Kemajuan Teknologi dan Hak Warga Negara
Update | 2025-12-26 13:19:04
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu perubahan yang terasa adalah peralihan sistem pembayaran dari tunai ke non-tunai yang kini banyak diterapkan di berbagai usaha mikro dan usaha menengah, tujuannya agar meningkatkan efisien dan praktis dalam transaksi. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua masyarakat berada pada posisi yang sama dalam menghadapi perubahan tersebut.
Masalah ini menjadi perhatian publik ketika beredar sebuah video yang memperlihatkan seorang nenek hendak membeli Roti'O di sebuah gerai, namun tidak dapat melakukan transaksi karena hanya membawa uang tunai. Toko Roti tersebut hanya menerapkan sistem pembayaran non-tunai, sehingga uang tunai yang dimiliki sang nenek tidak dapat digunakan.
Peristiwa tersebut memicu perdebatan karena memperlihatkan seorang nenek yang kesulitan mengakses transaksi akibat kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah kemajuan teknologi, masih terdapat kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya paham atau memiliki akses terhadap sistem digital.
Kondisi tersebut menggambarkan kesenjangan sosial dalam penggunaan teknologi. Digitalisasi seharusnya menjadi cara untuk mempermudah kehidupan masyarakat, bukan justru menciptakan hambatan baru. Apabila kemajuan teknologi diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial yang beragam, maka hak warga negara untuk memperoleh layanan yang layak dapat terabaikan.
Namun, dalam menanggapi masalah tersebut, sangat penting untuk memahami masalah secara menyeluruh dan tidak menyalahkan individu. Pelayan atau staf di lapangan yang pada dasarnya hanya melakukan standard operating procedure (SOP) yang telah ditetapkan oleh pengelola. Mereka berada dalam posisi terbatas dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah kebijakan tersebut.
Dalam perspektif sila ke Dua Pancasila, "kemanusiaan yang adil dan beradab" menuntut masyarakat untuk tidak menyalahkan pelayan. Karena pelayan terikat pada standar operasional prosedur yang berlaku dan memiliki keterbatasan wewenang. Dalam perdebatan ini muncul anggapan bahwa pelayan seharusnya dapat membantu dengan membayarkan transaksi menggunakan metode non-tunai milik pribadi, kemudian pembeli akan penggantinya secara tunai.
Namun, tindakan seperti itu justru berpotensi memunculkan ketidakadilan baru. Ketidakadilan baru muncul ketika solusi atas kebijakan yang bermasalah justru dibebankan kepada individu yang tidak memiliki kewenangan. Membayar terlebih dahulu berpotensi menimbulkan risiko pribadi dan pelanggaran kebijakan. Oleh karena itu, pelayan tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena memilih untuk tetap mematuhi SOP yang berlaku.
Dari sisi kebijakan pun, sesuai dengan sila ke Empat dan ke Lima Pancasila , dari masalah ini mengajarkan kita untuk tetap bermusyawarah dan menerima saran maupun kritik dari masyarakat sebagai bahan evaluasi bagi pihak pengelola agar menciptakan kebijakan yang baru agar mempermudah bagi kelompok tertentu, seperti lansia atau masyarakat yang belum paham dengan teknologi digital dapat merasakan keadilan sosial. Dalam praktik nyata, keadilan sosial dapat diwujudkan melalui kebijakan yang lebih inklusif, misalnya dengan menyediakan pilihan metode pembayaran yang beragam.
Tanpa adanya tindakan perbaikan, kebijakan ini dapat memperbesar ketimpangan sosial. Masyarakat yang memiliki akses teknologi akan lebih mudah dilayani, sementara kelompok lain berisiko terabaikan. Situasi ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi belum sepenuhnya berjalan seiring dengan prinsip keadilan sosial.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah alat, sementara manusia tetap menjadi pusat dari setiap kebijakan tersebut. Dengan menjadikan nilai-nilai pancasila sebagai pedoman moral, kemajuan teknologi dapat diwujudkan secara adil bagi seluruh masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
