Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hartono Sri Danan Djoyo

Buruk Wajah, Cermin Jangan Dibelah

Eduaksi | 2025-12-26 09:09:28

Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) nasional yang diumumkan hari ini sejatinya hanyalah satu episode rutin dalam siklus evaluasi pendidikan. Namun kenyataannya, getarannya terasa mengguncang bumi tanah air. TKA hadir seperti cermin retak: memantulkan wajah pendidikan yang selama ini kita poles rapi dengan angka-angka manis. Bukan karena ia terlalu kejam, melainkan karena selama ini kita terlalu “cengeng” pada diri sendiri.

TKA mengejutkan bukan semata karena rendahnya capaian, melainkan juga karena ia menyingkap jurang yang begitu senjang antara nilai yang dihasilkan secara nasional dan nilai rapor buatan guru. Nilai guru yang selama ini tampak tinggi, stabil, dan menenangkan tiba-tiba tersingkap wajah rapuhnya. Dua sistem penilaian, dua cerita kebenaran. Yang satu dingin dan objektif, yang lain hangat tetapi ringkih. TKA berbasis alat ukur yang relatif jujur, sedangkan rapor guru sering kali terjebak dalam ketenangan administratif. Di sela jurang itulah kita menemukan persoalan yang jauh lebih serius daripada sekadar metode evaluasi, yakni persoalan kejujuran kolektif berbangsa. Kita patut khawatir ketika jarum neraca justru menunjuk pada prestasi kebohongan yang kian dalam.

Angka Pintar, Nalar Tertinggal

Hari ini rapor anak-anak kita memang tampak pintar. Angkanya rapi, stabil, dan bergerak naik dengan optimisme seragam. Hampir tak ada yang tertinggal; semuanya “baik” dan terus membaik. Jika rapor dijadikan peta, pendidikan kita seolah berjalan pada jalur yang benar dan layak dibanggakan. Namun TKA membangunkan kita dari halusinasi itu. Ia menunjukkan bahwa peta tersebut terlalu indah untuk medan pendidikan yang sesungguhnya terjal, licin, dan berbatu.

Di sinilah satire pendidikan bekerja dalam senyap. Angka tumbuh lebih cepat daripada nalar. Anak-anak dibesarkan dalam keyakinan bahwa keberhasilan terutama diukur dari hasil akhir, bukan dari proses berpikir yang melahirkannya. Yang penting lulus dengan nilai spektakuler, sementara upaya memahami kerap menjadi urusan nomor sekian. Tak mengherankan bila banyak anak gagap ketika diminta menjelaskan alasan di balik jawaban yang mereka pilih. Mereka lebih terbiasa memilih opsi yang tersedia daripada merumuskan pertanyaan yang seharusnya lahir dari nalar mereka sendiri.

TKA hadir bukan untuk merendahkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kecakapan tidak bisa dipoles. Ia tumbuh perlahan, sering kali tidak nyaman, dan tidak selalu ramah pada grafik. Itulah fakta dasar pembelajaran. Justru karena itu, TKA yang terasa asing seharusnya diterima dengan sikap dewasa, terutama di tengah budaya yang lebih menyukai kepastian administratif ketimbang ketidaknyamanan intelektual.

Ironi ini harus diakhiri. Ketika nalar tertinggal, kita tidak boleh menyalahkan alat ukurnya. Sebuah cermin tidak bersalah ketika memperlihatkan wajah apa adanya. Dan, yang kita hadapi bukan krisis nilai ujian, melainkan krisis keberanian membaca kenyataan.

Sekolah (Bukan) Pabrik Ilusi

Dalam praktik hari ini, sekolah hidup di bawah berlapis tuntutan. Ia dituntut selalu tampak berhasil. Nilai harus baik, laporan harus rapi, peringkat harus aman, dan orang tua mesti merasa tenang sekaligus bangga. Dari titik inilah sekolah perlahan belajar bahwa yang paling dihargai bukan kejujuran proses belajar, melainkan kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Menjelang pembagian rapor, guru pun pasti bekerja keras oleh keharusan menata angka agar tampak indah. Nilai rapor menjadi keberhasilan semu yang membuat sekolah terlihat maju, meski sesungguhnya menyimpan banyak pekerjaan rumah.

Angka diproduksi bukan lagi untuk merekam proses belajar, melainkan untuk menjaga harmoni. Nilai berubah menjadi alat diplomasi: antara sekolah dan orang tua, antara guru dan sistem, serta antara kenyataan dan harapan. Dalam situasi seperti ini, kejujuran pedagogik kerap terasa seperti tindakan nekat yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang siap dicap sebagai pembangkang.

Guru berada di titik paling rawan. Mereka memahami kemampuan muridnya, tetapi sering dipaksa memilih antara jujur dan aman. Guru yang apa adanya berisiko dicap tidak kompeten. Guru yang “tidak kompromi dengan keadaan” justru dianggap tidak bijak. Maka kebohongan kecil perlahan menjelma menjadi kebenaran institusional. Ketidakjujuran ini bukan lahir dari niat jahat, melainkan dari sistem yang tak menyediakan ruang bagi kebenaran.

Pendidikan tidak pernah tumbuh dari ilusi. Ia lahir dari pengakuan atas keterbatasan. Pesan kuncinya sederhana: biarkan guru bekerja, dan jangan paksa mereka berbohong. Negara seharusnya melindungi kejujuran guru, bukan menuntut kepatuhan pada statistik. Setiap angka yang dipoles hari ini adalah pelajaran diam-diam bagi anak-anak bahwa kebenaran bisa dikompromikan.

Rapor Palsu, Pemimpin Rapuh

Dampak pendidikan yang berdamai dengan ilusi tidak berhenti di ruang kelas. Ia berjalan jauh, memasuki dunia kerja, ruang publik, hingga pusat pengambilan keputusan. Rapor yang terlalu rapi melahirkan kepercayaan diri yang rapuh. Dari sanalah tumbuh pemimpin minim kualifikasi: fasih berbicara, tetapi miskin nalar dan etika.

Hingga usia yang tidak lagi muda, bangsa ini masih mengalami krisis kepemimpinan. Banyak kebijakan lahir dengan mengabaikan data dan dikelola secara ceroboh. Itu adalah akumulasi panjang dari kebiasaan menghindari kebenaran yang tidak membuatnya nyaman. Ketika sejak awal seseorang belajar bahwa kegagalan cukup ditutupi, maka di level kuasa pun kebenaran cenderung dikaburkan.

TKA bukan aib nasional. Ia hanyalah cermin yang memantulkan posisi pendidikan kita hari ini. Yang patut dipersoalkan bukan rendahnya capaian, melainkan kebiasaan lama memusuhi cermin ketika bayangan diri tak sesuai harapan. Bangsa yang dewasa tidak memecah cermin hanya karena wajahnya tampak buruk. Ia justru berbenah setelah bercermin.

Karena itu, respons paling beradab atas hasil TKA bukanlah penyangkalan, apalagi pelunakan makna, melainkan keberanian mengembalikan kejujuran sebagai fondasi pendidikan. Guru harus dilindungi agar bekerja sebagai pendidik, bukan pemoles statistik. Hasil TKA yang jujur mungkin menyakitkan hari ini, tetapi menolak bercermin jauh lebih berbahaya. Dari keberanian menatap kenyataan itulah sekolah kembali menjadi ruang tumbuh nalar sehat dan kepemimpinan masa depan yang matang serta layak dipercaya publik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image