Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erwin Prastyo

Menjadi Guru Masa Kini Lewat Formula BESTIE

Guru Menulis | Wednesday, 30 Mar 2022, 02:00 WIB
Pembelajaran di Kelas (Foto: Republika/Agung Supriyanto)

Guru dan Kualitas Pendidikan

Guru merupakan garda terdepan pendidikan. Maka tak heran apabila kualitas guru menjadi salah satu faktor penentu seberapa berkualitas pendidikan sebuah negara. Mari sejenak kita sandingkan negara kita, Indonesia dan Finlandia.

Finlandia mensyaratkan calon guru setidaknya berpendidikan S-2 (bandingkan di Indonesia yang S-1); tahapan rekruitmen yang sangat ketat dan penuh gengsi sampai-sampai hanya 10 persen pelamar terbaik saja yang diterima; citra guru yang amat dihormati oleh masyarakatnya; hingga sistem penggajian guru yang amat membuat saya kagum.

Tentulah hal ini sangat bertolak belakang dengan realita di Indonesia, yang kita sadari atau tidak nyatanya masih saja berkutat dengan berbagai sengkarut persoalan pendidikan. Tentu saja adanya perbedaan proses dan hasil pendidikan kedua negara sepatutnya menjadi bahan refleksi bagi perbaikan kualitas pendidikan kita di masa mendatang.

Mari kita kembali fokus pada persoalan guru di Indonesia. Terlepas dari ragam status dan usia guru-guru di Indonesia, apakah berstatus guru PNS, guru PPPK, atau bahkan guru honorer, kemudian apakah guru senior, jelang purna, bahkan guru junior, sebetulnya muara tugas guru sama yaitu membangun peradaban gemilang melalui pendidikan dengan murid sebagai subjek utamanya.

Guru sejatinya bukan profesi yang saya cita-citakan di masa kecil dulu tetapi takdir telah membawa saya saat ini menjadi guru, guru honorer tepatnya. Saya teringat sewaktu di bangku SD dulu, salah satu media belajar yang dibawa oleh guru pada materi operasi hitung-hitungan adalah potongan lidi. Namun, rasanya contoh tersebut kurang relevan bila diterapkan saat ini untuk anak-anak generasi Z. Hal ini pun pernah dipesankan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa anak harus diajari dan dididik sesuai zamannya, karena zaman yang dihadapi anak berbeda dengan zaman yang dihadapi orang tuanya. Bagaimana aksi para guru masa kini yang nyata-nyata berbeda generasi dengan murid-muridnya dalam mengorkestrasi pembelajaran?

Upaya yang ditempuh guru masa kini salah satunya yaitu dapat menerapkan formula BESTIE. Formula BESTIE tersebut dapat dijabarkan menjadi enam formula sebagaimana yang tersirat pada kata BESTIE.

Formula BESTIE

Pertama, “B” yaitu “Beretos kerja baik dan menjadi teladan bagi murid”. Dalam ungkapan Jawa dikenal guru iku digugu lan ditiru yang artinya guru itu diteladani dan diikuti. Sebetulnya apa yang ditangkap oleh indera murid dari sosok seorang guru merupakan role model yang secara nyata dapat diimitasi oleh murid. Teladan guru melalui contoh nyata, misalnya cara berpakaian, adab bertutur kata, dan bersikap tentu lebih baik daripada sekadar guru memberikan nasihat lisan semata. Guru yang memiliki prestasi akan dapat berbagi pengalaman secara langsung kepada murid dan menjadi motivasi berdaya tinggi bagi muridnya.

Kedua, “E” yaitu “Efektifkan pembelajaran dengan teknologi, variasikan model dan media pembelajaran”. Generasi Z merupakan generasi yang akrab dengan teknologi maka sudah selayaknya guru dapat mengintegrasikan berbagai platform digital, baik untuk pembelajaran, pertemuan daring, sumber belajar, maupun sistem penilaian. Selanjutnya, guru perlu menggunakan berbagai model/pendekatan pembelajaran yang mendorong murid aktif seperti Project Based Learning; Mengalami, Interaksi, Komunikasi, Refleksi (MIKiR); dan Teaching at Right Level (TaRL). Media pembelajaran seperti film, alat peraga, poster, dan video juga masih relevan digunakan. Penggunaan media pembelajaran berbasis YouTube, Facebook, WhatsApp, TikTok, Instagram, dan platform lain termasuk games adalah sangat direkomendasikan untuk guru masa kini, tentunya dengan tetap menjaga sisi humanisme.

