabel berukuran kompak Walkman buatan Sony. Perangkat pemutar rekaman kaset/CD ini pernah menjadi tren baru karena kepraktisannya yang bisa ditenteng ke mana-mana. Tapi, popularitasnya tidak langgeng. Kemunculan iPod, perangkat pemutar musik digital yang bisa memuat ratusan lagu, kemudian menggusurnya.

Belakangan, giliran iPod mengalami nasib sama. Ponsel pintar terus memiliki fitur makin canggih, selain menyimpan dan memutar musik, juga bisa digunakan untuk mendengar musik secara streaming. Produk buatan Apple itu pun mulai kehilangan taji dan bahkan sudah dihentikan produksinya.

Bicara tantangan menghadapi musik berplatform digital, saya rasanya sepaham dengan pemikiran pengamat musik senior almarhum Denny Sakrie yang dituangkan lewat tulisan "Aquarius Mahakam Tutup, Bukan Kiamat Musik Indonesia" di blognya.

Menurut Denny, kesalahan utama industri musik adalah menganggap pola distribusi secara digital mengganggu atau bahkan memakan pola penjualan secara fisik. Padahal, idealnya platform baru itu justru harus digamit bukan dijauhi.

Pria yang pernah lama menjadi penyiar radio ini juga merujuk pada masa industri musik di Indonesia sempat mencicipi kejayaan Ring Back Tone (RBT) sejak tahun 2005. RBT semula hanya sebuah gimmick pemasaran. Tapi ternyata memiliki potensi yang cenderung menguat seiring menjamurnya penggunaan telepon seluler dan gadget seperti iPod dan semacamnya di kalangan masyarakat.

Dari pandangan itu, saya pun menarik kesimpulan sederhana. Jika tak mau hidupnya singkat, pelaku industri musik mau tak mau memang harus beradaptasi. Salah satunya dengan memanfaatkan platform digital sebagai wadah, jangan dianggap penjajah.

Soal pembajakan memang terlihat rumit. Namun, pemerintah dan pihak terkait harus segera menemukan formula jitu untuk mengatasinya. Karena ini adalah masalah laten dan serius, apalagi menyangkut dapur banyak orang.

Namun di balik itu, meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengubah mental pokoknya gratisan meski ilegal rasanya juga tak kalah penting. Patut diingat, jika benar-benar menyukai dan mengagumi salah satu musisi/band/penyanyi lalu berharap karyanya terus hidup, maka Anda belilah lagunya secara resmi. Apakah itu perkara mudah? Mungkin tidak.

Setidaknya bagi saya kontribusi dapat dimulai dari langkah kecil. Salah satunya, yang dirasa bisa dilakukan, dengan mencoba mengingatkan orang terdekat seperti si Abang Dul, kawan saya itu, agar tidak lagi mengunduh lagu bajakan.

Saya pun jadi terpikir untuk menyiapkan beberapa strategi persuasif padanya. Salah satunya mungkin, saat mengunjungi rumahnya lagi esok, saya akan bernyanyi sambil menyisipkan pesan lewat salah satu lagu Koes Ploes kesukaan dia. Lagu yang saya pilih berjudul J"angan Berulang Lagi".

Sebagian liriknya akan saya gubah sedikit menjadi begini: Janganlah terulang lagi, jangan jangan jangan lagi unduh lagu bajakan ya Bang Dul

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image