Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jens Kefas

Sudut Pandang Ujian dari Pelajar

Rembuk | 2024-11-22 13:20:33

Dalam sebuah lembaga pendidikan, kita tentunya akan belajar banyak hal baru untuk menunjang kehidupan di masa depan. Dalam proses belajar, kita pasti akan menghadapi ujian-ujian atau kuis setelah menyelesaikan 1 atau beberapa materi. Ujian yang dikerjakan akan dinilai oleh para guru, lalu diberikan kembali kepada para siswa sebagai bahan evaluasi. Sering kali, hal ini membuat para siswa menjadi khawatir lalu stres ketika akan menghadapi ujian.

Pertama, pelajar memiliki kekhawatiran akan mengecewakan orang tua. Orang tua telah bekerja keras untuk membayar uang sekolah dengan harapan agar anaknya bisa belajar di lingkungan yang terbaik. Kesadaran akan hal tersebut bisa menimbulkan sebuah tekanan dalam diri anak bahwa dirinya harus mengusahakan yang terbaik. Usaha yang terbaik tersebut biasanya dilihat dari nilai yang diperoleh karena yang diserahkan pada orang tua, yaitu rapor, selalu berbentuk nilai. Tekanan bisa menjadi semakin tinggi apabila orang tua menuntut anaknya untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di setiap ujian.

Kedua, pelajar khawatir tidak bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspektasi orang lain, seperti guru dan teman-teman. Hal ini sering terjadi ketika orang-orang melihat performa akademik kita sejauh ini yang selalu konsisten baik. Mereka akan berekspektasi bahwa kita akan mendapatkan nilai yang baik lagi. Apabila kita mendapatkan hasil yang kurang memuaskan atau tidak seperti sebelumnya, mereka akan mempertanyakan bagaimana hal tersebut bisa terjadi secara terus-menerus. Tentu hal tersebut membuat seseorang akan merasakan sebuah tekanan untuk selalu mendapatkan nilai yang bagus dalam setiap ujian.

Ketiga, pelajar khawatir akan masa depannya. Banyak sekolah atau perguruan tinggi yang menekankan pentingnya prestasi akademik dari setiap pelajar. Prestasi akademik akan menentukan diterima atau tidak seorang pelajar tersebut dalam sebuah sekolah atau perguruan tinggi. Tentunya setiap pelajar akan berlomba-lomba untuk diterima dalam sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas. Kompetisi yang tinggi di antara para pelajar akan membuat pelajar semakin khawatir.

Kekhawatiran tersebut bisa menguntungkan dan merugikan kita. Dengan adanya rasa khawatir, seorang pelajar akan termotivasi untuk belajar. Akan tetapi, rasa khawatir yang berlebihan akan menimbulkan stres dan tidak membantu dalam belajar. Stres yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan mental. Berdasarkan data dari media The Mix mengenai keadaan mental anak-anak muda di United Kingdom, 79% kesehatan mental anak-anak muda terganggu karena ujian. Banyak yang mencari alternatif untuk menyalurkan stres tersebut dengan tindakan-tindakan yang ekstrem, seperti melukai diri sendiri. Selain menimbulkan stres dan gangguan pada kesehatan mental, rasa khawatir yang berlebihan dapat menyebabkan pelajar melupakan kesehatannya dan tidak bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya.

Pelajar dapat melupakan kesehatannya apabila terlalu semangat dalam belajar. Tidak sedikit pelajar memutuskan untuk mengorbankan waktu tidurnya demi belajar. Menurut penelitian, rata-rata remaja tidur hanya 6,5 jam di hari sekolah (Yeo et al., 2020). Banyak juga yang mengabaikan rasa kantuknya dan meminum kopi untuk menghilangkan hal tersebut. Tentunya, ini tidak akan berdampak baik bagi kesehatan para pelajar yang seharusnya menjadi penerus bangsa Indonesia ini. Kurang tidur di usia yang masih muda dapat meningkatkan risiko berbagai macam penyakit.

Pelajar juga bisa menjadi seseorang yang individualistik. Kehidupan akademik dan kehidupan sosial seharusnya seimbang. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang lain. Terlalu fokus dalam mengejar nilai bisa membuat kita lupa untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita. Menurut Yeo et al (2020), rata-rata waktu yang dihabiskan remaja untuk mengikuti pelajaran adalah 6,5 jam dan untuk tugas menggunakan 2,87 jam. Waktu bersosialisasi remaja dengan keluarga dan teman-temannya hanya terbatas, yaitu 1,23 dan 0,59 jam secara berurutan. Rendahnya waktu bersosialisasi akan menyebabkan pelajar tidak terbiasa dan menyebabkan seseorang perlahan-lahan menjadi apatis terhadap keadaan di sekitarnya. Sikap apatis inilah yang berbahaya karena menjadikan manusia tidak memiliki perasaan untuk sesamanya.

Untuk mengatasi agar para pelajar tidak mengalami khawatir yang berlebihan, banyak pihak yang harus mulai mengubah diri.

Pihak orang tua diharapkan untuk tidak menuntut anaknya mendapatkan nilai yang memuaskan setiap ujian karena hal tersebut bisa menjadi beban dan stres bagi anak. Melainkan, tunjukkan dukungan kepada anak dan apresiasi segala hasil yang mereka dapatkan nantinya. Apabila ada nilai yang kurang memuaskan, berikan motivasi agar anak bisa bangkit lagi dan belajar dengan lebih giat.

Pihak pelajar juga harus mengubah kebiasaan buruk. Kegagalan adalah hal yang normal dan akan sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita gagal sekarang, bukan berarti kehidupan kita di masa depan akan gagal juga. Kita harus menerima dan belajar dari kegagalan yang kita alami. Dari kegagalan, kita bisa belajar bagaimana cara kita untuk berkembang menjadi lebih baik lagi dan mengetahui letak-letak kesalahan kita. Sebagai pelajar, jangan selalu merasa harus memenuhi ekspektasi orang lain karena hal itu akan membuat kita sengsara. Perlu diingat bahwa belajar jangan dipaksakan dan selalu mengingat waktu untuk istirahat. Belajar yang dipaksakan tidak akan membawa keuntungan apa-apa bagi kita.

Daftar Pustaka

Pinks, T. (2024) 4 Out of 5 Young People Say Exams Harm Their Mental Health. Available at: https://www.themix.org.uk/news-and-research/news/4-out-of-5-young-people-say-exams-harm-their-mental-health-the-mix-reveals#:~:text=The%20Mix%2C%20the%20UK%E2%80%99s%20leading%20digital%20charity%20for,as%20coping%20mechanisms%20in%20dealing%20with%20exam%20stress. [Accessed 24 October 2024]

Yeo, S. et al. (2020) ‘Associations of time spent on homework or studying with nocturnal sleep behavior and depression symptoms in adolescents from Singapore’, Sleep Health, 6(6), pp.758-766. doi:https://doi.org/10.1016/j.sleh.2020.04.011

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image