Hati-Hati Berbuka Puasa, Jangan Sampai Membuka Pintu Masuknya Iblis ke Dalam Jiwa
Agama | 2022-04-06 03:13:18Salah satu dari Sunnah Rasulullah saw ketika melaksanakan ibadah puasa adalah menyegerakan berbuka ketika telah tiba waktunya. Bukanlah suatu kebaikan jika kita memperpanjang waktu puasa, apalagi jika kita melaksanakannya tanpa berbuka. Namun demikian, berhati-hatilah ketika kita berbuka puasa, bisa jadi kita berbuka puasa sekaligus membuka pintu masuknya Iblis ke dalam jiwa.
Karena saking gembira dengan datangnya waktu berbuka puasa, terkadang kita lupa berdo’a, lupa membaca basmallah ketika menyantap makanan. Perilaku seperti ini, makan tanpa diawali dan diakhiri dengan do’a merupakan cara makan yang membuka peluang kepada Iblis untuk masuk ke dalam jiwa.
Kita perlu mewaspadai kelihaian Iblis dalam menggoda manusia. Ia bisa masuk ke dalam jiwa melalui berbagai cara agar kita ikut bersamanya untuk bersikap sombong dan membangkang kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Selain lupa berdo'a ketika sebelum dan sesudah makan, berlebihan dalam menyantap makanan sampai perut kita benar-benar terasa penuh merupakan peluang empuk bagi Iblis untuk masuk ke dalam jiwa. Ia akan merasa senang jika kita berpoya-poya dan berlebihan serta kemaruk dalam menyantap makanan.
Muhammad Ali ash Shabuni dalam karyanya Tanwir al Adzhaan (Jilid I : 530) mengisahkan pertemuan iblis dengan Nabi Yahya a.s. Suatu ketika, iblis la’natullah menampilkan diri kepada Nabi Yahya bin Zakariya a.s. Ia berkata, “Aku hendak memberimu nasihat.”
“Bohong. Kamu tidak akan menasihatiku. Coba beritahukanlah kepadaku tentang manusia.” Kata Nabi Yahya a.s.
Iblis menjawab, “Manusia terbagi kepada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sulit untuk aku hadapi dalam menggodanya. Aku sangat kesulitan mengajak mereka ke jalan yang sesat, namun akhirnya mereka tergoda pula. Sayangnya, mereka sadar atas kesesatannya, lalu mereka bertobat, memohon ampun kepada Allah. Kemudian aku menggodanya lagi dengan berbagai cara, dan aku berhasil. Lagi-lagi mereka sadar, dan kembali bertobat kepada-Nya. Aku dibuat repot dengan kelompok manusia ini, dan aku tak mampu lagi untuk menggodanya.”
Iblis melanjutkan ceritanya. “Kedua, kelompok orang yang bisa aku permainkan. Mereka menyerahkan diri atas kemauanku. Kelompok ini sangat mudah bagiku untuk menggoda dan membawanya ke jalan yang bertentangan dengan kebenaran. Ketiga, kelompok sepertimu, orang-orang yang dima’shum, dijaga Allah dari perbuatan salah dan tercela. Aku tidak akan mampu menggodamu sedikitpun kepada kelompok ini.”
Mendengar jawaban iblis la’natullah seperti itu, Nabi Yahya a.s berkata, “Apakah kamu pernah mampu menggodaku?”
Iblis berkata lagi, “Tidak, kecuali sekali saja. Pada waktu itu, kau nampak sangat lapar ketika suatu makanan dihidangkan di hadapanmu. Aku menggodamu dengan mendorong selera makanmu, sampai-sampai kau menyantap hidangan tersebut melebih dari kebiasaan makanmu. Kamu nampak kekenyangan, mengantuk, dan kau tertidur pulas. Akhirnya kau tidak sempat mendirikan shalat (sunat) yang biasa kamu lakukan.”
Nabi Yahya a.s, terkejut mendengarnya. “Sejak aku mendengar perkataanmu ini, aku tidak akan pernah makan hingga kenyang.”
Mendengar jawaban Nabi Yahya a.s seperti itu Iblis merasa menyesal telah membukakan salah satu rahasia dari cara menggoda manusia agar menjauhkan diri dari berzikir kepada Allah. Sudah pasti, Nabi Yahya a.s. akan mewanti-wanti agar umatnya menjauhi makan yang terlalu kenyang.
Walhasil meskipun sajian makanan bebruka puasa itu penuh berkah dan menyantapnya diawali dengan do’a, kita tak boleh berlebihan dalam menyantapnya, sewajarnya saja. Kita harus tetap mengingat-ingat akan tujuan dari ibadah puasa, yakni menjadi orang yang bertakwa. Salah satu kriteria orang yang bertakwa adalah sederhana dan sewajarnya dalam menyantap makanan.
Imam al Qurthubi dalam karyanya Tafsir Al Qur’an, Al Jami’ al Ahkam al Qur’am, Jilid IX : 119, mengutip perkataan Al Khaththabi, “Sesungguhnya hati seseorang yang disinari tauhid (keyakinan kepada Allah), ia akan memandang makanan yang ada di hadapannya dengan pandangan takwa, ia akan menyantap makanan dengan niat untuk taat kepada Allah. Ia berharap makanan yang disantapnya akan menguatkan jiwa-raganya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karenanya ia tidak akan berlebihan dalam menyantapnya, namun sewajarnya saja.”
Masih dalam kitab yang sama, Imam al Qurthubi (Jilid IX : 196) mengutip pendapat Ibnu Arabi yang mengatakan, “Terdapat manfaat besar dalam hal menyantap makanan sewajarnya atau makan dalam porsi sedikit, diantaranya menyehatkan badan; mengikat hafalan; mencerdaskan otak dalam memahami suatu ilmu; menyedikitkan tidur; dan meringankan jiwa dan tubuh dalam melaksanakan ibadah.”
Sungguh sangat sayang sekali, jika ketika berbuka puasa kita lupa diri dalam menyantap makanan. Kemaruk dalam menyantap makanan akan menyebabkan badan kita kelelahan, rasa ngantuk menyapa yang pada akhirnya bisa berakibat kepada malasnya jiwa untuk melaksanakan ibadah.
Kerugian yang sangat besar apabla kita meninggalkan ibadah, baik yang wajib maupun sunat, pada malam-malam bulan Ramadhan. Betapa tidak, bulan Ramadhan merupakan bulan yang dicintai Allah nan sarat dengan berbagai pahala, rahmat, berkah, dan ampunan Allah.
Salah satu kunci agar kita dapat semangat ibadah pada malam-malam bulan Ramadhan adalah sederhana dalam menyantap makanan ketika berbuka. Jika kita bisa menahan diri dari sikap kemaruk ketika berbuka puasa, insya Allah kita akan memiliki nilai lebih dari ibadah puasa yang kita lakukan.
Jika kita tidak bisa menahan diri dari menyantap makanan secara berlebihan ketika berbuka puasa, bisa jadi akan bermakna kita berbuka puasa sekaligus mempersilakan iblis untuk masuk ke dalam jiwa dan mendorongnya untuk malas beribadah. Na’udzu billahi min dzalika.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.