Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Riva Sahri Ramdani, SE., S.Pd.

KAYA ILMU, KAYA HARTA, DAN KAYA MANFAAT

Agama | 2022-04-08 08:30:38
foto ilustrasi sedekah. sumber: Republika

“Allahumma inni as_aluka ilman nafi’an, wa rizqan thayyiban, wa amalan mutaqabbalan.” (yaa Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima). (HR. Ibnu Majah)

Setiap pagi, seusai kita melaksanakan shalat shubuh, seraya mengucapkan doa tersebut. Doa ini rutin kita munajatkan di awal hari sebelum melangkahkan kaki untuk beraktifitas. Berharap besar agar pada hari-hari kita, Allah menganugerahkan ilmu dan rezeki serta menerima semua amal ibadah kita baik ibadah spiritual, maupun sosial.

Di antara sekian banyak karunia yang Allah anugerahkan kepada manusia, terdapat dua karunia yang bisa kita sebut sebagai karunia terbaik, yaitu harta dan ilmu. Setiap orang berlomba-lomba untuk meraih keduanya karena dinilai sebagai simbol kebaikan dan kesuksesan dalam perjalanan hidup manusia di dunia. Namun, anugerah terbaik ini tidaklah mudah dan instant untuk didapat. Harus dicari dan dijemput dengan perjuangan dan pengorbanan, bukan menunggu diberi. Waktu tempuh pencariannya pun tidaklah sebentar, bertahun-tahun, bahkan bisa dikatakan sepanjang hayat, mulai dari buaian ibu sampai liang lahat.

Harta dan ilmu merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang yang mencari ilmu, hendaklah mempunyai harta yang ia gunakan untuk biaya belajarnya. Begitupun juga orang yang mencari harta, hendaklah mempunyai ilmu yang ia gunakan sebagai pedoman usahanya.

Di sisi lain, harta dan ilmu juga merupakan senjata yang bisa digunakan pemiliknya untuk kebaikan atau keburukan. Disebut senjata, karena selain bisa difungsikan untuk menjaga diri, harta dan ilmu pun bisa dipakai untuk melukai orang lain atau bahkan mencelakai diri sendiri.

Ada orang yang salah paham dalam mengorientasikan hidup, menilai harta kekayaan sebagai lambang sebuah kesuksesan. Tidak mengapa bodoh, asalkan kaya; tidak mengapa penjahat, asalkan punya harta; tidak mengapa jadi ahli maksiat, asalkan uang mudah didapat. Maka dikatakanlah bahwa siapa yang kaya raya, dialah orang yang hidupnya beruntung, sukses, dan tentunya banyak uang. Kemudian diprediksikan hidupnya akan tenang dan senang di masa yang akan datang. Tak peduli dengan kurang dan lebihnya sifat ruhiyah dan jasmaniyah yang melekat pada dirinya, yang penting punya harta benda yang melimpah.

Dalam kehidupan nyata, ternyata tidak sedikit orang yang kaya namun hidup tidak tenang. Mereka terpenjara oleh pikiran akan banyaknya harta kekayaan yang harus dijaga. Cemas tingkat tinggi karena khawatir dan takut hartanya berkurang atau habis. Kemudian hati yang serakah, menjadikannya manusia yang super sibuk di siang dan malam memikirkan cara bagaimana menambah dan menumpuk kekayaan yang selalu dirasa masih kurang. Tidak peduli halal dan haram barang dan caranya, yang penting syahwat duniawi terpenuhi. Lupa waktu, lupa diri, lupa orang lain, dan lupa tuhan.

Padahal hakikatnya, menurut kita muslim yang baik, yang disebut orang kaya itu adalah orang yang punya dan mau memberi. Punya ilmu, dia semangat mengajarkannya kepada orang lain. Punya harta, dia ikhlashkan sebagiannya untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Punya kekuatan fisik, dia siapkan diri membantu orang yang lemah. Bukan ditumpuk pada diri sendiri, sehingga menjadikannya besar kepala dan tinggi hati.

