Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Didi Rosadi

Alienasi Pembelajaran di Sekolah Dasar

Guru Menulis | Wednesday, 30 Mar 2022, 01:02 WIB

Oleh : Didi Rosadi, Guru SMPN 3 SATU ATAP CIJAKU

Foto : Proses Pembelajaran

Guru memegang peran penting dalam menginternalisasi nilai-nilai bagi peserta didik baik melalui kegiatan proses pembelajaran di kelas maupun keteladanan. Guru sejarah akan menghidupkan peristiwa masa lalu untuk hadir di era kekinian, menghadirkan nilai-nilai untuk menjadi spirit hidup di masa depan. Di sekolah dasar khususnya SD dan SMP sejarah termuat di mata pelajaran IPS. Mata pelajaran IPS di SD diajarkan oleh guru dengan latar belakang pendidikan sarjana pendidikan sekolah dasar atau guru kelas, sementara di SMP di ampu oleh guru dengan besik keilmuan sejarah, geografi, ekonomi dan sosiologi.

Guru IPS harus menguasai dan mengajarkan beberapa disiplin keilmuan. Permasalahan yang muncul pada proses pembelajaran sejarah di sekolah dasar yaitu tergabungnya sejarah pada mata pelajaran IPS, dan bukan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Selain itu besik keilmuan yang bukan sarjana pendidikan sejarah akan menyulitkan guru dalam menyampaikan berbagai peristiwa masa lalu, sehingga nilai-nilai sejarah tidak terinternalisasi terhadap peserta didik. Dampak yang dihasilkan menurunnya karakter peserta didik, hilangnya identitas kebangsaan dan lupa terhadap sejarah bangsanya sendiri.

Wacana menghilangkan sejarah di sekolah dasar mendapat reaksi besar dari berbagai kalangan terutama para akademisi, dan sampai hari ini materi sejarah masih disampaikan di sekolah dasar. Ada beberapa permasalahan yang muncul ketika kita berbicara permasalahan sejarah di sekolah.

1. Minimnya Materi Sejarah

Di beberapa video yang beradar di masyarakat dan pernah viral, ada anak yang di tanyakan tentang lagu kebangsaan, peristiwa sekitar kemerdekaan baik waktu maupun tokoh dan tema-tema sejarah kebangsaan, anak-anak tidak mampu menjawab. Setelah melihat tayangan video, kita akan membandingkan materi sejarah yang kita terima dengan apa anak-anak sekarang dapatkan. Video ini memposisikan sekolah dan pendidik sebagai pihak yang harus dimintai pertanggung jawaban oleh masyarakat.

Sebagai seorang pendidik, tentu saja saya tidak menyalahkan sudut pandang seperti ini, akan tetapi kita perlu mengingatkan bahwasanya sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mengemas berbagai pesan pemerintah dalam pemakian kurikulum pendidikan. Pembelajaran sejarah di sekolah dasar termaktub pada buku siswa dengan sistem tematik, dimana di dalam tema terdapat disiplin keilmuan tertentu diantaranya sejarah. Materi sejarah hanya disampaikan sekilas saja, sehingga sangat wajar pengetahuan yang mereka dapatkan tidak terlalu mendalam.

Sementara di sekolah menengah pertama, materi sejarah terdapat pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang memuat disiplin keilmuan geografi, sosiologi, sejarah dan ekonomi. Dalam satu tahun di setiap jenjang, peserta didik hanya mendapatkan satu pokok bahasan tentang sejarah. Pada posisi seperti ini, tentu saja materi sejarah sangat minim mereka dapatkan.

2. Besik Keilmuan

Pada umumnya profesionalisme pekerjaan yang terjadi hari ini, akan membadingkan besic keilmuan dengan profesi yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Piet A. Sahartian dan Ida Aleida yang mengatakan bahwa profesionalisme guru merupakan kemampuan akademik (mata pelajaran yang diajarkan) dan terpadu dengan kemampuan mengajarknya, sehingga guru memiliki wibawa akademis. Hal ini mengisaratkan bahwa basic keilmuan memiliki peran penting dalam profesionalisme guru.

Sementara apa yang terjadi di lapangan, banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan basic keilmuan yang dimiliki. Salah satu contoh kasus untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di jenjang SMP diajarkan oleh rekan guru dengan basic keilmuan yang beragam baik, geografi, sosiologi, ekonomi maupun sejarah bukan disampaikan oleh lulusan jurusan IPS. Tidak tersampaikannya materi sejarah secara mendalam diakibatkan oleh permasalahan besic keilmuan. Secara pribadi saya sangat sering mendapatkan cerita keluh kesah guru IPS yang kesulitan mengajarkan materi sejarah karena tidak sesuai dengan basic keilmuan.

3. Mindset Terhadap Sejarah

Berbicara tentang sejarah, kita akan dihadapkan dengan fakta-fakta, tahun, tempat, tokoh dan berbagai konflik yang terjadi di masa lalu. Pada posisi seperti ini, akhirnya pembelajaran sejarah hanya menjadi transfer sebuah peristiwa di era kekinian, yang miskin dengan nilai-nilai. Pembelajaran sejarah membentuk image yang kurang menarik dan membosankan. Selaian itu, penulisan sejarah yang dekat dengan kekuasaan akan menjadi hakim untuk masa lalu kekuasaan. Era kemerdekaan/orde lama akan menularkan kebencian terhadap kaum colonial, orde baru menghakimi masa orde lama dan jaman repormasi akan membentuk kebencian terhadap kekuasaan orde baru.

Sejarah dipakai untuk menghakimi kekuasaan masa lalu, sementara pada tataran normatif pembelajaran sejarah seharusnya mampu membentuk karakter peserta didik yang arif dan bijaksana dalam memandang sebuah persoalan, sejarah sebagai pembentuk karakter peserta didik yang sadar akan identitasnya sebagai sebuah bangsa.

Dilihat dari dialektika waktu, keberadaan hari ini tidak lepas dari peristiwa masa lalu yang membentang dari era colonial sampai reformasi, dan sebagai negara yang besar, selayaknyalah kita menghargai “sejarah” dengan mendekatkan para peserta didik kita dengan pembelajaran sejarah kebangsaan yang ideal. Membentuk peserta didik yang sadar akan diri dan bangsanya. Strategi yang bisa dilakukan dengan cara menambah forsi materi sejarah di jenjang sekolah dasar, meningkatkan profesionalisme guru, dan merubah mindset masyarakat, peserta didik dan pemegang kekuasaan terhadap keberadaan sejarah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image