Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ilfan Zulfani

Cerpen: Perempuan Itu

Sastra | Friday, 25 Mar 2022, 20:11 WIB

Apa yang membuat seorang laki-laki seperti tidak punya kesempatan untuk mendekati seorang perempuan? Baik, aku tak akan menjawabnya langsung, sebab ini cerpen dan bukan lembar jawaban ujian.

Namanya Rizki. Nama sejuta umat. Nama yang akan kau temui di mana saja kamu temukan tempat. Aku sendiri pun begitu. Mulai dari TK, SD, SMP, teruuus SMA dan sekarang kuliah, aku selalu menemukan nama Rizki. Sungguh, bukan nama yang spesial. Nama “Rizki” juga sangat bebas gender, bisa digunakan untuk perempuan dan bisa juga laki-laki. Tapi untuk cerita ini, Rizki adalah seorang laki-laki –yang biasa saja.

Semester 1-3

Rizki mengetahui perempuan itu dulu saat di masa-masa ospek tingkat fakultas. Dia berjilbab, tinggi semampai, sekilas wajahnya menunjukkan ia punya gen etnis Jawa. Sorot matanya? Berwibawa dan cerdas, tetapi juga rendah hati. Dua bulan pertama angkatan 2016 berkuliah di FISIP, perempuan itu sudah tumbuh menjadi kembang yang telah mekar dibandingkan teman seangkatannya. Dia sering menang lomba debat, ikut kegiatan sana-sini, dan terlibat dalam banyak organisasi. Perempuan itu sangat memesona luar dan dalam.

Belakangan saat Rizki tahu nama akhir dari perempuan itu, Rizki semakin yakin dia memang seorang Jawa. Jangan salah sangka, Rizki tidak rasis. Dia tidak sedang mempertimbangkan soal etnis perempuan itu. Dia hanya membaca bahwa di guratan wajah perempuan itu nampak kesan seorang priayi Jawa. Inilah yang menjadi pertimbangan Rizki. Dia ciut, bak rakyat jelata yang bermimpi bisa berkenalan dengan putri keraton.

Lalu terbayanglah di kepala Rizki cerita-cerita yang berkisah soal rakyat jelata yang bisa menikahi seorang putri, dia ingat film Tangled, Jack the Giant Slayer, dan Aladdin. Entah kenapa cerita semacam itu selalu berujung pada keberuntungan sang rakyat jelata: menikahi putri. Rizki buru-buru menepis khayalannya itu. “Itu kan cuma dongeng.” batin Rizki. “Lagi pula, konsep stratifikasi sosial yang aku pelajari di kelas, mengindikasikan bahwa sangat sulit seorang rakyat jelata untuk bisa menikahi seorang putri."

"Kalau stratifikasi itu ditarik ke masalah popularitas. Dia itu sangat populer, dan aku hanyalah mahasiswa yang tak diperhitungkan. Pintar tidak, ganteng tidak, aktivis juga tidak. Ibaratnya jika fakultas ini suatu hari diserang alien, lalu aku satu-satunya orang yang diculik, orang-orang tak akan sadar bahwa salah seorang mahasiswa FISIP telah hilang. Kehidupan akan berjalan seperti biasa."

Jadi menurut Rizki, dia akan sangat sulit mendekati perempuan itu, bahkan hanya sekedar untuk menjadi teman. Pakai teori sosiologi segala lagi. Tapi tahukah? Rizki adalah tipe manusia yang biasa saja seperti kusebut sebelumnya, maka pola pikirnya juga biasa: bahwa seseorang harus mencoba dulu sebelum menyerah. Rizki punya ide, dia akan melacak kegiatan kampus apa saja yang diikuti perempuan itu, dan ia akan ikuti apa saja yang diikuti perempuan itu.

Sialnya, kerendahdirian Rizki memang sejalan dengan apa yang ia dapatkan. Semester kedua dan semester ketiga sebenarnya adalah semester yang dipenuhi mata kuliah wajib fakultas. Jadi, di beberapa mata kuliah fakultas, setiap anak FISIP punya kesempatan sekelas dengan anak-anak jurusan yang berbeda. Rizki yang anak Sosiologi jadi punya kesempatan bertemu perempuan yang kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) itu. Tapi apa? Rizki tak pernah hoki bisa sekelas dengannya.

