Women 20 dan Beban Kaum Perempuan Era Kapitalis
Politik | 2022-03-31 10:56:11Oleh: Devi Malika Azzahra, SP.
Untuk pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah helatan internasional Women 20 (W20) yang belangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 23-25 Maret lalu, setelah sebelumnya juga dilaksanakan di Sulawesi dan Jawa Timur.
Kelompok masyarakat yang dilibatkan dalam presidensi Group of Twenty (G20) ini fokus membahas empat isu utama untuk mendukng pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Hasil pembahasan tersebut disusun menjadi rekomendasi yang akan diajukan pada KTT G20 November 2022 mendatang.
Isu pertama yang dibahas adalah mengenai diskriminasi dan kesetaraan. Isu kedua berkaitan dengan inklusi ekonomi. Lalu, isu ketiga tentang kondisi perempuan marjinal, yakni perempuan penyandang disabilitas difabel dan perempuan yang menetap di wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T), serta isu keempat terkait kesehatan.
Women 20 menilai ketimpangan dan diskriminasi menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam perekonomian. Padahal, partisipasi perempuan penting bagi pemulihan ekonomi, khususnya setelah pandemi Covid-19 (kompas.id,10/02/22).
Hal ini diamini oleh Gubernur Kalsel Sahbirin Noor yang berkomitmen untuk mengedepankan dan memperkuat pengarusutamaan gender dalam pembangunan di Kalsel setelah dipercaya sebagai tuan rumah penyelenggara W20 di Banjarmasin.
”Kami tidak hanya berkomitmen untuk menuangkan dalam dokumen perencanaan, tetapi juga telah melakukan berbagai program yang mendukung perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan,” ujarnya (kompas.id, 24/03/22).
Bagi kapitalisme, ketercapaian partisipasi perempuan masih belum cukup mendongkrak perekonomian, sehingga diperlukan peningkatan pemberdayaan perempuan agar lebih berkualitas dalam berusaha dan menjadi mesin ekonomi yang produktif. Mereka memuja-muji dengan narasi positif seakan-akan berpihak pada perempuan. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah kegagalan ekonomi kapitalisme menciptakan kesejahteraan bagi perempuan.
Ketika ekonomi kapitalisme dihantam pandemi, resesi membayangi, ekonomi rakyat dijadikan sandaran solusi. Terbitlah dorongan UMKM dan digitalisasi usaha dengan memainkan perempuan sebagai pelaku ekonomi. Sadar atau tidak, bukan hanya sebagai tulang rusuk, perempuan sejatinya terpaksa dan dipaksa sebagai tulang punggung.
Terpaksa karena sistem kapitalisme memiskinkan rakyat. Negara tidak bertindak layaknya pengurus urusan rakyat, tetapi lebih memihak pada kepentingan pemilik modal. Kekayaan negara diperjualbelikan. Kebutuhan dasar rakyat tak dipenuhi. Suami susah cari kerja. Nafkah keluarga pun telantar. Jadilah perempuan ikut bekerja membantu ekonomi keluarga.
Dipaksa karena secara tidak langsung, kapitalisme bersama para Feminis pengusung kesetaraan gender mendorong perempuan keluar dari “sangkar emas yang mengurungnya”, yakni sebagai ibu rumah tangga. Stereotip negatif tentang ibu rumah tangga sudah kadung melekat kuat. Ibu rumah tangga dianggap sebagai status yang mengekang, menindas, dan tidak mandiri.
Menjadikan perempuan sebagai bumper ekonomi sama halnya memaksa kaum perempuan berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja. Jika tak kerja, dianggap beban, dipandang tak berdaya, dan dinilai tak produktif.
Perempuan dan kemiskinan global adalah dua hal yang tak terpisahkan, mengapa? Karena perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang kesejahteraannya juga dipengaruhi oleh sistem yang berlaku. Maka, jika sistem kapitalisme-sekuler terbukti gagal menyejahterkan perempuan, sekarang saatnya menguji kemampuan sistem Islam sebagai pengganti kapitalisme.
Sistem Islam yang diimplementasikan secara riil oleh institusi negara memberi aturan rinci berkenaan dengan peran dan fungsi pria dan wanita dalam menjalani kehidupan, yang memang adakalanya sama dan ada kalanya berbeda. Hanya saja, persamaan dan perbedaan ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting. Hal ini tidak bermakna adanya penghinaan atau dominasi salah satu pihak oleh pihak yang lain, baik pria atau wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sekaligus kemuliaan dengan menjadi hamba yang bertakwa.