Selain harta, kepemilikan ilmu juga dinilai sebagai salah satu simbol kesuksesan seseorang. Ilmu yang tinggi bisa meraih prestasi. Prestasi yang hebat akan meraih prestise yang tinggi. Begitulah siklus ilmu pada diri manusia. Oleh karena itu, sejatinya setiap orang berlomba-lomba untuk mencari ilmu yang banyak guna ikhtiar mengubah nasib ke arah yang lebih baik.

Pencapaian ilmu sangat erat hubungannya dengan perolehan ijazah sebagai bukti otentik pencapaiannya. Pendapat bahwa orang akan diakui lulus atau ahli di bidangnya setelah mendapatkan ijazah berbeda dengan pendapat bahwa ijazah bisa dimiliki setelah menyelesaikan masa belajar.

Kata “bisa dimiliki” inilah yang kadang memunculkan masalah. Demi memiliki selembar ijazah, ada orang yang berani melakukan kecurangan. Katanya tercatat sebagai siswa atau mahasiswa di sebuah lembaga pendidikan, namun nyatanya jarang atau bahkan tidak pernah mengikuti dan menikmati proses belajar. Ketika ujian tiba, dengan mudahnya dia menyewa joki bayaran. Ada juga orang yang memilih jalur cepat dengan cara membeli atau memalsukan ijazah. Semuanya ini tidak lain karena kesalahpahaman dalam mengaitkan ilmu dengan kepemilikan ijazah. Tidak peduli dengan ilmu atau keahlian yang dipunya, yang penting ijazah “tanda tamat belajar” dimiliki untuk meraih prestise yang tinggi. Lupa tanggung jawab, lupa kejujuran, dan lupa kehormatan.

Padahal hakikatnya, menurut kita muslim yang baik, yang disebut orang yang berilmu itu adalah orang yang mempunyai pengetahuan, kepandaian, dan keahlian. Kemudian dengan kepandaiannya tersebut ia gunakan untuk hal yang baik. Pintar mengaji kitab agama, ia sebarkan kedamaian, bukan perpecahan. Pandai matematika dan ekonomi, ia akuratkan data, bukan memanipulasi. Ijazahnya bukan hanya ijazah tamat belajar yang tersurat, tetapi dilengkapi dengan ijazah kebermanfaatan ilmu yang tersirat dan teraplikasi dalam perilaku akhlak terpuji.

Harta dan ilmu akan menjadi sebuah kemuliaan jika dilandasi dengan keimanan dan keadaban. Sebaliknya, keduanya akan menjadi sebuah kehinaan jika dilandasi dengan kesombongan dan keangkuhan. Saat seseorang memiliki harta dan ilmu yang baik, maka hidupnya akan tenang. Ketenangan jiwa niscaya akan menghilangkan perasaan cemas dan khawatir yang berlebih, sehingga hidup menjadi ringan tanpa beban. Penyakit hati dan fisik pun berangsur hilang dari diri apabila jiwa sudah dihinggapi rasa tenang. Selanjutnya, mereka yang tenang akan sangat mudah mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan.

Orang yang berharta sekaligus berilmu, maka dia akan mampu menjaga dan menambah kekayaan namun tetap rajin bersedekah, murah hati, dan tidak tinggi hati. Sebaliknya, orang yang tak berharta sekaligus tak berilmu, maka dia akan rendah derajatnya dan susah menjalani kehidupan. Minimnya harta dan keahlian, menjadikan dia sulit untuk mencari alternatif pekerjaan yang menghasilkan. Keadaan tersebut bisa jadi akibat mungkin akses pendidikan yang susah didapat, atau mungkin memang dia terbiasa menanam sifat kemalasan sejak dini, memupuk dan memeliharanya sampai dewasa, sehingga menjadi orang yang bermental pengemis.

Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk belajar menjadi manusia yang paling baik. Mulia menurut pandangan Allah dan baik menurut pandangan manusia. Ketakwaan menjadi standar kemuliaan manusia di hadapan Sang Pencipta dan kebermanfaatan menjadi salah satu standar kebaikan manusia di antara sesamanya.

