Belajar Mengajar Lewat Buku Belajar Dari Finlandia
Guru Menulis | 2022-03-14 11:47:47Sudah sebulan semenjak semester baru. Siswa sudah mulai masuk sekolah mesti pembelajaran berjalan tidak seperti dulu. Maklum, status pandemi membuat ranah pendidikan kocar-kacir. Sebagai guru, apapun yang terjadi harus siap untuk tetap mengajar di berbagai kondisi. Termasuk dalam mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran.
Pada saat itu, saya mulai teringat dengan sebuah buku tentang penyelenggaraan pembelajaran di sebuah negara. Negara yang pada awal tahun 2000-an menyentakkan dunia dengan menjadi negara dengan kualitas pendidikan terbaik; mengalahkan negara maju seperti Amerika, Jepang, atau Inggris. Ya, negara itu Finlandia.
Buku tersebut berjudul Teach Like Finland, atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Mengajar Seperti Orang Finlandia. Terbit pertama kali pada tahun 2017. Mungkin banyak orang penasaran, kok bisa negeri kecil di kawasan Skandinavia itu mengangkangi kedigdayaan Amerika atau negara maju lainnya. Saya pun penasaran sehingga ikut berburu buku tersebut.
Penulis buku ini, Timothy D. Walker, seorang guru yang berasal dari Amerika Serikat yang pindah dan mengajar di sekolah dasar di Helsinki, Finlandia . Latar belakang penulis tersebut membuat buku ini sangat menarik. Selain sudut pandang praktisi pendidikan, Tim punya perspektif dua model pengajaran; model Amerika dan model Finlandia.
Perbandingan model pembelajaran di Amerika dan Finlandia muncul dalam buku ini. Dengan begitu, buku ini jadi sebuah pemaparan yang objektif tentang ‘pisau tajam’ sistem pendidikan di Finlandia. Sehingga menjawab pertanyaan, kenapa Amerika bisa kalah dalam bidang pendidikan.
Di bukunya ini, Tim menuliskan 33 strategi pengajaran yang dipakai di Finlandia. Strategi-strategi tersebut banyak yang menjungkirbalikkan pakem-pakem mengajar mainstream. Itu terlihat secara eksplisit oleh Tim dalam salah satu penggalan tulisannya; “...saya melakukan apa yang selalu dilakukan seorang guru di Amerika: mengisi musim panas dengan melengkapi berkas rencana pembelajaran saya dan menata kelas saya.”
Lalu dilanjutkannya dengan, “Namun di Finlandia, ketika minggu pertama sekolah tiba, saya melihat sesuatu yang ganjil. Banyak rekan kerja Finlandia saya tidak mempersiapkan kelas mereka selama musim panas,” tulisnya. Artinya, secara langsung, Tim bercerita betapa santainya guru Finlandia. Tidak ribet memikirkan dan merancang program pembelajaran untuk masa sekolah berikutnya.
Dalam buku-buku pengajaran, perangkat mengajar merupakan sebuah dokumen yang mesti dipersiapkan oleh guru di awal semester. Untuk memasuki awal musim pembelajaran, atau awal semester, guru harus telah punya rencana-rencana detail tentang apa kegiatan yang akan dilakukan selama satu semester tersebut. Dan Tim bercerita, semua itu hai usang di sekolah-sekolah Finlandia.
Perilaku anti-mainstream dari guru-guru Finlandia tersebut bukan tanpa alasan; atau sekadar malas dan ingin lebih banyak waktu santai. Perilaku tersebut berlandaskan sebuah prinsip menciptakan kenyamanan di sekolah; sehingga awal masa pembelajaran tidak perlu membuat siswa tertekan dengan setumpuk rencana dan tugas pembelajaran. Memulai hal-hal yang sederhana dan lebih fokus pada kegiatan ryhmayttaminen; atau lazim dikenal dengan team building.
Cerita Tim tersebut bukan satu-satunya testimoni tentang bagaimana ‘nyeleneh’-nya sistem pendidikan di Finlandia. Dalam sebuah dokumenter berjudul Where to Invade, Michael Moore juga mendokumentasikan kenyelenehan yang membuat Finlandia mengalahkan Amerika dalam bidang pendidikan; seperti tidak ada PR dan tidak ada ujian. Dua hal yang juga menjungkirbalikan metode-metode pembelajaran mainstream.
Hal tersebut juga secara implisit terangkum dalam cerita Timothy dibukunya ini. Alasan dari Finlandia menghilangkan tugas rumah atau ujian adalah agar anak tidak terbebani. Dan itu menjadi roh dari cerita Tim; sekolah di negeri skandinavia itu berusaha menghindari siswa dari beban. Bukan hanya siswa, guru-guru di negara itu juga sedapat mungkin dihindari dari beban yang menguras energi.
Itu dapat terlihat mulai dari bab pertama; Kesejahteraan. Di situ, Tim bercerita tentang bagaimana sekolah Finlandia memperhatikan kebutuhan istirahat otak siswa dengan menyedia waktu belajar yang pendek. Selain itu, siswa diberi waktu istirahat 5 menit setiap 45 menit pembelajaran. Tim mengaku, jeda pendek setiap 45 menit itu sangat berpengaruh pada semangat siswanya di sesi-sesi pembelajaran.
Bukan hanya memperhatikan siswa, pendidikan Finlandia juga memperhatikan kualitas guru; termasuk kualitas kebahagiaannya. Beban kerja yang tidak menekan guru menjadi atmosfer di lingkungan sekolah. Budaya kerja di bidang pendidikan negeri itu mendorong guru menghindari guru dari tekanan pekerjaan dan kecemasan. Sehingga, hal tersebut dapat menjaga kesehatan mental guru-guru. Dengan begitu, guru yang bahagia dapat menciptakan kelas yang bahagia pula.
Mungkin, akan sangat susah untuk meniru strategi sekolah di Finlandia. Timothy pun mengakui hal tersebut. Butuh kebijakan nasional agar sekolah dan guru dapat melakukan pengelolaan pembelajaran seperti yang dilakukan oleh guru-guru di Finlandia. Namun, bukan tidak mungkin bagi guru untuk menyiasati hal tersebut sembari menunggu kebijakan nasional muncul untuk mendukung.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.