Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Bu Tejo, Post Truth, dan Perilaku Keseharian Kita

Agama | 2022-03-30 07:01:45

Berbeda dengan membaca buku atau koran, saya termasuk orang yang kurang kerasan menonton film. Namun tatkala menemukan film pendek yang berjudul Tilik, sampai hari ini saya tak bosan menontonnya.

Film pendek peraih Winner Piala Maya 2018, Film Pendek Terpilih Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018, dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019 ini sampai 17 Agustus 2020 telah tayang di kanal youtube sebanyak 26.863.526 kali. Film yang diproduksi Ravacana Films ini mengangkat tema perilaku kehidupan keseharian di sekitar kita, terutama di kalangan kaum hawa.

Tokoh utama dalam film pendek yang lokasi filmnya di atas bak truk berjalan ini adalah Bu Tejo, sosok perempuan yang jago ngerumpi dan “mendewakan” internet dan media sosial. Ia sangat percaya kepada berita apapun yang ada di internet dan media sosial, sebab yang menulis di internet itu pasti orang-orang pinter dan berpendidikan. Ia tak mau lagi mengecek atas kebenarannya, yang penting ramai dan bisa mengikuti suatu berita yang tengah hangat dibicarakan, supaya kelihatan modern dan gaul.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap sosok Bu Tejo (yang diperankan Siti Fauziah Saekhoni) yang senang melakukan gosip, yang jelas Bu Tejo itu adalah kehidupan keseharian di sekitar kita. Bisa jadi perilaku keseharian kita sendiri pada saat ini merupakan “titisan Bu Tejo”.

Pada saat ini melakukan gosip dinilai sebagai perbuatan yang dapat memperat jalinan hubungan sosial, apalagi kini gossip tersebut dapat dilakukun secara online via berbagai group media sosial. Orang-orang bisa akrab chatting berjam-jam jika dibumbui dengan berbagai gosip, mulai dari gosip kehidupan rumah tangga tetangga sampai gosip kehidupan bernegara.

Nilai kebenaran dan pertimbangan termasuk ke dalam perbuatan dosa atau tidak, entah berada di nomor berapa. Demikian pula mengecek kebenaran terhadap apa yang dibicarakan dan dari siapa sumbernya sudah tak diperhatikan lagi.

Pada era berjayanya media sosial seperti sekarang ini suatu kebenaran terkadang menjadi samar dan sumir. Karena berbagai kepentingan, terkadang kebenaran dan kebatilan sering tertukar. Kebenaran dan kebatilah dinilai dari siapa orang yang mengucapkannya bukan lagi esensi dari ucapannya.

Sekalipun suatu perkara itu salah, karena orang yang mengucapkannya merupakan seorang tokoh yang dihormati, dianggap mumpuni, banyak muncul di media sosial, dan pesohor, maka perkara tersebut terkadang dianggap benar. Sebaliknya, meskipun suatu perkara itu benar, namun karena diucapkan oleh orang yang tak dikenal, bukan pesohor, jarang muncul di media sosial, maka terkadang kebenarannya diabaikan begitu saja.

Popularitas seseorang di media sosial, setiap pembicaraan dan perilakunya lebih banyak dipercaya dan diikuti tanpa lagi menilai substansi kebenaran dari pembicaraan dan perilakunya tersebut. Janganlah mengherankan, jika kebanyakan orang lebih percaya kepada berita di media sosial yang disebar secara masif dan berulang-ulang sekalipun merupakan berita hoax.

Kini kebenaran dinilai dari tingkat kepopuleran/keviralan, banyaknya sebaran dan follower, banyaknya like, dan pengulangan berita. Semakin banyak suatu berita disebarkan dan diulang-ulang, dan orang-orang diam, tidak meluruskannya, maka seolah-olah berita tersebut nampak benar. Berita hoax lebih ramai dan nampak benar daripada berita yang asli dan dijamin kebenarannya.

