Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfi Mursyidah

Asas Kredibilitas Pendidikan Moral Sosial pada Zaman Milenial Melalui Cerita Kabsyah binti Rafi Radh

Agama | Wednesday, 16 Mar 2022, 17:21 WIB
Sumber: foto dakwah.com

Perkembangan perilaku sosial anak pada zaman milenial sungguh membuat para orang tua mengelus dada. Banyak di antara mereka mendapati beberapa perilaku anak yang tidak pantas untuk dilakukan atau bahkan tidak selayaknya sikap tersebut ada pada diri sang anak. Sebagian dari sikap-sikap tersebut seperti, kurangnya adab dan sopan santun terhadap orang tua, tidak adanya pengaplikasian nilai-nilai keislaman, dan beberapa hal sederhana lainnya yang penting untuk diperhatikan. Perilaku-perilaku tersebut kian lama menjadi hal yang dilumrahkan oleh beberapa golongan dengan berbagai alasan yang membenarkan perilaku tersebut. Seperti halnya zaman yang terus bergerak, maka perilaku tersebut dianggap pantas dan bukan lagi dipandang sebuah masalah sosial yang harus dan layak untuk diluruskan.

Melihat dari perkembangan zaman yang sangat instan, tentu ada beberapa dampak baik dan juga dampak buruk yang menyertai kemajuan zaman milenial serba mudah ini. Jika sekarang kita mampu dengan mudah mengkaji segala ilmu melalui wasilah kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), maka kemerosotan moral dan tingkah laku sosial adalah salah satu kelemahan dari kehadiran IPTEK tersebut. Berawal dari rasa ingin tahu pada anak, dia akan mulai mencoba mencari jawaban dengan berbagai cara sehingga anak mulai mengetahui hal-hal yang belum seharusnya untuk diketahui. Diiringi dengan ketidaksiapan mental dalam menyaring informasi, anak akan semakin tidak terkendali dan mengikuti apa saja yang dia temui dalam dunia teknologinya tanpa memikirkan apakah perbuatan tersebut layak untuk dilakukan oleh seorang muslim sepertinya. Hal tersebut dapat diperparah dengan kurangnya perhatian dan kewaspadaan orang tua terhadap segala aktivitas dan perilaku anak. Diakibatkan sibuknya orang tua dalam mencari nafkah dan berbagai alasan lainnya. Maka anak akan merasa bahwa setiap tindakan yang dia lakukan sah saja hukumnya, dengan begitu karakter moralitas anak muslim akan terkikis dan hilang seiring berjalannya waktu.

Melihat dari problematika di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor dari hilangnya kredibilitas moral anak bangsa adalah kurangnya perhatian dari segi orang tua. Maka orang tua adalah asas dan tonggak dari sebuah perubahan bangsa. Islam sebagai agama yang telah mengatur linear kehidupan pun sudah menjelaskan secara rinci mengenai pembentukan kredibilitas moral pada anak. Memberikan teladan-teladan yang dapat diikuti dan dicontoh oleh umatnya sebagai pembelajaran bagi yang menginginkannya. Maka sudah selayaknya bagi kita sebagai umat muslim untuk kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits sebagai rujukan dalam setiap linear kehidupan kita, tak terkecuali pada metode pendidikan pembentukan kredibilitas moral anak pada zaman modern. Karena Islam diciptakan tidak mengenal waktu, ruang, dan masa.

Dalam Islam, pendidikan anak sejatinya dimulai sejak memilih jodoh. Sebab, dari rahim sang ibulah anak lahir, dan dari pendidikan ibu pulalah anak akan mulai belajar untuk pertama kalinya. Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menasehati para pemuda untuk memilih istri atas dasar agamanya, “fadhhar bidzaatid diin, taribat yadaak: pilihlah wanita yang baik agamanya agar kalian beruntung”. Keberuntungan di sini bukan hanya soal rumah tangga mereka, cinta kasih mereka, kehidupan pernikahan mereka, tetapi juga keturunan mereka kelak.

Dari hadits di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ibu adalah tonggak utama kredibilitas moral pada anak. Bagaimana akhlak dan tarbiyah dari seorang ibulah anak akan menjalani kehidupan, mengenal hakikat dunia dan tujuan utama seorang manusia di muka bumi ini. Maka untuk membenahi kredibilitas moral seorang anak di zaman modernpun tidak akan lepas dari peran seorang ibu. Berbicara mengenai seorang ibu yang sukses dalam mendidik buah hatinya, maka marilah kita menengok sejenak sepenggal cerita dari salah seorang shahabiyah yang tulus hatinya, suci niatnya, penuh berkah hidupnya, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan rumahnya bersinarkan cahaya keberkahan dari Sang Khaliq. Beliau adalah Kabsyah binti Rafi bin Ubaid bin al-Abjur (Khadrah) bin ‘Auf bin Al Khazrajal Anshariyahal Khadariyah radhiyallahu ‘anha. Ibunda dari salah satu sahabat terkemuka, Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu yang ditunjuk Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam sebagai pembawa bendera kaum Anshar dalam perang Badar dan merupakan salah seorang anggota majelis syuro dalam perang tersebut.

