Niatnya Self-Love, Tapi Malah Jadi Self-Obsessed?, Kamu Yang Mana?
Curhat | 2025-07-29 14:38:57Niatnya Self-Love, Tapi Kok Malah Jadi Self-Obsessed?
Pernah nonton film Barbie yang rilis tahun 2023? Filmnya yang penuh dengan warna pink, tapi isi ceritanya cukup menampar realita. Ada momen-momen lucu, tapi juga ada momen yang bikin kita mikir. Di satu sisi, kita lihat Barbie yang mulai bertanya tentang hidupnya dan merasa “kosong”, lalu pelan-pelan belajar mengenal dan mencintai dirinya sendiri. Tapi disisi lain, ada juga karakter yang nyebelin banget dan ngotot banget soal pemberdayaan perempuan yang sebenarnya mengarah ke self-obsessed, merasa paling benar, dan nggak bisa dikritik sedikit pun.
Nah, itu gambaran yang cukup jelas soal perbedaan self-love dan self-obsessed.
Self-love adalah saat kita bisa menerima diri kita apa adanya, tahu batas dan kebutuhan diri, tapi juga tetap terbuka untuk belajar, berubah, dan berhubungan sehat dengan orang lain. Sementara self-obsessed, meskipun kelihatannya mirip karena sama-sama fokus ke diri sendiri, tetapi dasarnya berbeda. Self-obsessed berkembang dari kebutuhan untuk merasa paling penting, paling benar, dan paling layak untuk diprioritaskan atau bahkan kalau harus mengabaikan perasaan atau kepentingan orang lain.
Dari situ, kadang kita mulai mikir, ini beneran bentuk mencintai diri sendiri? Atau jangan-jangan, tanpa sadar, kita sudah melenceng ke arah self-obsessed?
Soalnya sekarang, hampir semua keputusan bisa disangkutpautkan dengan label “self-love”.Menolak merawat tubuh dengan alasan ‘nerima diri apa adanya’, padahal kondisi fisik sudah mulai berdampak ke kesehatan? self-love.Ngga mau denger kritik? self-love.Mutusin hubungan satu pihak pun katanya self-love.
Padahal kenyataannya, ngga semua hal yang kita sebut “self-love” itu benar-benar self-love. Kadang, itu cuma cara halus buat menghindar dari perubahan, dari pertumbuhan, atau bahkan dari tanggung jawab.
Bedanya self-love dan self-obsessed itu memang tipis banget, kayak eyeliner yang kalau melenceng sedikit aja, bisa fatal banget. Sama-sama fokus ke diri sendiri, tapi arahnya bisa jauh banget kalau udah salah dari awal.
Luka yang Diobati vs Luka yang Ditutup-tutupi
Sekilas, self-love dan self-obsessed memang sama-sama berfokus pada diri sendiri. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, niat dan sikap di baliknya bisa sangat berbeda.
Self-love itu tumbuh dari penerimaan. Kita tahu kita punya kekurangan, tapi tetap mau merawat diri. Kita sadar ngga semua hal harus dipaksakan, dan kita mulai bisa memisahkan mana kebutuhan pribadi dan mana yang cuma keinginan sesaat. Self-love juga ngajarin kita buat tegas tapi lembut, baik ke diri sendiri maupun ke orang lain.
Orang yang mencintai dirinya sendiri biasanya tenang dan tidak reaktif. Saat ada orang mengkritik, dia bisa memilah, apakah ini kritik yang membangun atau tidak? Kalau iya, dia akan dengarkan. Kalau tidak, dia tetap bisa menjaga batas tanpa perlu marah. Self-love juga terlihat saat seseorang bisa berkata “tidak” dengan tenang, karena dia tahu batas energinya.
Sementara itu, self-obsessed yang mirip dengan self-love, padahal tujuannya beda. Bukan lagi soal mencintai, tapi mengagumi diri secara berlebihan, merasa paling penting, merasa layak diutamakan terus-menerus. Kritik dianggap serangan, saran dianggap ancaman, pokoknya semua hal harus berpusat pada dirinya.
Orang yang self-obsessed bisa terlihat kuat dari luar, tapi sebenarnya rapuh. Karena segala hal harus berjalan sesuai keinginannya, kalau ngga sesuai dengan keinginanya dia bisa marah, menarik diri, atau menyalahkan orang lain. Self-obsessed menuntut perhatian dan pengertian, tapi jarang memberi hal yang sama ke orang lain.
Bedanya kayak gini, Self-love itu tumbuh dari luka yang diobati sedangkanSelf-obsessed sering tumbuh dari luka yang ditutup-tutupi.
INI FAKTANYA!
Meski self-love terdengar sederhana, tenyata self-love punya dampak yang positif. Sebuah meta-analisis yang mengulas 79 penelitian dengan lebih dari 16.000 peserta menemukan bahwa orang yang memiliki self-love tingkat tinggi cenderung lebih tahan terhadap stres, lebih jarang mengalami depresi, dan mampu bangkit lebih cepat setelah kegagalan. Ini menunjukkan bahwa self-love secara sehat bukan cuma soal merasa bahagia, tapi benar-benar membentuk ketahanan mental yang kuat.
Studi di Malaysia yang melibatkan lebih dari 400 responden juga memperkuat hal ini. Orang-orang yang self-love cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih baik, mereka bisa mendengar kritik tanpa langsung merasa dirinya diserang, tidak selalu ingin menang sendiri, dan mampu berdamai saat konflik muncul. Jadi, self-love bukan tentang ego besar, tapi tentang stabilnya emosi dan kesiapan dalam merespons situasi.
