Perempuan, Kok Berbulu?
Gaya Hidup | 2022-04-12 05:17:10Apakah kalian pernah merasa insecure dengan tubuh kalian karena punya rambut halus yang lebat? Malu pakai rok pendek karena bulu kaki panjang? Meragukan kecantikan karena berkumis tipis? Atau bahkan bertanya-tanya, sebenarnya normalkah kalau aku perempuan tapi tumbuh rambut halus di seluruh tubuh? Tenang, kalian tidak sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti sering muncul dalam benak setiap perempuan, terutama yang sedang berada dalam fase pubertas. Di masa inilah terjadi perubahan fisik yang jelas bagi remaja, khususnya remaja putri. Tumbuhnya rambut halus atau yang biasa disebut sebagai bulu menjadi momok besar bagi kebanyakan perempuan. Pasalnya, kehadiran bulu tersebut dinilai mengganggu penampilan karena pakaian yang biasanya dikenakan perempuan memperlihatkan lengan dan kaki.
Berkaitan dengan itu, belakangan ini, sedang marak pemasaran produk-produk penghilang rambut halus seperti sugar waxing dan depilatory cream di media sosial. Klinik kecantikan pun turut berlomba-lomba mempromosikan perawatan laser dan IPL untuk menghilangkan bulu secara permanen. Tentu saja, target pasarnya adalah kaum perempuan yang resah dengan penampilan berbulunya. Konon, dengan menggunakan produk-produk tersebut, rambut akan tercabut hingga ke akarnya, sehingga kulit akan menjadi 'bersih' bak kulit bayi.
Memangnya, apa yang salah dengan rambut halus di tubuh perempuan hingga banyak yang ingin menghilangkannya?
Pada hakikatnya, secara ilmiah, semua manusia terlahir dengan rambut halus di seluruh tubuh karena manusia termasuk ke dalam golongan mamalia. Salah satu karakteristik yang menonjol dari mamalia, ya, berambut. Tidak hanya laki-laki, perempuan juga memiliki kodrat yang sama karena tumbuhnya rambut halus pada manusia memiliki fungsi penting bagi tubuh. Meski begitu, memang benar jika ada beberapa orang yang secara genetik memiliki rambut badan yang lebih sedikit dari manusia pada umumnya. Ada juga yang sebenarnya berambut, tapi tidak terlihat karena rambutnya berwarna terang, seperti orang-orang ras Kaukasian atau orang kulit putih. Sebaliknya, orang Asia termasuk Indonesia biasanya memiliki warna rambut yang lebih gelap sehingga rambut halus lebih terlihat menonjol. Dengan kata lain, perempuan berbulu di Asia sangat mudah dijumpai.
Menurut Mansour Fakih, konstruksi gender lahir dari budaya suatu masyarakat yang secara aktif diterima, diajarkan, dan disosialisasikan secara terus-menerus. Dalam perkembangannya, sosok perempuan diidentikkan dengan kulit tanpa bulu, tidak seperti laki-laki. Sehingga, jika ada perempuan yang lengan dan kakinya berbulu tidak akan dipandang sebagai sosok perempuan feminin. Mirisnya lagi, karena konstruksi ini telah terinternalisasi secara luas oleh kaum perempuan, aksi cibir-mencibir terhadap perempuan yang tidak mengikuti konstruksi ini pun timbul.
“Ih, jorok banget buluan gitu. Jadi cewek, kok, gak bisa merawat diri? Bikin malu!”
“Astaga, bulu kakiku gak selebat itu, lho! Kamu cewek apa cowok?”
Dengan munculnya tekanan yang sedemikian rupa dari kaumnya sendiri, para perempuan yang menyadari kemunculan bulu di tubuhnya menjadi minder, bingung, malu, hingga mempertanyakan kenormalan dirinya sebagai perempuan. Meskipun sebenarnya, di Indonesia sendiri masih banyak orang yang acuh tak acuh terhadap permasalahan bulu ini.
Namun, seiring berkembangnya zaman, tidak sedikit pula perempuan Asia termasuk Indonesia yang terjebak dalam konstruksi kecantikan tanpa bulu. Tepat, sekali! Tidak lain dan tidak bukan karena pengaruh dari westernization.
Peran media dan industri hiburan barat dalam menampilkan sosok perempuan-perempuan berkulit mulus sangat besar pengaruhnya bagi pola pikir audiens yang menikmati konten yang disajikan. Model, aktris, musisi, dan selebriti barat sangat umum ditampilkan mengenakan pakaian terbuka, menunjukkan lengan dan kaki licin tanpa bulu, serta kulit putih mengkilap. Siapa yang tidak terpesona?
Salah satu bagian industri hiburan yang sangat berpengaruh adalah industri dewasa, dengan figur-figur wanita tanpa bulu atau hairless yang menjadi pusat perhatian para penonton. Bukan hanya menjadi sosok idaman bagi laki-laki, figur perempuan mulus dalam industri dewasa juga menjadi cerminan tubuh cantik ideal bagi kaum perempuan. Betapa tidak? Hanya di industri tersebutlah para aktris dapat mengekspos seluruh bagian tubuhnya, sehingga kaum perempuan yang menyaksikannya akan membandingkan tampilan tubuhnya dengan tubuh aktris-aktris dewasa tersebut.
Hairless = Cantik?
Di dunia barat sendiri, standar kecantikan perempuan yang meliputi tren hairless sudah menjadi budaya dari generasi ke generasi. Para orang tua akan mengajarkan anak perempuannya untuk bercukur saat mereka telah menginjak masa puber. Budaya ini ternyata sudah ada sejak awal abad ke-19 dengan asumsi perempuan berbulu kurang menarik, yang kemudian diikuti dengan kampanye ketiak mulus, lengan dan kaki bebas bulu, hingga produksi stockings dan alat cukur. Tentu hal ini berkaitan erat dengan tren mode pakaian pada masa itu, yaitu pakaian musim panas tanpa lengan. Mode pakaian perempuan terus berkembang hingga tahun 1945 dengan munculnya tren rok mini yang mengharuskan perempuan menghilangkan bulu kakinya jika ingin terlihat cantik (dikutip dari Hope dalam Journal of American Culture, hal. 93–98). Akibat kuatnya pengaruh fesyen, hingga saat ini, konstruksi kecantikan bagi perempuan masih sangat kental dengan perempuan yang cantik adalah yang kulitnya mulus tanpa bulu.
Lalu, bagaimana caranya untuk merekonstruksi budaya ini?
Meskipun kampanye “My Body, My Choice” tidak sepenuhnya salah, konstruksi budaya yang menanamkan standar kecantikan perempuan tanpa bulu perlu diperbaiki. Mulai dari mengacuhkan penilaian terhadap penampilan tubuh hingga menggaungkan body positivity demi tercipta rasa percaya diri di kalangan perempuan. Namun, jika ada perempuan yang memilih untuk tetap ingin menghilangkan bulunya, it's ok! Asalkan, tidak melakukan aksi perundungan terhadap yang memilih untuk merawat rambut halus di tubuhnya.
Perempuan hairless memang menarik, tapi berbulu tetap cantik!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.