Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfaryo Hartanto

Kejujuran Dijual, Etika Ditawar

Hukum | 2025-12-31 12:54:31

Kejujuran hari ini tidak lagi berdiri sebagai nilai yang dijaga, melainkan sebagai pilihan yang dipertimbangkan. Ia dihitung, ditimbang, dan dinegosiasikan sebelum akhirnya diputuskan layak atau tidak untuk disampaikan. Dalam ruang publik yang semakin sibuk menjaga citra dan kepentingan, kebenaran sering kali tidak ditanya apakah ia benar, melainkan apakah ia aman. Di titik inilah kejujuran kehilangan martabatnya.

Ilustrasi : Timbangan keadilan melambangkan proses menimbang nilai, bukan sekedar memutuskan benar atau salah.

Kita hidup di masa ketika kebohongan jarang disampaikan secara telanjang. Ia tidak hadir sebagai penyangkalan kasar, melainkan sebagai kebenaran yang dipotong, disaring, dan dikemas ulang. Fakta tetap disebut, tetapi konteks dihilangkan. Informasi tetap dibuka, tetapi hanya sejauh tidak membahayakan pihak tertentu. Kebohongan modern bekerja bukan dengan menghapus kebenaran, melainkan dengan mengendalikannya.

Situasi ini menciptakan ilusi transparansi. Publik merasa sudah tahu, padahal yang mereka terima hanyalah versi yang telah dijinakkan. Dalam ilusi inilah kejujuran berubah fungsi: bukan lagi alat koreksi, melainkan alat stabilisasi. Kebenaran tidak lagi dipakai untuk memperbaiki keadaan, tetapi untuk meredam kegaduhan.

Di sinilah persoalan etika menjadi krusial. Etika tidak berbicara tentang kecerdikan mengelola narasi, melainkan tentang keberanian menjaga batas. Etika hadir sebagai pengingat bahwa tidak semua yang menguntungkan boleh dilakukan, dan tidak semua yang aman layak dibenarkan. Ketika kebenaran mulai dipilah berdasarkan kepentingan, sesungguhnya yang sedang diuji bukan kemampuan komunikasi, tetapi integritas moral.

Masalahnya, etika sering kali diposisikan sebagai penghalang. Ia dianggap mengganggu efektivitas, memperlambat pengambilan keputusan, dan merusak strategi. Dalam logika semacam ini, kejujuran hanya dihargai sejauh tidak menimbulkan konsekuensi. Begitu kebenaran berpotensi mengguncang stabilitas, ia segera dicap tidak bijak, tidak tepat waktu, atau terlalu idealis.

Cara berpikir ini berbahaya karena menggeser makna etika itu sendiri. Etika tidak lagi dipahami sebagai fondasi, melainkan sebagai aksesori. Ia boleh dipakai ketika situasi memungkinkan, dan boleh dilepas ketika kepentingan menuntut kompromi. Padahal, justru di situlah etika seharusnya berdiri paling tegas saat tekanan datang dan kepentingan mendesak.

Kepentingan menjadi alasan paling populer untuk menawar kejujuran. Demi citra, demi stabilitas, demi kepentingan yang lebih besar alasan-alasan ini terdengar masuk akal, bahkan terkesan rasional. Namun logika ini menyimpan pertanyaan mendasar: siapa yang menentukan kepentingan itu, dan siapa yang harus menanggung akibat dari kebenaran yang disembunyikan?

Jawabannya hampir selalu mengarah pada satu pihak: publik. Ketika kejujuran dikorbankan, masyarakat kehilangan hak dasarnya untuk mengetahui secara utuh. Publik dipaksa membangun opini di atas informasi yang timpang. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga merusak kemampuan publik untuk berpikir kritis.

Yang lebih mengkhawatirkan, pelanggaran etika semacam ini sering kali dinormalisasi. Ia dianggap sebagai bagian dari realitas. Mereka yang mempertanyakan kejujuran justru dicap naif, tidak pragmatis, atau tidak memahami permainan kekuasaan. Dalam iklim seperti ini, integritas berubah menjadi beban, sementara kompromi nilai dianggap sebagai kecerdasan.

Normalisasi inilah yang paling berbahaya. Ketika pelanggaran etika tidak lagi dipermasalahkan, melainkan dibenarkan, maka etika kehilangan daya ikatnya. Ia tetap tertulis, tetap dikutip, tetapi tidak lagi ditaati. Etika hidup di atas kertas, mati di dalam praktik.

Pada titik tertentu, hukum mungkin masih berjalan. Prosedur dipenuhi, aturan dipatuhi, dan tidak ada pasal yang secara eksplisit dilanggar. Namun hukum tanpa etika hanyalah kerangka kosong. Ia bisa mengatur, tetapi tidak selalu adil. Banyak tindakan dapat lolos secara legal, tetapi tetap mencederai rasa keadilan dan kepercayaan publik.

Kejujuran yang terus-menerus ditawar pada akhirnya tidak lagi mampu menyelamatkan apa pun. Ketika kebenaran selalu datang terlambat, ia kehilangan daya korektifnya. Ketika etika selalu dikalahkan oleh kepentingan, ia berhenti menjadi pedoman. Yang tersisa hanyalah kalkulasi untung-rugi tanpa kompas moral.

Dalam kondisi seperti ini, krisis bukan lagi soal satu kasus atau satu kesalahan. Krisisnya bersifat sistemik. Ia menyentuh cara berpikir, cara mengambil keputusan, dan cara memandang publik. Ketika kejujuran diperlakukan sebagai komoditas, maka publik akan terus membayar mahal akibatnya dengan kelelahan sosial, sikap apatis, dan hilangnya kepercayaan terhadap ruang publik.

Kejujuran seharusnya tidak perlu diperjuangkan sebagai keberanian luar biasa. Ia seharusnya menjadi standar paling dasar. Ketika kejujuran harus dinegosiasikan, sesungguhnya kita sedang mengakui bahwa etika telah kehilangan wibawanya. Dan ketika etika kehilangan wibawa, yang tersisa hanyalah kekuasaan yang berjalan tanpa tanggung jawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image