Suami Kabsyah radhiyallahu ‘anhu adalah Mu’adz bin Nu’man radhiyallahu ‘anhu berasal dari keluarga Bani Abdul Asyhal. Dari pernikahan tersebut mereka dianugrahi beberapa putra dan putri; Sa’ad bin Mu’adz, ‘Amr bin Mu’adz, Iyas, ‘Aus. ‘Aqrab dan Ummu Hizam radhiyallahu ‘anhum. Kabsyah radhiyallahu ‘anha masuk Islam melalui uluran tangan anaknya, Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu yang masuk islam lantaran Mush’ab bin Umair yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam untuk berdakwah di Madinah Al Munawwarah. Beliau sangat berbahagia karena rumahnya menjadi pusat perkembangan Islam di Madinah sehingga Ia mampu memberikan andil yang besar pada perjuangan dakwah umat muslim.

Kabsyah radhiyallahu ‘anha mendidik anak-anaknya dengan keberanian yang kokoh hingga ia merelakan kedua putranya sebagai perwira yang gugur agar mendapat balasan surga. Beliau selalu bersemangat dalam mendorong anak-anaknya untuk memperdalam ilmu agama, melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari musuh, dan tidak ingin anak-anaknya tertinggal barang sejenakpun dari jihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mendidik anak-anaknya dengan kesucian hati dan menghiasinya dengan nilai-nilai keislaman demi mengharap ridho Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tercapailah cita-citanya tersebut berupa kesyahidan anak-anaknya dalam medan perang.

Di medan Uhud, Kabsyah radhiyallahu ‘anha mendapati kabar bahwa putranya Amr bin Muadz radhiyallahu ‘anhu telah gugur sebagai syahid. Namun Kabsyah radhiyallahu ‘anha tetap memastikan keselamatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia berharap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selamat. Maka ketika Kabsyah radhiyallahu ‘anha mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan baik-baik saja, ia bertahmid memuji Allah subhanahu wa ta’ala, dan berkata. ” Setelah melihatmu selamat, maka musibah apapun yang aku terima terasa ringan.” Mendengar ucapan Kabsyah binti Rafi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan belasungkawa atas gugurnya Amr bin Muadz radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan keluarga orang-orang yang gugur di medan Uhud, lalu bersabda, “Hai Ummu Sa’ad, berbahagialah dan sampaikan kabar gembira kepada keluarga mereka. Bahwa semua orang yang gugur itu sedang masuk surga secara beriring-iringan. Dan keluarga yang ditinggalkan akan mendapat syafaat.” Kabsyah berkata, “Kami rela, ya Rasulullah. Siapa yang akan menangisi (sedih) mereka setelah ini. Doakanlah ya Rasulullah, untuk orang-orang yang ditinggalkan.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, hilangkanlah kesedihan hati mereka, lenyapkanlah musibah mereka, dan berikanlah ganti yang baik kepada mereka yang ditinggalkan.”

Pada Perang Khandaq, Ibnu Ishaq meriwayatkan, ” Aku diberitahu oleh Abu Ya’la Abdullah bin Sahal bahwa ketika terjadi Perang Khandaq, Aisyah ditempatkan di benteng Bani Haritsah bersama Ummu Saad. Tiba-tiba Sa’ad bin Muadz lewat dekat tempat tersebut. Ia memakai baju besi yang tidak sempurna, sehingga seluruh sikunya terlihat dengan jelas. Ia berjalan dengan membawa pisau panjang sambil melantunkan syair, “Nantikan sejenak, menyusul gemuruh Hamal (seorang pemberani “Betapa indahnya kematian, ketika datang ajal.” Ummu Sa’adpun menegurnya, “Susullah wahai putraku, engkau telah terlambat.” Kemudian Aisyah berkata, “Wahai Ummu Sa’ad, tidak inginkah engkau baju besi Sa’ad lebih sempurna dengan yang ia pakai?” Akhirnya yang dikhawatirkan Sa’ad oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anhaa, menjadi kenyataan, Sa’ad bin Muadz terkena bidikan panah. Orang yang memanahnya berkata, “Ambillah (panahku)! Aku adalah Ibnu Al-‘Araqah.” Sa’ad pun menjawab, “Semoga Allah mengucurkan keringat wajahmu di neraka.” Akibat luka panah tersebut, akhirnya Sa’ad bin Muadz gugur syahid. Dan kematiannya, membuat singgasana Allah berguncang hebat. Setelah ia memutuskan hukuman yang tepat untuk Bani Quraidzah yang telah mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam.

