Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fahmi Zamzani

Buruknya Tata Kelola Minyak, Siapa yang Menderita?

Politik | Sunday, 20 Mar 2022, 10:49 WIB
Money Kompas.com

Kasus kelangkaan minyak goreng yang terjadi di dalam negeri sejak beberapa waktu terakhir ini telah menjadi perhatian berbagai pihak. Terlebih lagi, Indonesia merupakan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, maka menjadi suatu hal yang aneh sekaligus ironi ketika penghasil CPO terbesar dunia justru mengalami kelangkaan minyak goreng seperti yang terjadi saat ini.

Terkait kondisi kelangkaan ini, pemerintah tentu mengeluarkan segudang alasan. Mulai dari naiknya harga CPO di pasar global hingga meningkatnya lonjakan kebutuhan CPO. Namun persoalan tersebut dianggap sebagai problem klise yang sebenarnya sudah dapat diprediksi, bukan malah menjadi situasi yang mempersulit masyarakat. Karena tak adanya langkah antisipatif yang tepat, kondisi semakin amburadul. Masyarakatlah yang harus menanggung kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di pasaran.

Kondisi kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini merupakan sebuah ironi dan membuktikan ketidakmampuan pemerintah mengelola dengan tepat bagaimana seharusnya menyikapi berbagai persoalan yang ada, terutama terkait kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng ini. Di tengah situasi ekonomi yang masih belum stabil akibat Covid-19, hal ini sudah tentu menjadi suatu hal yang memberatkan dan mencekik masyarakat, terutama masyarakat ekonomi menengah ke bawah dan para pelaku UMKM yang ada.

Berdasarkan catatan Ombudsman, krisis minyak goreng di Indonesia tercermin dalam tiga fenomena yaitu penimbunan stok minyak goreng, pengalihan barang dari pasar modern ke pasar tradisional, dan munculnya panic buying di tengah masyarakat. Persoalan-persoalan semacam ini belum bisa dimanaje dengan baik oleh pemerintah, terutama persoalan penimbunan. Ditengah kelangkaan ini, tentu ada mafia-mafia minyak yang menjadikannya sebagai momentum untuk mengambil keuntungan yang lebih besar dari hasil penjualan akibat dari kelangkaan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian lebih bagi pemerintah, bagaimana pemerintah mampu mengambil langkah untuk menemukan para mafia yang tidak bertanggungjawab.

Sejumlah upaya memang telah dilakukan pemerintah. Mulai dari subsidi harga minyak goreng, hingga ke pembatasan keran ekspor melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan penerapan Domestic Price Obligation (DPO). Namun, kebijakan ini justru kian membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka.Kebijakan subsidi harga yang diterapkan pada kenyataannya gagal karena tak tepat sasaran. Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% nya adalah minyak curah, tapi kebijakan yang dilakukan justru subsidi pada minyak kemasan. Artinya kebijakan yang diambil tak nyambung.

Ada dua catatan serius dari kegagalan intervensi yg dilakukan pemerintah dalam penanganan krisis minyak goreng. Pertama, penanganan yang dilakukan pemerintah berangkat dari diagnosa permasalahan yg keliru.

Melalui kebijakan DMO, misalnya, pemerintah sedang menekan volume ekspor CPO. Harapannya, pasokan CPO domestic meningkat. Namun, yang terjadi adalah alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng, tetapi justru untuk bahan baku biodiesel yang harga jualnya mendapat subsidi sebesar US$85/ton dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Sementara untuk bahan baku minyak goreng, produsen CPO harus menjualnya dengan harga domestik, karena tak adanya subsidi dari BPDPKS. Di sinilah persoalan dari masalah kelangkaan ini. Meskipun ketersediaan stok CPO domestik meningkat, namun regulasi domestiknya tidak bersahabat bagi CPO yang diperutukkan sebagai bahan baku minyak goreng. Akibatnya minyak goreng tetap langka di pasaran.

Padahal, dilihat dari sisi ekspor pun sebenarnya tidak ada lonjakan volume. Meskipun harga CPO di pasar internasional sedang tinggi, tetapi peningkatan ekspor 2020-2021 ternyata tak signifikan, hanya sebesar 0,2 juta ton. Sehingga, kita sebenarnya perlu waspada dengan kebijakan DPO ini. Penerapan kebijakan DPO yg tak terkendali dan tanpa diiringi pengawasan di tata kelola domestik, dapat menjadi backfire bagi petani kelapa sawit.

Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian tandan buah segar (TBS) ke petani. Ketika harga CPO melambung saja petani sawit tak dapat ikut merasakan kenaikan keuntungan, apalagi ketika harganya dibatasi. Petani sawit sudah pasti semakin tertekan. Berlarut-larutnya permasalahan ini membuktikan bukan saja betapa buruk dan lambatnya penanganan pemerintah, tapi juga cermin ketidakpekaan terhadap kesulitan masyarakat yang telah tercekik di tengah krisis Pandemi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image