Kebanyakan dari kita pada saat ini seperti perilaku Bu Tejo. Tak peduli berita itu bohong, tak sesuai fakta, yang penting kita mengikuti trend pembicaraan orang pada umumnya. Kita merasa khawatir dicap tidak gaul (FOMO/Fear Of Missing Out), dan ketinggalan berita aktual jika tidak ikut membicarakannya.

Kondisi seperti ini oleh Ralph Keyes (2004) dalam karyanya The Post Truth Era, Dishonesty and Deception in Contemporary Life disebut post truth (pasca kebenaran). Dalam putaran post truth, orang-orang lebih melihat kepada siapa yang berbicara, bukan melihat kepada substansi yang dibicarakan.

Karena melihat kepada siapa yang berbicara, bukan kepada substansi yang dibicarakan, tidaklah mengherankan jika kebenaran itu telah tergantikan dengan kelayakan dapat dipercaya. Orang-orang menjadi langsung percaya terhadap suatu berita atau pernyataan karena diucapkan oleh orang yang layak dipercaya, apalagi jika ia seorang pesohor, dikenal ketokohannya, dan dikenal kepintarannya. Mereka tidak perlu lagi mengecek kebenarannya.

Mari kita merenung sejenak, bukankah perilaku kita selama ini seperti kisah dalam film Tilik ? Kita sudah memasuki puratan era post truth. Diri kita laksana “titisan Bu Tejo” yang sudah malas memilih dan memilah benar tidaknya suatu pernyataan atau berita.

Kita telah menjadi orang yang hedonis, yang penting senang dan dianggap gaul, tak peduli dengan dosa dan akibat dari apa yang telah kita ungkapkan. Pada saat ini berita yang sesuai fakta (fact) dianggap berita palsu (fake), sementara berita palsu (fake) dianggap sebagai berita yang sesuai fakta (fact).

Kondisi fact menjadi fake berimbas kepada ketaatan terhadap ajaran agama. Kini banyak orang yang menjadikan tontonan sebagai tuntunan, sementara tuntunan yang benar hanya dijadikan tontonan belaka.

Dakwah baik melalui ceramah maupun tabligh hanya dijadikan sebagai ajang hiburan (dakwahtainment). Kebenaran suatu nasihat sering dilihat dari siapa yang menyampaikannya. Terkadang nampak kesan, nasihat kebenaran itu hanya berhak disampaikan dan diikuti khalayak jika ditulis atau diucapkan oleh orang-orang yang banyak follower dan like-nya di media sosial.

Ajaran Islam sangat mewanti-wanti agar kita selalu mengedepankan akal dan perasaan sebelum berbicara; mengecek kebenarannya; dan mempertimbangkan kemudaratan dan kemaslahatan dari apa yang akan kita bicarakan. Seorang mukmin yang baik adalah mereka yang berpikir seribu kali dan berkata satu kali, bukan sebaliknya, berbicara seribu kali dan berpikir hanya satu kali.

Kearifan dan kecerdasan memilih dan memilah berita atau pernyataan; mempertimbangkan kemudaratan dan kemaslahatan dalam berbicara; dan meneliti kebenaran dari suatu berita, mutlak diperlukan agar kita tidak tergelincir terhadap perbuatan yang melanggar hukum dan terjerumus ke dalam perbuatan dosa.

Kita pun dituntut untuk menyatakan yang benar itu sebagai suatu kebenaran dari siapapun asalnya, dan menyatakan yang salah itu sebagai suatu kesalahan meskipun datangnya dari orang yang layak dipercaya.

Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan, “Lihatlah olehmu substansi yang diucapkan, jangan melihat siapa yang mengucapkannya.” Namun demikian, seiring kemajuan zaman, karena berbagai kepentingan, terkadang kebenaran dan kebatilan menjadi samar dan sumir, dilihat dari siapa yang mengucapkannya.

Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya dan tampakkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya dan janganlah Engkau jadikan kebatilan itu seakan-akan kebenaran sehingga kami tersesat karenanya. Jadikanlah kami teladan bagi orang orang yang bertakwa” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Juz I :77).

ilustrasi : Post Truth- Fact-Fake (sumber gambar : https://viterbischool.usc.edu)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image