Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Upik Kamalia

Ujian Bersama Dihapuskan Saja

Eduaksi | Wednesday, 23 Mar 2022, 11:05 WIB

Setiap yang bersekolah nampaknya tidak akan pernah melepaskan diri dari yang namanya ujian. Ujian merupakan salah satu cara untuk melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan selama ini Ujian juga salah satu cara untuk memilih dan meyeleksi yang terunggul dan yang paling menangkap selama belajar.

Sejak dulu keberadaan Ujian Nasional sudah lama mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Banyak yang menuntut agar ujian tersebut ditiadakan saja. Ujian Nasional hanya diajadikan alat politik saja untuk mendapatkan keuntungan bagi seelintir orang. Kita masih ingat persoalan pendistribusian soal dalan UN tahun 2013 yang tidak lain semakin memberikan bukti bahwa UN adalah proyek nasional bernilai milyaran.

Ujian Nasional saat itu seolah menjadi momok yang harus dihadapi dengan berbagai cara. Semua sekolah berupaya keras mensukseskan anak-anaknya di UN dengan memprogramkan belajar ekstra bagi siswa yang akan UN. Akibatnya siswa kelas VII dan XII tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan lain.

Kini kita semua boleh bergembira karena Ujian Nasional telah resmi dihilangkan. Tidak akan ada lagi siswa yang menangis sampai pingsan karena menerima surat ketidaklulusan. Tidak akan ada lagi beredar kunci-kunc jawaban menjelang Ujian Nasional berlangsung.

Ujian Nasional hakekatnya adalah ujian bersama yang menyamaratakan seluruh siswa disemua daerah di Indonesia. Ujian ini tidak memandang sarana yang terbatas, guru yang kurang, materi yang tidak terjangkau. Semua siswa wajib mengikutinya, tanpa terkecuali. Sejatinya ketika pemerintah mengumumkan untuk menghilangkan UN semua kita bernafas lega. Namun kenyataanya masih banyak kabupaten kota di Indonesia yang masih melaksankan ujian bersama baik untuk MID Semester maupun semesternya termasuk ujian akhir sekolahnya.

Terus terang kebijakan melaksanakan ujian bersama tersebut telah menghambat tumbuhnya kreatifitas guru. Guru tidak memiiki kebebasan untuk menilai siswanya. Pembuat soal memang guru mata pelajaran yang tergabung dalam MGMP disuatu kabupaten atau kota tersebut. Namun tetap saja terkadang terasa menjengkelkan karena keberadaan ujian tersebut seolah mendikte guru untuk menyesuaikan diri dengan materi yang ujiankan. Jika guru keluar dari materi tersebut atau ketinggalan mengajarkannya maka siswa akan protes dan menilai guru tidak mampu mengajar. Jika tidak diikuti ujian tersebut, tidak mungkin juga, ujian tersebut telah dibayar dan sekolah tempat bernaung menyetujuinya.

Jika UN dulunya adalah proyek bernilai milyaran rupiah, maka ujian bersama yang diadakan ditingkat kabupaten/kota sepertinya juga menjadi proyek yang diharapkan terus adanya. Bagaimana tidak karena ujian tersebut menuntut semua sekolah harus membayar untuk pembuatan dan memperbanyak soal. Jumlahnya tidak tetap, bergantung pada jumlah anak disuatu sekolah dan harga pasaran kertas. Guru yang membuat soal dibayar dan kepala sekolah yang tergabung dalam MKKS juga menerima dalam jumlah tertentu karena masing-masing kepala sekolah dibagi jobnya dalam proses pembuatan soal tersebut. Jika ujian bersama hilang maka tentunya hilang juga kesempatan untuk mendapatkan cuan dari kegiatan ini.

Pelaksanaan ujian bersama disisi lain juga dimanfaatkan oleh sebagian guru mengajar sebatas materi yang diujiankan saja. Akibatnya pemahaman anak terhadap materi ajar tidak berkembang karena guru juga enggan mengeksplorasi lebih jauh materi yang diajarkan. Menjelang pelaksanaan ujian, maka yang dicari adalah kisi-kisi dan siswa diminta untuk mengerjakan itu saja. Siswa pun demikian, menjelang ujian hal yang ditanyakan adalah kisi-kisi. Jika tidak ada maka guru bersangkutan akan dapat stigma negatif dari siswa. Pola ini telah berlangsung lama dan telah menjadi semacam kebiasaan yang sulit diubah

Tidak hanya itu ujian bersama yang jumlahnya mencapai empat kali dalam satu tahun pelajaran juga menganggu proses belajar disekolah. Guru dan siswa dipaksa untuk mengikuti jalur ujian ini saja. Belum sempat belajar secara maksimal, jadwal ujian sudah datang, guru diminta membuat soal, anak ditinggalkan dengan tugas. Belum lagi jika dalam satu bulan itu tanggal merah banyak, rapat diadakan beberapa kali, tugas luar untuk ini dan itu. Berapa kali guru bisa mendampingi siswa dalam kelas?

Belum lagi jika kita berbicara kualitas soal yang diujikan. Boleh dikatakan jauh dari yang diharapkan. Kesalahan mendasar dalam pembuatan soal masih banyak ditemukan mulai dari cara penulisan, kalimat atau redaksi, sampai soal itu sendiri. Guru dipaksa membuat soal menurut kisi-kisi yang telah disepakati, akibatnya soal terasa dangkal dan kadang asal buat memenuhi tuntutan kisi-kisi. Tidak jarang malah soal tersebut dikopi paste saja dari internet. Lupalah guru dengan pelatihan sebelumnya mengenai pembuatan soal hots.

Ujian bersama oleh sebab itu sudah layak dihilangkan sama sekali. Terlebih jika kurikulum terbaru benar-benar akan diterapkan disemua sekolah. Ujian bersama tidak cocok dengan pembelajaran berdifferensiasi yang dituntut dikurikulum tersebut. Nilai dan ketercapaian belajar siswa tidak bisa diukur hanya dengan ujian tersebut. Wallahualam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image