Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mugniar

Denial Bukanlah Cara Bertahan

Curhat | Tuesday, 22 Mar 2022, 14:52 WIB

“Coba bilang, adakah orang yang kena covid meninggal di rumah? Pasti tidak ada, toh? Karena ini bisa-bisanya pemerintah!” seorang anak SMP kelas 9, teman sekelas putri saya mengatakannya di grup kelas.

Saat itu, di awal bulan lalu, putri saya tengah terjangkiti covid-19 sehingga kami meminta izin agar dia bisa libur dari sekolah offline. Saya khawatir, banyak anak dan guru yang sakit secara bergantian. Dalam sehari bisa 2-3 anak sakit. Menurut saya kondisi seperti ini tak wajar untuk sekolah tatap muka tetap buka.

Putri saya sudah merasa tidak enak badan sejak 2 pekan lalu. Dia pernah 2 hari tak sekolah karena demam. Pekan depannya dia merasa mual-mual dan muntah. Lalu berulang lagi di pekan berikutnya dan tiba-tiba dia demam.

Saya memutuskan untuk membawanya tes PCR. Qadarullah, hasilnya positif. Akhirnya kami berlima – saya, suami, dan dua anak kami yang lain juga sakit dengan gejala yang sama: demam, sakit tenggorokan, dan terancam batuk-batuk. Bersyukurnya, sampai kami semua sembuh, hanya anak sulung yang mengalami batuk-batuk tapi tidak lama. Batuk merupakan penyakit yang saya paling hindari dari kesemua gejala covid ini karena kalau sampai batuk, biasanya saya lama baru sembuh.

Kembali ke perkataan teman sekelasnya, saat itu putri saya menjawabnya, “Ada. Kakek dan nenekku!” Temannya membalas, “Bodo’!”

Yah, mari dimaklumi saja reaksi itu keluar dari seorang anak kelas 9 yang memang belum dewasa meskipun kawannya sendiri memberikan testimoni. Wajar jika dia demikian, bisa jadi ada pengaruh dari orang dewasa di lingkungannya pula.

Benar halnya, ibu dan ayah saya meninggal dunia setelah mengidap covid dalam usia 78 dan 81 tahun. Bukan hal yang mudah bagi kami melalui ujian tersebut dengan segala daya dan upaya, tentunya dengan memohon kepada Allah SWT karena kami semua sempat terpapar juga di tahun 2021 itu. Kalau dihitung-hitung, saya sudah S3 covid (sudah kena 3 kali).

Ceritanya panjang hingga akhirnya keduanya meninggal dunia di rumah, hanya selang dua hari pada bulan September 2021. Saya tak akan menceritakan di sini karena bakal panjang sekali jadinya. Satu hal yang saya garis bawahi bahwa denial atau penyangkalan bukanlah cara bertahan.

Saya sampaikan pula pada putri saya bahwa untuk menghadapi sesuatu, kita harus tahu apa yang harus dihadapi, apa musuh di hadapan kita dan bagaimana kekuatannya. Ketika terkena covid, jangan denial karena penyakit ini tak bisa dihadapi hanya seperti menghadapi flu biasa. Segala upaya dilakukan semaksimal mungkin. Ya obat, ya suplemen atau vitamin harus tersedia dan dikonsumsi.

Sewaktu kena covid pertama kali, saya belum vaksin karena memang masih menunggu jadwal yang pas. Tak lama setelah masa pemulihan (belum benar-benar fit), saya kembali diserang varian delta bersamaan dengan kedua orang tua saya. Waktu itu kami baru bepergian ke acara keluarga. Sebenarnya saya tak hendak menghadirinya namun demi menghormati ibunda yang ingin sekali pergi, saya pun menemani ke sana. Qadarullah, kami terjangkiti pasca 10 hari dari sana.

Namanya jalan hidup sudah demikian takdirnya, ya, kami ikhlas menerima kepergian kedua orang tua. Keduanya dimakamkan secara prosedur covid namun tetap dengan persaksian anak, menantu, dan cucu keduanya. Anak, menantu, dan cucu masih memandikan keduanya di tempat pemulasaran jenazah dengan mengenakan hazmat. Kami pun menyaksikan sendiri prosesi penguburannya.

Singkat cerita, saya, suami dan ketiga anak kami akhirnya menjalani dosis lengkap vaksin sampai covid (yang kemungkinan varian omikron) menghampiri kami. Saya yang sempat merasakan betapa tidak enaknya sakit terdahulu sebelum divaksin, kali ini merasa jauh lebih beruntung karena merasakan gejala yang ringan. Demam hanya sebentar, tidak sampai satu hari, ada pegal-pegal otot, dan beringus. Alhamdulillah, dengan cepat kami semua bisa fit kembali.

Sekarang anak-anak sudah menjalani sekolah tatap muka kembali. Anak sulung sudah menjalani vaksin booster. Tinggal saya dan suami yang belum, menunggu masa 6 bulan sejak vaksin dosis kedua kami dapatkan.

Denial alias penyangkalan merupakan kondisi di mana orang mengabaikan fakta di depan mata, khususnya jika situasi tak sesuai yang dia harapkan. Ini bentuk pertahanan diri namun juga berarti keengganan mengakui sedang menghadapi sesuatu buruk.

Menurut ngana ada manfaatnya membiarkan denial berkelanjutan, terlebih dalam menghadapi sesuatu yang berat? No. Menurut kita, tidak!

Suami saya adalah seseorang yang tak bisa mengonsumsi obat berbahan kimia. Sudah beberapa kali kejadian, obat kimia menyebabkan tubuhnya bengkak. Maka ketika mendapat ujian sakit, kami harus mencari suplemen berbahan alami untuk menjadi obat baginya.

Kedengaran tak masuk akal? Mungkin bagi ngana, tidak bagi kita yang menjalani selama hampir 23 tahun mendampingi suami. Tahun lalu saat terkena covid, efeknya sampai ke otak yang menyebabkannya seperti kena brain fog. Untuk kesekian kalinya, Allah menolong kami dengan perantaraan aneka suplemen berbahan alami tanpa obat kimia beserta access bars dan tindakan lain yang kami terapkan.

Lagi-lagi, denial sama sekali bukan solusi, termasuk dalam menghadapi pandemi. Terima kenyataan, kawan! Mau tak mau situasi ini tetap harus dihadapi dengan proporsional, jika tak bisa dihindari. Jangan lupakan prokes, vaksin dosis lengkap, dan booster. Ngomong-ngomong, ngoni sudah pada vaksin, kan?

Makassar, 22 Maret 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image