Putin, Zelenskyy dan Polarisasi Nalar Publik
Politik | 2022-03-12 12:53:12Awal tahun 2022, masyarakat Indonesia menikmati suasana kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga kedelai hingga diskursus penundaan pemilu juncto perpanjangan jabatan presiden. Namun sebagai bagian dari warga dunia, berita penyerangan pasukan Rusia terhadap Ukraina tidak luput dari perhatian Indonesia karena media-media lokal dan nasional tak hentinya menyajikan informasi aktual hingga analisis mendalam tentang konflik di Eropa Timur tersebut.
Sebagai mahasiswa Indonesia di Hongaria yang bertetangga dengan Ukraina, saya pun merasakan ketegangan batin sejak awal invasi Rusia ke negara serumpunnya. Setiap hari saya menonton siaran berita lewat Youtube tentang pengerahan pasukan, penyerangan gedung dan fasilitas pemerintah, korban jiwa hingga jutaan pengungsi yang berjuang keluar dari negaranya menuju Polandia, Romania dan Hongaria sebagai tiga negara Uni Eropa yang berbatasan dengan Ukraina.
Awalnya saya berpikir upaya pendudukan Rusia atas Ukraina akan berlangsung sebentar karena melihat perbandingan kekuatan militer kedua negara yang sangat timpang. Namun tak disangka, hingga melewati dua pekan, Ukraina pantang menyerah. Ribuan pasukan Kremlin nampak masih harus berjuang keras menundukkan perlawanan pasukan Ukraina yang didukung oleh mayoritas rakyatnya.
Di tengah berkecamuk pertempuran, mau tak mau, perang propaganda pun terjadi di belahan dunia, termasuk Indonesia. Saya melihat banyak netizen berkomentar dan berdebat hangat tentang siapa pihak yang benar dan pihak yang salah. Pembela Rusia akan mengatakan bahwa Ukraina yang mengancam keamanan negara tetangganya karena ingin bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization), yakni aliansi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Selain itu, pemerintah Ukraina juga melakukan kekejaman dan diskriminasi kepada warganya di Donetsk and Luhansk yang memerdekaan diri dan membuat perjanjian militer dengan Rusia. Dukungan kepada Rusia semakin kuat dengan alasan bahwa jika mendukung Ukraina berarti mendukung Amerika Serikat dan NATO yang seringkali menginvasi dan/atau mengobarkan peperangan di negara-negara mayoritas muslim seperti Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman dan Palestina. Vladimir Putin sudah benar melakukan penyerangan ke negara tetangganya.
Sebaliknya pendukung Ukraina menolak serangan militer ke suatu negara yang berdaulat apapun alasannya. Sejak tahun 1945, hukum internasional, seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melarang penggunaan kekuatan dan juga ancaman penggunaan kekuatan dalam konflik internasional. Rusia wajib menghormati pilihan Ukraina apakah bergabung ke NATO atau tidak. Kremlin tidak boleh memaksakan kehendaknya agar pemerintah Ukraina tunduk kepadanya dengan alasan adanya akar kesejarahan Uni Soviet di masa lalu, apalagi mencaplok integritas wilayah suatu negara. Alasan lainnya, perang mengorbankan jiwa, harta dan keamanan penduduk sipil demi egoisme elit semata. Volodymyr Zelensky telah menunjukkan sikap yang benar dengan melawan invasi negara adidaya ke negaranya.
Nampaknya kita tidak punya pilihan ketiga akibat adanya polarisasi nalar publik yang mendominasi. Jika mendukung kedaulatan dan rakyat Ukraina, maka otomatis kita dicap “antek” Amerika Serikat yang selama ini mendukung Zionisme dan invasi di negara-negara muslim. Sebaliknya, jika mendukung Rusia, kita dianggap membenarkan kekejaman terhadap warga sipil Ukraina yang terbunuh, terpisah dengan keluarganya dan dipaksa untuk mengungsi di negara-negara Eropa.
Akhirul kalam, saya mengajak publik Indonesia agar memahami persoalan konflik dengan jernih tanpa terpolarisasi kepada kedua kubu negara adidaya, Amerika Serikat dan Rusia. Kita wajib berduka cita dan menunjukkan empati kepada warga negara Ukraina tak berdosa yang menjadi korban. Atas dasar kemanusiaan, penyerangan atas jiwa dan harta seseorang tidak dapat dibenarkan. Semoga kedua negara dapat berdamai dan membangun hubungan bertetangga yang baik setelah luka yang cukup mendalam di hati jutaan warga Ukraina.
Hidayatulloh
Mahasiswa Deák Ferenc Doctoral School of Law and Political Sciences, University of Miskolc dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.