Kesejahteraan dalam Islam diartikan sebagaai terpenuhinya seluruh potensi yang dimiliki manusia secara optimal, baik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan termasuk agama sebagai tuntunan hidup, serta pemenuhan kebutuhan pelengkap baik berupa kebutuhan sekunder maupun tersier.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka negara wajib mewujudkan keimanan individu, dalam hal ini laki-laki sebagai penanggung jawab dari para perempuan. Islam memandang bahwa sebagian dari hak perempuan ada pada sebagian kewajiban laki-laki, seperti nafkah misalnya, ia adalah hak perempuan yang terdapat pada kewajiban laki-laki baik Ayah atau pun suaminya.
Berikutnya negara harus mewujudkn sistem ekonomi berbasis Islam, di antaranya pengembangan sektor riil seperti membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki agar dapat optimal menafkahi keluarganya. Negara juga berkewajiban menjamin kehidupan rakyat miskin. Maka, perempuan yang hidup di bawah naungan Islam tidak perlu ide kesetaraan gender ataupun kesetaraan upah untuk menyelesaikn permaslahan mereka, termasuk dalam hal ini permasalahan kemiskinan.
Dalam hal waris, perempuan mendapatkan keadilan. Sebagaimana kita tahu ibu, istri, saudara dan anak perempuan mempunyai bagian tertentu yang sudah ditetapkan secara rinci. Dalam hal mahar, harta tersebut menjadi miliknya yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun, termasuk walinya.
Perempuan didorong untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin secara gratis, sebab menuntut ilmu adalah bagian dari kewajiban bagi muslim (dan muslimah). Agar perempuan bisa menjadi pendidik pertama yang terbaik bagi anak-anaknya. Pun demikian, bagi anak perempuan mereka berhak mendapatkan pendidikan dari orang tuanya sebagai bekal untuk menjalani perannya pada saat dewasa. Dibekali keterampilan memasak, menjahit, menata rumah, bekal dasar agama dan pengetahuan dasar lainnya. Mereka dibentuk agar memiliki nilai-nilai dasar bagi kehidupan.
Perempuan juga boleh beramal saleh mengamalkan ilmunya di tengah masyarakat. Lillah, semua dilakukan untuk kemaslahatan umat bukan karena tuntutan ekonomi keluarga. Di mana saat beraktivitas dalam kehidupan umum (di luar rumah), perempuan diwajibkan menjaga kehormatannya dengan menutup aurat seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mereka pun dibatasi untuk tidak melakukan pekerjaan yang akan merendahkan martabat mereka seperti menjadi sales promotion girls, pekerja seks komersial, pemandu lagu di kafe, hotel, dan sebagainya. Semua aturan ini dalam rangka menjaga dan melindungi kehormatan perempuan sehingga mereka hidup dalam kemuliaan.
Negara wajib menutup semua area yang melanggar kehormatan perempuan. Menutup akses terhadap konten porno di media publik yang merangsang syahwat. Memisahkan tempat laki-laki dan perempuan di lingkungan pendidikan. Memberlakukan sanksi hukum yang tegas bagi pelaku pelecehan, pornoaksi-pornografi, dan penyimpangan seksual.
Negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perempuan telah terpenuhi hak-haknya di dalam rumah oleh para walinya. Maka, Islam memberikan adanya ruang pengaduan istri kepada pemimpin akan lalainya suami atau wali dalam memberi nafkah, berlaku kasar, dan sebagainya melalui pengadilan bukan dengan mengumbar aib keluarga kepada publik.
Hak politik perempuan diberikan dengan kebolehan untuk memilih dan dipilih menjadi anggota majelis syuro. Bahkan perempuan diwajibkan melakukan amar makruf nahi mugnkar, bergabung dalam sebuah partai politik Islam. Dalam Islam perempuan tak membutuhkan kuota 30% atau 50% dalam politik.
Demikianlah negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan seluruh hak-hak dasar kaum perempuan. Negara menerapkan seluruh syariat Islam untuk melindungi semua warga negara -perempuan dan laki-laki- dalam rangka menjalankan amanah yang diberikan Allah SWT.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.