Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anjar Miska Prayoga

Guru Masa Kini, Lakumu Abadi

Guru Menulis | Thursday, 31 Mar 2022, 14:05 WIB
Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi) Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang

Pandemi menciptakan jarak antara guru dengan siswa. Ritual melepas senyum oleh Bapak Ibu guru di depan pintu gerbang kala menyambut datangnya siswa di pagi hari sementara berhenti. Untuk sementara waktu senyum tersalurkan lewat koneksi internet dengan media gawai. Tetapi, kita perlu merenungkan kata mutiara dari Joko Pinurbo dalam buku puisinya berjudul Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung, “Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.” Jika boleh mengibaratkan, guru itu seperti SPBU yang buka 24 jam non stop, siap melayani pengisian BBM kapan saja, begitu juga guru siap melayani siswa kapan saja.

Dalam ensiklopedi Bahasa Jawa dikenal terminologi kerata basa atau jarwo dhosok, guru memiliki makna digugu lan ditiru jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia secara bebas dapat diartikan guru itu dipatuhi dan diteladani. Begitulah lakon guru dari masa ke masa yang dalam khazanah Bahasa Indonesia terungkap lewat pepatah lama, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Agaknya pepatah ini sudah jarang terpakai, saya sebagai guru sejujurnya juga sedikit risih dengan kata kencing itu, bagaimana jika diganti makan atau minum saja. Sedikit saja guru berbuat keliru, bisa-bisa murid lebih buruk lagi kekeliruannya. Maka semenjak dulu pasti ada perlombaan guru teladan berharap murid turut meneladani, walau guru bukanlah nabi yang maksum dari kesalahan.

Keteladanan guru ini berjalan seirama dengan keikhlasan. Guru rela hidup sederhana asal murid bahagia. Guru sejati baik guru masa lampau atau guru masa kini adalah yang bahagia melihat murid-muridnya memiliki kesuksesan melebihi dirinya. Jokpin menggambarkan ini dalam puisinya berjudul “Dengan Kata Lain”

/Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek./ Entah nasib baik, entah nasib buruk,/ aku mendapat tukang ojek yang,/astaga, adalah guru sejarahku dulu./

“Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,”/beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah./“Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?”/

Dengan enteng guru yang dikisahkan dalam puisi di atas menyebut (mantan) muridnya sebagai juragan dari Jakarta. Saya sengaja memberi tanda kurung kata mantan, karena setahu saya hubungan guru dengan murid ini berlaku abadi. Beliau tidak minder, justru bahagia melihat muridnya sukses di tanah rantau. Keteladanan guru ini berlanjut di bait berikutnya dari puisi

/Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan./Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet,/beliau sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja./

Sampai-sampai guru tersebut rela tidak dibayar, melihat muridnya bahagia itu sudah seperti bayaran tertinggi. Oleh karena itu, jika pemerintah peduli pada kesejahteraan guru, itu sudah langkah tepat. Masih banyak guru di luar sana seperti kisah dalam puisi Pak Jokpin, nyambi pekerjaan sana sini. Termasuk saya dengan menulis ini.

Apa yang membedakan guru masa lampau dengan guru masa kini jika pedomannya masih sama? Ruang hati yang ikhlas. Yang jelas, dunia pendidikan itu dinamis, perubahan bahkan semakin santer belakangan ini. Keikhlasan untuk guru masa kini bukan lagi soal materi. Maknanya meluas, termasuk ikhlas untuk selalu meningkatkan kapasitas, kemampuan, dan kompetensi diri. Ikhlas untuk mengembangkan potensi siswa bagaimanapun latar belakangnya.

Apa yang akan terjadi jika guru itu pasif, tidak mengikuti perkembangan zaman? Bukan kemajuan yang akan didapat, tetapi kemunduran. Saat ini masif disebut era industri 4.0 dengan ciri khas serba teknologi, bahkan konon dunia pendidikan disebut-sebut akan memasuki era penggunaan sedikit kertas (paperless). Bayangkan jika guru masih menggunakan “senjata” lama dalam menghadapi era ini. Senjata yang dimaksud adalah metode, strategi, model, teknik, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran. Bisa-bisa target generasi Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan pemerintah itu akan berakhir segera, layu sebelum berkembang.

Menjadi guru masa kini adalah guru yang melek teknologi, ini sudah sejalan dengan visi pemerintah. Namun, bukan teknologi yang tanpa tanggung jawab dan kebablasan. Oleh karenanya, melalui paradigma baru pendidikan, pemerintah tetap tegas untuk tidak melupakan jati diri bangsa: Pancasila. Maka pemerintah melalui Mas Nadiem, menggagas Profil Pelajar Pancasila, berisi enam karakter atau indikator yang diupayakan bisa didapat oleh seluruh masyarakat usia sekolah di tanah air. Enam profil itu adalah: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Inilah perjuangan guru masa kini, mesti ikhlas meningkatkan kompetensi, berpacu dengan teknologi, juga tetap menguatkan bahu mencetak generasi berkarakter unggul. Guru dengan tugas maha berat begini kok masih ada yang merundung, disebut pekerjaan santai, tinggal ongkang-ongkang dapat sertifikasi. Heran saya. Kalau ada guru yang begitu, oh itu mungkin bukan guru masa kini juga bukan guru masa lampau, tetapi guru yang tersesat. Sepertinya jasa guru memang tidak dapat diukur dengan materi seperti kata Joko Pinurbo dalam baris puisinya,” Dengan kata lain,kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.” Begitu.

Daftar Pustaka :

Joko Pinurbo. 2007. Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung. Jakarta: Gramedia

Redaktur Republika. 2021. Menjadi Pelajar yang Berkarakter Pancasila, https://www.republika.co.id/berita/r1cx8g216/menjadi-pelajar-yang-berkarakter-pancasila, diakses pada 31 Maret 2022 pukul 13.53 WIB

Tim Portal Jember. 2020. Puisi Terkenang Celana Pak Guru dan Dengan Kata Lain Karya Joko Pinurbo, Cocok Dibaca 25 November, https://portaljember.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-161006818/puisi-terkenang-celana-pak-guru-dan-dengan-kata-lain-karya-joko-pinurbo-cocok-dibaca-25-november?page=4, diakses pada 30 Maret 2022 pada pukul 08.00 WIB

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image