Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prita HW

Hanya Iman yang Bikin Ibu Bahagia Atasi Mental Illness

Agama | Friday, 01 Apr 2022, 17:11 WIB

Jelang Ramadhan, hiruk pikuk jagat maya kembali ramai. Yang menghebohkan, salah satunya adalah video innocent seorang ibu di Brebes yang berhasil meraih simpati. Moms support moms kembali digaungkan banyak netizen. Himbauan para suami untuk lebih menyayangi istri dengan cara yang dimengerti istri pun bermunculan. Kasus Kanti Utami (35 tahun) seketika menjadi viral.

Kalau dilihat, sebenarnya ini bukan kasus pertama di jagat maya dengan pemberitaan serupa. Tapi, apa kira-kira yang menjadikannya viral? Saya juga bertanya-tanya dan penasaran. Setelah melihat, membaca, dan mendengar berbagai perbincangan, rasanya statement ibu yang diketahui kemudian adalah seorang MUA (Make Up Artist), menjadi pemantiknya.

Dengan polosnya, antara ambang batas sadar dan tidak, ia mengatakan "Saya ingin menyelamatkan anak-anak saya biar enggak hidup susah. Enggak perlu ngerasain sedih. Harus mati biar enggak sedih kayak saya."

Wajar, jika kemudian muncul rekasi seperti :

"Mental health problem tuh udah jelas!"

"Kurang iman banget ya sampai tega menggorok anaknya"

"Kasihan ya, dia sayang sama anaknya dengan caranya sendiri"

dan sebagainya.

Akhirnya, memang semua reaksi jadi serba relatif. Benar atau tidaknya relatif tergantung standar yang mana.

Saya sendiri jadi miris di saat yang sama. Kita, muslim terbesar di dunia, sekaligus korban sekulerisme terbesar. Rasanya konsep pemikiran memisahkan kehidupan dunia dengan agama ini sudah mendarah daging. Seolah-olah Islam tak punya solusi atas permasalahan semacam itu.

Yang paling bikin saya mengernyitkan dahi adalah ucapan, "please deh bu, kayak gini ini enggak ada hubungannya sama iman."

Lantas, otak saya menjelajahi segala macam pengetahuan dan pemahaman nalar. Iya, bisa jadi kalau iman diartikan sebagai ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, naik haji bila mampu, tentu itu tak cukup menjamin seseorang menjadi shalih atau shalihah.

Sebab, saat ini, ada banyak distraksi ketika kita melakukan ibadah-ibadah tesebut. Misalnya terkait niat, pemaknaan pada gerakan dan bacaan, apakah kita tahu esensi dari ibadah-ibadah tersebut ataukah sekedar ritual penggugur dosa?

Iman tentu punya wilayah lebih luas dari sekedar ibadah ritual. Iman bicara tentang aqidah, keyakinan seseorang tentang segala sesuatu qada' qadar dari Allah sehingga kita memiliki sikap qanaah (merasa cukup). Jika kita menyadari ini, tentunya dalam diri kita akan tercipta mindfullness (kesadaran penuh) atas hubungan kita sebagai hamba Allah dan Sang Pencipta atau Sang Pengatur Kehidupan. Iman memang bukan satu-satunya, tapi ia faktor utama.

Akan Ada Kanti-Kanti yang Lain Jika Tak Diselesaikan dari Akarnya

Salah satu faktor mental illness karena pandemi yang benar-benar “melumpuhkan” aktivitas dua tahun belakangan, sehingga banyak orang yang merasa harus survive biar tetap terlihat waras.

Inner child atau pola pengasuhan yang kurang suportif yang diterima saat masa kecil juga banyak menjadi alasan. Termasuk pada kasus Kanti. Tapi, entahlah, tak ada yang tahu pasti persisnya masa lalu seseorang. Namun, seperti apa kita dididik dan diasuh sejak kecil memang menjadikan kita menjadi karakter kita hari ini. Mungkin, seseorang merasa baik-baik saja, namun memendam emosi yang akhirnya menjadi bom waktu suatu saat nanti.

Tak hanya itu, lingkungan sekitar pun memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakter maupun kepribadian seseorang. Terutama, pasangan yang menjadi teman sehari-hari. Allah syariatkan pernikahan sebagai bagian dari pemenuhan atas fitrah bernama naluri berkasih sayang (gharizah nau’).

Syariat Islam menetapkan hak istri atas suami dan hak suami atas istri, seperti dalam QS. Al-Baqarah : 228 “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” Bahkan Ibnu Abbas menuturkan, “para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat kepada suaminya dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.” (Nizham Ijtima’ fil Islam, Taqiyyuddin an-Nabhani)

Maka, jika suami dengan adanya peristiwa ini dihimbau untuk mengerti bagaimana menyayangi istrinya, memanglah di Islam dianjurkan seperti itu. Lalu, apakah para suami hari ini sudah kehilangan jati dirinya, atau karena relasi kehidupan suami istri sudah sedemikian hambar? Atau menjadi kian terkikis karena himpitan ekonomi yang kian terjepit?

Semua orang, tak terkecuali saya, tentu mengelus dada dengan fenomena yang makin jauh dari Islam akhir-akhir ini. Mereka, kita semua, bukan mutlak sumber dari masalah. Ada masalah lebih besar yang butuh dituntaskan. Sistem kapitalis yang menilai apapun dari segi materi, bahkan mengagungkannya telah mengubah semua tatanan kehidupan. Iman pun dipertaruhkan.

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian menganga, kecemburuan sosial makin menjadi, menghalalkan segala cara akhirnya menjadi pemenuhan nafsu yang terus dirangsang oleh media. Ini tak akan terjadi jika sistem Islam diterapkan sempurna. Hanya Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber hukum sehingga para penguasa yang mengemban amanah dapat memenuhi hajat hidup rakyatnya, sehingga pola pengasuhan, pendidikan, relasi keluarga, dan sebagainya menjadi hanya memiliki standar Islam saja, bukan yang lain.

Tak hanya mental illness yang berganti wajah, para ibu rumah tangga pun menjadi ibu bahagia sebab melakukan fitrahnya sepenuh hati sebagai bagian dari jalannya meraih surga. Ah, jadi rindu Islam kaffah. Semoga peristiwa semacam ini makin meningkatkan iman dan takwa kita di momentum Ramadhan yang sedang kita jalani. Wallahu a’lam bis shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image