Etika Klinis dan Pancasila dalam Pengambilan Keputusan Medis
Pendidikan dan Literasi | 2025-12-25 22:33:20Sebagai mahasiswa kedokteran baru, minggu-minggu pertama saya diisi oleh kekaguman. Kekaguman pada kompleksitas ilmu, pada ketelitian diagnosa, dan pada kode etik profesi yang disumpah dengan khidmat. Semuanya terasa seperti peta suci yang akan membimbing saya menjadi dokter yang baik. Namun, satu momen di ruang Skills Lab mengubah itu semua. Dosen memberikan sebuah skenario sederhana namun menggigit: "Ada dua pasien menunggu di UGD—seorang pengusaha yang datang dengan mobil pribadi dan seorang buruh pabrik yang dibawa teman-temannya. Keduanya menunjukkan gejala serangan jantung yang sama. Kamu sendirian. Apa yang akan kamu lakukan?"
Jawaban dari buku teks etika kedokteran jelas: triage. Prioritas berdasarkan tingkat keparahan medis semata, tanpa memandang latar belakang. Tapi, bisikan di kepala saya lain. Bisikan itu bukan tentang biologi semata, melainkan tentang rasa keadilan, tentang kesetaraan, tentang bagaimana seharusnya seorang manusia memperlakukan manusia lainnya di tanah yang mengaku berpancasila ini. Di situlah saya tersadar: menjadi dokter di Indonesia bukan hanya soal menguasai ilmu biomedis dan berpegang pada etika profesi universal. Ada tugas kenegaraan yang lebih dalam yang melekat pada jas putih ini yakni menjadikan Pancasila sebagai kompas etika tambahan yang paling kontekstual.
Etika kedokteran, sebagaimana diajarkan di kelas, adalah kerangka universal yang mulia. Ia berbicara tentang beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan), autonomy (otonomi pasien), dan justice (keadilan). Namun, prinsip justice dalam buku teks sering kali abstrak. Bagaimana keadilan itu diterjemahkan dalam realitas sosial Indonesia yang sarat ketimpangan? Di sinilah Sila Kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", turun tangan. Ia memberi warna, jiwa, dan tuntutan yang sangat lokal pada prinsip keadilan itu. Ia mengingatkan bahwa keadilan di kamar praktik dokter adalah cerminan mikro dari cita-cita keadilan di republik ini.
Saya mulai melihat bagaimana nilai-nilai Pancasila hadir dalam keputusan kecil sehari-hari yang tidak dibahas di modul. Misalnya, prinsip "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" (Sila Kedua). Ini bukan sekadar tentang bersikap sopan. Ini tentang memastikan bahwa rasa hormat dan perlakuan yang bermartabat itu benar-benar sama untuk semua pasien, terlepas dari bau badan, pakaian lusuh, atau cara bicara yang kasar. Di ruang pemeriksaan, prinsip kemanusiaan ini diuji setiap hari. Apakah kita lebih sabar menerangkan diagnosis pada pasien yang berpendidikan tinggi? Apakah kita tanpa sadar memberikan senyum yang lebih tulus kepada mereka yang terlihat "berada"? Pancasila menuntut kesadaran penuh untuk melawan bias-bias kelas sosial tersebut.
Lalu, bagaimana dengan "Persatuan Indonesia" (Sila Ketiga)? Bagi calon dokter, persatuan ini diuji dalam bentuk empati yang aktif terhadap keragaman. Pasien kita berasal dari seratus lebih suku bangsa, dengan keyakinan, budaya, dan bahasa yang berbeda. Sebuah instruksi medis sederhana bisa gagal total jika tidak disampaikan dengan memperhatikan latar belakang budaya pasien. Memahami preferensi pengobatan tradisional tertentu, atau menyesuaikan jadwal obat dengan waktu ibadah, adalah bentuk konkret dari mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika di ranah kesehatan. Kita bukan hanya merawat organ, tapi juga menghormati identitas.
Pada akhirnya, skenario dosen di Skills Lab tadi adalah pelatihan dasar untuk menjadi "negara dalam jas putih". Setiap keputusan klinis yang kita ambil—dari prioritas pelayanan, pemilihan obat yang terjangkau, hingga cara berkomunikasi—adalah praktik mikro dari kewarganegaraan kita. Jika di ruang kuliah PKN kita belajar teori tentang hak dan kewajiban warga negara, maka di rumah sakit-lah teori itu dipertaruhkan. Dokter yang berpancasila tidak akan pernah bisa merasa nyaman dengan ketidakadilan, sekecil apa pun. Ia akan menjadi sensor alami terhadap sistem yang timpang dan advokat bagi pasien yang termarjinalkan.
Oleh karena itu, kepada para dosen dan pengajar di fakultas kedokteran, saya ingin mengajukan usul: integrasikan refleksi nilai-nilai Pancasila dalam setiap studi kasus etika kedokteran. Jangan biarkan Pancasila hanya menjadi mural di dinding kampus, tapi jadikan ia bahan diskusi aktif di ruang tutorial. Tanyakan kepada kami, mahasiswa, "Di mana letak prinsip Keadilan Sosial dalam kasus ini?" atau "Bagaimana Sila Kemanusiaan memengaruhi pilihan terapi Anda?"
Kepada sesama mahasiswa kedokteran baru, tugas kita memang berat. Kita harus paham anatomi, hafal farmakologi, dan lulus ujian dengan nilai tinggi. Tapi, jangan lupakan "ujian" yang sesungguhnya: mampu menjaga agar hati nurani kebangsaan kita tetap hidup dan tajam di tengah tekanan sistem. Sebab, kelak ketika kita berdiri di depan pasien, kita tidak hanya mewakili profesi dokter, tapi juga, secara tidak langsung, mewakili janji negara ini untuk berkeadilan sosial. Mari jadikan Pancasila sebagai stetoskop untuk mendengarkan detak jantung bangsa yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
1. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta Perubahan I, II, III, dan IV. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2018
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Modul Pelatihan Implementasi Pancasila dan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2021.
3. Beauchamp, Tom L., dan James F. Childress. Principles of Biomedical Ethics. Edisi ke-8. New York: Oxford University Press, 2019. (Dikutip sebagai acuan utama prinsip etika kedokteran: beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice).
4. Soekarno. Lahirnya Pancasila: Pidato "Lahirnya Pancasila" 1 Juni 1945. Cetakan Ulang. Jakarta: BPIP, 2020.
Identitas penyusun
Disusun oleh: Febi Aulia Nurmatika
Mahasiswa Program Studi Kedokteran Umum Universitas Muhammadiyah Surakarta
NIM: J500250056
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
