Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Putri Hanifah, CHt., C.NNLP

Haruskah 3 Periode

Politik | Saturday, 09 Apr 2022, 23:54 WIB

Nampaknya wacana tiga periode kian hari kian masif dilontarkan ditengah-tengah masyarakat, naïf rasanya jika kita tidak mendengarkan isu panas yang sudah dimunculkan sejak 2019 kemarin. Berbicara tentang wacana tiga periode, berarti berbicara tentang masa depan Indonesia. Siapakah yang akan mengurus 270 juta lebih masyarakat Indonesia setelah ini?

Ketika wacana ini bergulir Jokowi dengan tegas menanggapi “Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu satu, ingin menampar muka saya. Kedua ingin cari muka. Padahal saya sudah punya muka, dan ketiga ingin menjerumuskan. Itu aja.” Dua tahun berjalan, wacana tersebut nampaknya lebih lunak disikapi. Hanya saja jika sampai melanggar konstitusi beneran repot jadinya.

Pertama, memilih pemimpin sebenarnya tidak harus menggunakan jalan pemilu, bisa dengan penunjukan langsung atau dengan pewarisan kekuasaan, bisa juga dengan pemilu. Hanya saja yang jelas pemilu adalah cara untuk memilih pemimpin di negeri ini

Kedua, jika memang kita sepakat menggunakan pemilu sebagai jalan untuk memilih pemimpin, maka ada aturan yang harus ditaati. Nggak boleh bonek, nggak boleh seenaknya sendiri. Nah masalahnya sejarah mencatat bagaimana kondisi demokrasi dan kekuasaan dari masa ke masa. Tentu kita masih ingat bagaimana presiden kita pertama, Soekarno yang akhirnya menjabat seumur hidup karena dijamin oleh Ketetapan MPRS nomor III/MPRS/1963; pun dengan kejadian Soeharto. Apa kita akan mengulangi kejadian yang sama dengan orang yang berbeda? Jika semua kita atur sendiri, judulnya itu menabrak konstitusi. Sudahlah begitu jatuhnya negaranya menjadi otoriter deh. Hmm, syedih.

Ketiga, selanjutnya jika berbicara tentang behind the scene proses pemilu. Pemilu di Indonesia membutuhkan dana yang besar. Nah, masalahnya kadang yang support dana adalah orang-orang dibelakang layar, yang jika nanti presidennya terpilih maka orang-orang dibalik layarlah yang akan pertama kali request tentang aturan. Sudahlah begitu munculnya orang gila yang diakibatkan oleh gagalnnya mencalon menyebabkan ada yang tidak baik-baik saja sebenarnya dibalik konsep yang menopang pemilu kita.

Pertanyaan selanjutnya konsep apakah yang menopang pemilu kita hari ini? Konsep menghalalkan segala cara, yoopo-yoopo pokoke dadi. Jangan heran jika dengan backingan konsep seperti ini ketika pandemi kemarin terjadi pemerintah lebih mengutamakan menyelamatkan ekonomi daripada menyelamatkan kesehatan rakyat. Giliran mau pemilu gini, barulah rakyat dipuk-puk, “Mending dana pemilu digunakan untuk menangani pandemi” heleh ket bien ngandi ae Pak?

Oleh karena itu Islam memiliki konsep jitu bagaimana memilih pemimpin. Islam sendiri mewajibkan bagi seorang pemimpin untuk memiliki kemampuan mengurus rakyat. Tidak cukup shalih, tapi apakah pemimpin ini mampu mengurusi rakyat? Oleh karena itu dulu ketika Abu Dzar Al Ghifari meminta jabatan kepada Rasulullah tidak lantas kemudian diberi. Padahal jika berbicara keshalihan Abu Dzar nggak kaleng-kaleng. Ketika dihadapkan kepada Abu Dzar tentang harta dunia, sungguh Abu Dzar tidak minat.

Tapi mengapa Abu Dzar tidak diizinkan oleh Rasulullah menjadi pemimpin? Alasannya adalah karena Abu Dzar orang yang lemah (tapi ingat ya lemah dalam hadis ini bukan seperti kita-kita hari ini) lemahnya Abu Dzar adalah karena beliau belum punya kapasitas meriayah yang maksimal. Apa buktinya? Ketika terdapat simpanan harta untuk anak yatim, beliau kurang sepakat, mengapa harus disimpan? Padahal Allah pasti menjamin setiap rizki manusia, seperti burung yang berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.

Betul memang rizki sudah Allah jamin, tapi tentu ada kondisi khusus yang membutuhkan backupan uang sewaktu-waktu. Beliau SAW bersabda ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Subhanallah belum lagi bagaimana tokoh Islam yang dari lahir cocoknya memang menjadi pemimpin seperti Umar bin Khattab. Dan pemilihan umum dalam Islam tidak sarat dengan kepentingan. Tentu kita masih ingat bagaimana pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali? Tidak perlu mengeluarkan modal banyak. Mereka dicintai rakyat, dipilih rakyat dengan penuh kecintaan, mereka ditaati rakyat dengan penuh kewibawaan.

Kita tahu bahwa empat khalifah tersebut menggunakan konsep yang rasulullah wariskan yakni Alquran dan Assunnah, bagaimana memilih seorang pemimpin, maka tidak akan didapati siapapun yang berpegang teguh pada Alquran dan Assunah pasti akan selamat dan bahagia. Sehingga jika kita ingin proses pemilu ini berjalan lancar, coba dibenarkan dulu konsep yang mendasari diadakannya pemilu tersebut. Dan satu-satunya konsep yang benar adalah Islam. Islam bukan hanya aqidah, melainkan dia adalah mabda (sistem hidup) yang mengatur seluruh urusan manusia. Pengaturan sempurna itulah yang hanya bisa diwujudkan di dalam negara khilafah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image