Allah telah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan yang hidup dalam keberagaman suku bangsa, lalu menjalankan fungsinya sebagai manusia dan hamba. Mereka berlomba untuk memberikan yang terbaik melalui amal shalih yang dikerjakan dengan semangat ikhlash, giat dalam melaksanakan perintah Allah, disertai dengan sungguh-sungguh menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam syirik dan perkara yang dilarangan oleh-Nya. Hal inilah yang akan mengantarkan manusia meraih gelar hamba yang paling mulia di sisi Allah, yaitu takwa.

Adapun gelar kebaikan di hadapan manusia adalah berupa gelar kebermanfaatan. Rasulullah menyebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Seseorang belum tentu pantas diberi gelar bermanfaat meskipun perilakunya baik, ilmu dan wawasannya luas, atau bahkan hartanya melimpah, apabila semua kelebihan tersebut baru hanya dirasakan oleh dirinya sendiri dan belum dirasakan oleh orang lain.

Gelar kebermanfaatan ini justru muncul akibat dari respon penerapan perilaku kita yang baik saat berinteraksi atau bergaul dengan orang lain. Dalam hal ini, kebermanfaatan itu adalah berupa keadaan diri dengan harta dan ilmu yang dimiliki, kemudian orang lain merespon dengan menghargai dan mengapresiasi. Akhirnya, keberadaan kita pun diharapkan oleh mereka karena dianggap berguna dan memberikan solusi. Sebaliknya, kesia-siaan itu berupa keadaan diri dengan harta dan ilmu yang dimiliki, kemudian orang lain malah merespon dengan celaan dan cemoohan. Akhirnya, keberadaan kita pun tidak diharapkan oleh mereka karena dianggap tidak berguna, hanya bisa memberikan madharat.

Belajarlah dari mereka yang hidup pada zaman sebelum kita. Dari kalangan nabi Allah, ada nabi Sulaiman dengan kerajaan dan ilmunya yang sangat hebat, berkuasa atas pasukan manusia, jin, dan hewan. Nabi kita, Muhammad, adalah nabi akhir zaman yang diberikan keistimewaan oleh Allah daripada nabi-nabi sebelumnya. Dari kalangan sahabat nabi, ada Khadijah, Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, yang sangat rakus dengan jihad harta dan ilmunya. Mereka semua dijadikan simbol hartawan dan cendekiawan yang sukses dengan kebermanfaatannya, sehingga dimuliakan oleh Allah dan hamba-Nya.

Berbeda dengan Qarun dan Firaun, keduanya dijadikan simbol hartawan dan cendekiawan yang gagal dengan kebermanfaatannya, sehingga dihinakan oleh Allah dan hamba-Nya. Allah tenggelamkan Qarun ke dalam tanah. Allah tenggelamkan Firaun ke dalam lautan.

Perilaku mereka relevan secara sosio-psikologis. Konsep kebahagiaan bisa didapat dengan memberi, bukan memiliki. Jumlah pemberian kita kepada orang lain, akan setara dengan kebahagiaan yang kita dapat, makin banyak memberi, makin berlimpah kebahagiaan. Berbagilah harta dan ilmu seperti nabi dan para sahabat, bukan menimbun dan menguasai seperti Qarun dan Firaun.

Merujuk pada doa yang disajikan pada awal tulisan ini, maka dapat disimpulkan bahwa semua yang ada pada diri kita adalah titipan Allah. Allah menganugerahkan harta dan ilmu untuk menguji manusia, apakah bersyukur atau kufur. Ilmu dan harta dinilai bukan hanya dengan banyak dan melimpahnya, akan tetapi dinilai dengan manfaat dan keberkahannya. Hidup berkah dan bermanfaat akan menghadirkan ketenangan jiwa dan meningkatkan rasa syukur kepada Allah. Senantiasa mendapatkan bimbingan dan pertolongan Allah, sehingga hidup akan teratur dalam bingkai ibadah, diberikan kemampuan untuk mengatasi masalah, mampu membangun keluarga sakinah, dan semangat memberi kebaikan kepada jama’ah. Semuanya itu merupakan amal yang insyaAllah akan diterima oleh-Nya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image