Selama tiga semester pertama, Rizki berusaha ikut apa saja kegiatan ekstra kampus perempuan itu. Perempuan itu masuk BEM FISIP, Rizki tidak lolos berkas prasyarat. Perempuan itu masuk English Debating Society, boro-boro debat, dia saja masih pakai Google Translate untuk memahami bahan kuliah berbahasa Inggris. Perempuan itu sering duduk mengerjakan tugas kuliah di kedai kopi Starbucks kampus, dia saja harus bawa bekal dari rumah agar bisa menghemat. Perempuan itu dijemput pakai Kijang Innova, Rizki tidak dijemput. Perempuan itu diantar pakai Suzuki Splash, Rizki tidak diantar. Lama-lama Rizki menjadi jelangkung, pulang tak diantar, datang tak dijemput.

Sama sekali tak ada kesempatan itu. Rizki sudah memastikan selamanya mimpi itu akan terus menjadi mimpi. Ibarat perang, dia telah kalah, persenjataan habis dan wilayah sendiri telah dikuasai musuh. Dia balik arah dan memutuskan untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah, pulang, kuliah, pulang) sampai lulus. “Seperti keinginan awalku.”, batin Rizki, menjadi mahasiswa biasa saja.

Semester 6-8

Kehidupan berlanjut. Rizki semakin lincah untuk terbang sebagai kupu-kupu dan perempuan itu telah menjadi icon di FISIP. Jabatan Ketua BEM FISIP diraihnya dan dia adalah perempuan pertama yang menjabat posisi itu. Setelah setahun di BEM FISIP, perempuan itu memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai calon perwakilan mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas, jabatan yang sangat megah karena punya link langsung dengan rektor. Posisi yang layak diraih meski dengan mengorbankan tambahan satu semester dari masa kuliah normal.

Terkadang Rizki teringat dengan perjuangan dia untuk bisa berkenalan dengan sang super star –segala tes masuk organisasi yang dia ikuti dan segala perjuangan dia bertanya sana-sini dan segala perjuangan dia stalking media sosial sampai mampus, tapi itu sudah jauh di belakang dan dia telah hampir melupakan semuanya. Kini Rizki sedang sibuk menyusun skripsi untuk lulus tepat waktu lalu cepat-cepat mencari kerjaan dengan pendapatan yang cukup, menikah dengan orang yang biasa saja, punya anak, lalu hidup biasa saja dan mati sebagai orang yang tidak bermasalah di masyarakat. Dia tidak mau lagi bermimpi yang absurd.

Semester kedelapan, prasyarat Rizki untuk lulus tinggal sembilan SKS. Enam SKS untuk mata kuliah skripsi dan untuk SKS sisanya dia mengambil mata kuliah Sosiologi Politik. Akhir-akhir ini dia suka membaca artikel ilmiah tentang politik karena yang berkuasa di Indonesia sekarang adalah pemerintahan yang unik yang disebut sebagai rezim badut –julukan jelek yang sering dipakai di berbagai produk jurnalistik. Skripsi Rizki pun juga tentang politik.

Rizki melangkah di lorong gedung menuju ruang dimana kelas Sosiologi Politik diadakan. Beberapa menit setelah Rizki masuk kelas, Profesor Dabel datang. Sepuluh menit berlalu, Profesor Dabel menjelaskan apa saja yang akan dipelajari selama satu semester. Dua puluh menit berlalu, Profesor Dabel menjelaskan pendekatan utama sosiologi terhadap politik. Tiga puluh menit berlalu, pintu diketuk. Biasanya memang kalau jam segini office boy akan mengetuk kelas untuk menyerahkan segelas teh hangat kepada pengajar, kadang-kadang disertai kue.

Pintu dibuka oleh Profesor Dabel dan segera wangi teh yang sedap menyelinap ke dalam ruangan kelas, membuat mahasiswa iri. Tapi apa boleh buat, teh hangat itu hanya untuk dosen. Pintu diketuk lagi tiga puluh menit kemudian. “Lah, OB-nya lupa ngasih kue ya hari ini. Alhamdulillah, kebetulan saya belum sempat sarapan.” kata Profesor Dabel berseru. Tapi yang masuk itu bukan hidangan kue, tetapi kembang, kembang FISIP!