Ketiga, “S” yaitu “Siap menjadi guru pembelajar dan mencoba hal-hal baru yang inovatif”. Guru merupakan pribadi yang selalu dinamis mengikuti perkembangan zaman. Guru sejatinya sebagai pembelajar selalu berupaya mengembangkan kecakapan melalui berbagai pelatihan. Sejak dimulainya pandemi Covid-19 bulan Maret 2020 lalu, mulai menjamur beragam webinar berformat pelatihan, diklat, workshop, seminar, lokakarya, sharing session, atau sebatas diskusi yang bisa dengan mudah diikuti oleh para guru secara cuma-cuma. Sebuah pesan untuk para guru, guru yang berhenti belajar sejatinya dia telah berhenti menjadi seorang guru. Ini tentunya menjadi tamparan keras bagi guru yang tidak mau belajar.

Keempat, “T” yaitu “Terapkan pembelajaran aktif menyenangkan yang membangun kecakapan abad-21 bagi murid”. Dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas tentunya guru perlu dan sekolah perlu menciptakan lingkungan belajar menyenangkan; membangun kultur pembelajaran yang mendorong tumbuh berkembangnya kecakapan abad-21 seperti menanya, mengamati, mencoba, menalar, dan mengkomunikasi yang disingkat 5M serta creativity (kreativitas), critical thinking & problem solving (berpikir kritis & memecahkan masalah), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi) yang disingkat 4C lewat beragam aktivitas pembelajaran bermakna.

Menurut saya, learning loss saat ini tidak semata-mata terjadi sebagai dampak pandemi Covid-19 saja (sebagai dampak perubahan format pembelajaran PTM menjadi PJJ), sebagaimana yang diklaim banyak pihak. Data hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, menempatkan Indonesia di posisi 72 pada kemampuan membaca. Tentu kita tahu bahwa pada tahun tersebut Covid-19 belum menyerang. Bisa jadi pembelajaran yang selama ini para guru lakukan memang belum mengakomodasi murid dengan kultur pembelajaran yang menyenangkan dan mengajak murid beraktivitas yang mendorong dilatihkannya kecakapan abad-21.

Kelima, “I” yaitu “Imbuhkan reward, apresiasi, dan motivasi”. Guru dapat mengarahkan dan mengendalikan murid dengan cara memberikan rangsangan berupa hadiah dan meneguhkan perilaku yang dipandang baik dengan pujian (reinforcement) atau penghargaan (reward). Cara pemberian reward sebaiknya dikaitkan langsung dengan perilaku tertentu, berikan secepatnya, berikan dengan rasa ikhlas, dipublikasikan di depan umum, dan divariasikan pemberiannya. Cara pemberian reinforcement sebaiknya harus jujur, ikhlas, tepat waktu dan tepat sasaran. Reward dan reinforcement hanya diberikan bila siswa menunjukkan sikap dan perilaku positif. Guru juga harus mengapresiasi setiap upaya murid dan membangun semangat murid dengan memberikan motivasi yang membangun.

Keenam “E” yaitu “Edukasi melalui nilai-nilai kehidupan (values)”. Saya meyakini bahwa peran guru tetaplah tidak tergantikan oleh yang lainnya. Boleh jadi informasi/pengetahuan yang diberikan oleh guru kepada murid tidak selengkap dan seluas pengetahuan yang akan diperoleh murid dari Google atau referensi lainnya. Meski begitu tetap saja peran tidak terganti oleh mesin modern manapun dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan (values). Karena urgensinya ini maka guru harus menamkan nilai-nilai dengan menyisipkannya pada proses pembelajaran. Misalnya, kejujuran, kedisplinan, kerukunan, etos kerja, semangat belajar, semangat berkarya, berdaya juang tinggi, dan sebagainya. Harapannya nilai-nilai kehidupan yang diajarkan guru ini dapat diinternalisasi murid di kehidupan sehari-harinya.

Sinergi untuk Pendidikan

Akhirnya, dengan guru menerapkan formula BESTIE ini minimal dapat menjadi formula guru masa kini menghadapi murid generasi Z yang sangat unik. Dukungan dan kolaborasi banyak pihak, guna mendukung guru sebagai motor penggerak pendidikan yaitu pemerintah melalui Kemdikbudristek, Dinas Pendidikan, kampus LPTK pencetak calon guru, kepala sekolah, masyarakat, orangtua, dan sesama rekan guru mampu bersinergi sesuai kapasitasnya masing-masing untuk membangun peradaban yang gemilang lewat pendidikan. Semoga [].

#GuruMasaKini #GuruBestie #GuruMenulis

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image