Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Gaduh Soal Azan

Agama | Thursday, 17 Mar 2022, 10:38 WIB

Oleh: Dhevy Hakim

Publik kembali dibuat gaduh dengan pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil yang memberikan perumpaan suara azan dengan memakai toa dengan gonggongan anjing. Pernyataan tersebut terucap saat Pak Menteri Yaqut saat diwawancarai oleh salah satu media di Pekanbaru Riau mengenai Surat Edaran (SE) Nomor 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. (23/2)

“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,” kata Menag Yaqut.

Pernyataan Kemenag tentu melukai kaum muslimin, tidak layak ada pernyataan seperti itu. Azan sebagai panggilan untuk melaksanakan kewajiban salat lima waktu pastilah dikumandangkan dengan keras. Namun, alunan azan yang indah bahkan mampu menggetarkan hati bagi siapa saja yang mau mendengarkan dan meresapi sungguh bukan suara yang mengganggu. Tidak bisa dibayangkan jika suara azan dibatasi suaranya, rasanya akan sepi dan hambar.

Semestinya hal seperti ini yang sudah berjalan baik di masyarakat tidak perlu diatur sedemikian rupa. Banyak persoalan yang lebih penting sejatinya yang semestinya diurusi oleh Pak Menteri Agama.

Sayangnya, alih-alih meminta maaf justru terkesan melakukan pembelaan diri. Melalui sekretaris Menteri Agama Thobib Al Asyhar mengklarifikasi pernyataan Pak Menag Yaqut. Thobib menilai Yaqut saat itu hanya sekadar mencontohkan bahwa suara yang terlalu keras apalagi muncul secara bersamaan di masjid/musala, bisa menimbulkan kebisingan dan dapat mengganggu masyarakat sekitar.

“Dalam penjelasan itu, Gus Menteri memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya, makanya beliau menyebut kata ‘misal’. Yang dimaksud Gus Yaqut adalah misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara,” kata Thobib.

Ya, penduduk yang heterogen memang benar butuh yang namanya toleransi. Akan tetapi tidak boleh juga sedikit-sedikit berdalih toleransi. Dalam hal ini tentu saja toleransi yang sesuai dengan batsan yang ada, bukan toleransi yang kebablasan dan digebyah uyah.

Cukup mempersilahkan penduduk agama lain tanpa mengusik keyakinannya adalah bentuk toleransi. Dalam hal ini, sungguh Islam telah jelas mengaturnya. ‘lakum dinukum waliyadin’. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Sudah lama Indonesia bahkan Nusantara hidup berdampingan dengan beraneka ragam agama, suku, ras dsb. Hidup terasa harmoni, dengan adanya seperti ini justru yang menyulut adanya persoalan.

Semoga ke depan tidak ada kegaduhan lagi. Islam sebagai agama yang diturunkan dengan membawa rahmat untuk semesta alam juga sudah terbukti 13 abad lamanya mampu membawa pada kehidupan sejahtera dan berkah. Jangan lagi tuding Islam dengan cap intoleran ataupun radikal.

Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image