Perempuan itu masih memesona, sama saat pertama kali Rizki mengenalnya.

Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

“Maaf Prof, saya terlambat masuk kelas selama lebih tiga puluh menit karena mendadak dipanggil rektor. Saya perwakilan mahasiswa di MWA Universitas. Mohon kiranya pemakluman Prof.”

“Oh, silakan masuk, mantan ketua BEM yang kita banggakan. Saya lupa kalau kelas ini akan diikuti mahasiswa yang terkenal.” kata Profesor Dabel.

“Ah, jangan terlalu begitu Prof, saya justru akan banyak belajar di kelas ini karena di jurusan saya, sosiologi adalah pendekatan yang sangat sedikit digunakan untuk mengkaji fenomena politik internasional. Padahal, bagi saya, sosiologi adalah sebuah pendekatan yang canggih. Terima kasih juga Prof telah berkenan untuk menerima saya di kelas ini.”

“Tentu saja saya akan menerima siapa saja yang ingin belajar apalagi seorang super star kampus.” Prof Dabel memuji lagi. “Baik, silakan duduk dan simak kuliah saya.”

“Oh iya, satu lagi. Kamu tadi ketinggalan materi penting tentang pendekatan utama sosiologi politik. Kamu belajar saja ya sama Rizki yang duduk di belakang itu, dia pintar soal ini karena skripsinya memang tentang sosiologi politik. Kalau kamu tak paham itu, akan sangat sulit mengikuti materi selanjutnya”

Ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya? Sehabis kelas, aku melihat perempuan itu mendekati Rizki dan berbicara dengannya selama kurang lebih empat puluh detik. Sebelum berpisah, perempuan itu mengulurkan ponsel ke Rizki lalu Rizki mengetikkan sesuatu di keypad ponselnya. Dua hari kemudian, aku melihat Rizki dan perempuan yang bernama panggil Indah itu di perpustakaan. Mereka duduk sangat dekat dan Rizki sedang menjelaskan sesuatu menggunakan catatan. Aku ngeri membayangkan Rizki yang mesti berhadapan dengan masa lalu yang susah payah telah ia coba melupakannya.

Satu bulan kemudian, aku melihat mereka di perpustakaan lagi. Kali ini mereka lebih akrab. Kulihat mereka berdua sering tersenyum dan kadang-kadang tertawa pelan. Dua bulan kemudian, aku iseng mencoba mengerjakan skripsi di Starbucks. Ternyata aku bertemu dengan mereka lagi di sana, tapi kali ini buku-buku yang biasanya bersama bersama mereka tidak ada. Mereka hanya bercakap-cakap seperti orang pacaran dengan dua gelas es kopi aren terhidang di atas meja. Setelah itu, aku tidak melihat mereka lagi sampai lulus Setelah skripsiku diterima, aku memutuskan tidak ikut wisuda dan buru-buru pulang ke kampung halaman karena orangtuaku sedang sakit, tidak sempat berpamitan langsung dengan teman-teman Sosiologi.

Kehidupan berlanjut selama enam tahun kemudian. Seperti biasa, setiap pagi sebelum pergi bekerja aku menyempatkan diri untuk sarapan sambil menonton berita di TV. Aku sama sekali tak kaget melihat berita itu. Berita yang menghebohkan seluruh penjuru Indonesia: Ketua Umum Partai Muda Muslim Progresif Indonesia yang sekaligus adalah wakil ketua DPR RI dan model muslimah terkenal menikah dengan seorang guru sosiologi SMA. Ya, situasinya tetap sama, tidak setara. Tapi aku memahami sesuatu dari kisah mereka: bahwa pernikahan bukan tentang siapa yang menikah dengan siapa, tetapi tentang apa yang menyatukan siapa dengan siapa. Mereka telah disatukan oleh hati dan ternyata segala tetek-bengek kelas sosial itu tidak berguna. Terkutuklah seorang laki-laki yang takut dengan perempuan yang lebih hebat!

(Cerpen ini ditulis pada tahun 2020 dan baru diterbitkan di platform ini. Penulis menyadari kualitas cerpen ini biasa saja. Penulis berharap dapat menerbitkan karya yang lebih baik lagi)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image