Kesyahidan Sa’ad bin Muadz mendapat perhatian luar biasa dari Allah. Kematiannya sampai mengguncang Arsy Allah. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hamba shalih yang (kematiannya) telah mengguncang Arsy, membuat pintu-pintu langit terbuka, dan 70 ribu malaikat hadir mengiringinya. Padahal, mereka belum pernah turun ke bumi seperti ini sebelumnya, merasa kesempitan kemudian Allah memberinya keleluasaan. Hamba shalih yang dimaksud adalah Sa’ad bin Muadz.” (Hadits Riwayat Bukhari Muslim). Walaupun kesyahidan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu sudah dijamin oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun Kabsyah tetap bersedih kehilangan putranya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di rumah Sa’ad bin Mu’adz mendengar tangisan Ummu Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap perempuan berdusta dengan tangisnya, kecuali Ummu Sa’ad.” Kemudian jasad Sa’ad dibawa keluar. Orang-orang yang mengangkatnya berkata, “Wahai Rasulullah kami tidak pernah mengangkat jenazah seringan ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bagaimana tidak ringan, malaikat telah turun ke bumi begini dan begini. Mereka belum pernah turun dengan cara seperti ini sebelumnya. Dan mereka ikut memikul jenazah bersama kalian.” Dari riwayat ini jelaslah kaum Muslimin bersama 70 ribu malaikat ikut mengangkat jasad Sa’ad sampai ke liang lahat. Demikianlah dukungan, keteguhan, dan keberanian seorang ibu yang sungguh luar biasa. Tegar dan sabar ketika menghadapi putra -putranya gugur di medan perang. Baginya, hidup atau mati dalam perjuangan Islam adalah persembahan terbaiknya. Hanya satu harapannya adalah keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikianlah sepenggal kisah seorang shahabiyah Rasulullah yang sukses mendidik anak-anaknya sehingga meraih balasan surga-Nya. Sudah sepatutnya bagi perempuan untuk selalu mengambil pelajaran darinya berupa ilmu parenting sehingga lahir dari rahimnya kelak mujahid-mujahid Allah yang siap berjuang di medan dakwah. Sudah selayaknya bagi para wanita untuk memperbaiki diri sebaik mungkin. Karena dari rahim wanita berhati jernihlah akan lahir Sa’ad bin Muadz pada zaman sekarang. Seperti halnya Kabsyah yang mensucikan hati dan jiwanya dengan memeluk islam, menghadirkan ridho Allah dalam setiap perbuatannya, karena sejatinya seorang ibu adalah teladan terbaik bagi anak-anaknya kelak.

Belajar dari kisah mulia Kabsyah binti Rafi, kita dapat mengambil beberapa parenting skill yang dapat diterapkan pada zaman modern ini untuk meningkatkan kredibilitas moral anak-anak generasi milenial. Sa’ad Riyadh dalam bukunya yang berjudul aabaaa’ wal abnaa’ mengatakan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak adalah menanamkan dalam hati betapa pentingnya parenting skill yang sesuai dengan kondisi anak. Sehingga wajib bagi pendidik untuk menyiapkan mental, jiwa, raga, akal, sosial, dan berbagai segi kehidupan hingga setiap pendidik merasakan bahwa dia memiliki peran yang penting dalam pembentukan kualitas moral anak-anaknya kelak. Pentingnya kesiapan pendidik dari segala sisi tersebut akan berbanding lurus dengan kemampuan pendidik dalam memberikan teladan bagi buah hatinya. Karena dengan tarbiyah yang baiklah kita dapat mengubah generasi mendatang. Seperti kata pepatah: “Jika Kau ingin merusak dunia, maka rusaklah wanita-wanitanya terlebih dahulu”.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa dibalik laki-laki yang hebat atau seseorang yang hebat terdapat wanita yang hebat pula. Yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan usahanya untuk kemashlahatan umat. Maka, berdakwah tidaklah harus tampak oleh mata manusia, karena pada dasarnya akarlah yang menopang pohon untuk tetap berdiri kokoh dan menjulang lebat. Dari perhatian dan kasih sayang perempuanlah pemimpin-pemimpin bangsa lahir, dokter-dokter profesional bertaruh menyelamatkan nyawa pasien, dosen-dosen hebat dengan segudang prestasi dan pengalamannya, maka wanita adalah asas dakwah, wanita adalah asas perubahan generasi. Jika wanita dalam sebuah generasi rusak, maka rusaklah generasi tersebut. Lalu bagaimanakah keadaan generasi zaman sekarang? Apakah para wanita sudah melaksanakan perannya dalam membentuk generasi terbaik? Tidak perlu jawaban yang keluar dari lisan kita, cukup intropeksi diri terhadap apa yang sudah kita sumbangkan bagi generasi kita untuk meningkatkan kredibilitas moral anak bangsa nantinya. Jangan bertanya mengapa pemimpin tidak menunaikan amanahnya dengan baik, tetapi bertanyalah sejauh mana persiapan kita sebagai wanita dalam menunaikan peran pendidikan moral pada generasi sekarang dan masa yang akan mendatang.

Referensi:

Riyadh, Sa’ad. (2008). Aabaa’ wal Abnaa’ Majmuu’uhu Muwaaqaf Tarbiyah Tuattsir fii Syakhshiyyati Thiflika. Mesir: Ibdaa’ lil I’laam wan Nasyr.

https://chanelmuslim.com/kisah/kabsyah-binti-rafi-ibunda-pemuka-anshar diakses pada hari Rabu, 02 Maret 2022 Pukul 17:00 WIB.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image