Menariknya, efek positif dari self-love juga muncul di tubuh kita. Penelitian dari University of Exeter dan University of Oxford menemukan bahwa orang yang memiliki self-compassion atau belas kasih terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan merespons stres dengan cara yang lebih sehat. Detak jantung mereka lebih tenang dan sistem saraf mereka lebih cepat pulih setelah tertekan. Perlu dijelaskan di sini bahwa self-compassion adalah bagian dari self-love, yaitu saat seseorang mencintai dirinya sendiri, ia cenderung lebih mampu bersikap lembut dan tidak menghakimi diri saat sedang terpuruk. Jadi, saat kita bicara tentang self-love yang sehat, sikap penuh kasih terhadap diri sendiri itu otomatis ikut terlibat di dalamnya.
Namun, terlalu fokus pada diri sendiri tanpa kesadaran juga justru bisa menjadi jebakan. Dalam psikologi, fenomena ini disebut self-absorption paradox, jadi semakin seseorang terobsesi dengan dirinya sendiri, semakin besar kemungkinan ia merasa gelisah, kesepian, dan tidak puas dalam hidup, meski dari luar tampak percaya diri. Ini yang sering kali terjadi saat self-love melenceng jadi self-obsessed, bukan ketenangan yang didapat, tapi kecemasan yang malah makin mendalam.
Self-Love Menguatkan, Self-Obsessed Melemahkan
Self-love dan self-obsessed sering disangka serupa karena sama-sama mengarah ke diri sendiri. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, niat dan dampaknya sangat berbeda. Yang satu membangun dan yang satu memaksa.
Orang yang punya self-love biasanya terlihat lebih damai. Mereka mampu menerima diri sendiri secara utuh termasuk kelebihan dan kekurangan mereka. Tapi penerimaan ini bukan berarti pasrah, justru dari sanalah muncul dorongan untuk tumbuh. Mereka tidak takut belajar, tidak takut gagal, dan tidak takut dikritik. Kritik dianggap sebagai masukan, bukan ancaman bagi harga diri.
Self-love juga ditandai dengan empati dan toleransi. Orang yang mencintai dirinya tidak kehilangan kepekaan terhadap orang lain. Mereka mampu menghargai perbedaan, memaafkan kesalahan, dan tidak mudah menghakimi. Mereka juga memprioritaskan kesejahteraan fisik dan emosional, bukan untuk terlihat baik di mata orang lain, tapi karena mereka benar-benar peduli pada diri sendiri.
Sebaliknya, self-obsessed muncul dari kebutuhan untuk merasa unggul dari semua. Orang yang terjebak dalam pola ini cenderung egois untuk mengutamakan keinginannya tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain. Mereka butuh validasi terus-menerus agar merasa bernilai, tanpa itu, mereka merasa tidak aman dan merasa lemah. Pujian menjadi bahan bakar, sementara kritik dianggap serangan pribadi.
Ciri lainnya adalah sikap manipulatif. Demi terlihat benar, mereka bisa memutarbalikkan fakta atau mengontrol orang lain secara halus. Mereka sering merasa paling tahu, paling benar, dan sulit menerima perbedaan pendapat. Dalam banyak kasus, sikap ini juga terlihat dalam hal-hal kecil, seperti boros belanja bukan karena butuh, tapi karena ingin menunjukkan citra tertentu.
Perbedaan antara self-love dan self-obsessed memang tipis, tetapi sebenarnya perbedaanya akan sangat terlihat jika kita sudah memahaminya. Self-love menguatkan dan membuka ruang untuk tumbuh bersama orang lain. Self-obsessed, sebaliknya, menciptakan jarak, persaingan, dan rasa lelah yang tak berkesudahan karena mengejar validasi dan terus-menerus haus akan pengakuan.
Apa kita sudah “Self-Love”?
Di zaman ketika semua hal bisa dikaitkan dengan istilah self-love, kita perlu jujur pada diri sendiri “apakah ini benar-benar self-love yang kita maksud, atau justru obsesi terhadap diri sendiri?” Karena self- love itu bukan soal memanjakan ego, tapi soal bertumbuh dengan jujur, pelan-pelan, dan penuh kasih.
Kadang, kita memang butuh waktu untuk menyendiri, menolak hal-hal yang membuat kita melelahkan, tapi kalau semua itu dilakukan dengan sikap tertutup, merasa paling benar, dan menolak masukan dari siapapun mungkin kita perlu berhenti sebentar dan bertanya "Apakah ini benar-benar demi kebaikanku, atau cuma pembenaran agar aku ngga perlu berubah?" mungkin karena terlalu nyaman dengan keadaan sekarang dan takut untuk berkembang
Self-love tidak membuat kita jadi keras kepala tetapi self-love membuat kita jadi lebih lembut pada diri sendiri, juga pada orang lain. Self-love bukan perisai untuk menghindari kritik, tapi pondasi untuk menerima kenyataan dan menemukan solusi. Bukan alasan untuk menutup diri, tapi jembatan untuk membangun hubungan yang sehat.
Di akhir hari, self-love seharusnya membuat kita merasa nyaman, bukan tertekan. Merasa cukup, bukan butuh dipuji terus. Merasa damai, bukan sibuk membuktikan apa pun. Kalau kita bisa sampai ke titik itu, mungkin itulah tanda bahwa kita benar-benar self-love dan bukan terjebak dalam self-obsessed.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
