Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Matematika di Balik Penyebaran Hoaks

Edukasi | 2025-12-25 13:54:26

Di zaman digital saat ini, sebuah informasi bisa menyebar lebih cepat dari pada virus biologis. Cukup dengan satu klik tombol "bagikan", dalam beberapa menit, sebuah berita baik itu fakta maupun hoaks sudah sampai ke ribuan bahkan jutaan orang. Fenomena ini bukan hanya kebetulan, melainkan bisa dijelaskan secara akurat dengan model matematika yang sama yang digunakan para ahli epidemiologi untuk mempelajari penyebaran penyakit menular.

Ironi dari era informasi adalah semakin mudah kita mendapatkan informasi, semakin sulit pula membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hoaks terkait kesehatan, politik, hingga bencana alam sering kali lebih cepat menyebar dibandingkan informasi resmi yang jelas. Pertanyaannya: mengapa hal ini terjadi? Dan apa yang bisa dipelajari dari matematika tentang fenomena ini?

Dalam epidemiologi, para ilmuwan menggunakan model SIR (Susceptible-Infected-Recovered) untuk memperkirakan cara penyakit menyebar. Model ini membagi orang dalam kelompok-kelompok tertentu, yaitu orang yang masih bisa tertular (Susceptible), orang yang sudah tertular (Infected), dan orang yang sudah sembuh atau tidak lagi rentan (Recovered).

Menariknya, model yang sama juga bisa digunakan untuk memahami bagaimana informasi menyebar di media sosial. Bisa diliha pada gambar di atas, dalam kasus ini "Susceptible" merujuk pada pengguna yang belum melihat informasi tersebut, "Infected" adalah pengguna yang sudah menerima informasi dan bisa menyebarkannya, sedangkan "Recovered" adalah pengguna yang sudah melihat informasi tetapi memutuskan tidak lagi menyebarkannya, bisa karena sudah tahu kebenarannya, kehilangan minat, atau menyadari itu adalah berita palsu.

Model ini menggunakan persamaan matematika untuk menghitung perubahan jumlah orang dalam masing-masing kelompok. Salah satu variabel penting yang menentukan seberapa cepat informasi menyebar adalah "basic reproduction number" atau R . Angka ini menunjukkan berapa banyak orang yang kemungkinan akan terpengaruh oleh satu orang yang sudah terkena informasi. Jika R lebih besar dari 1, informasi bisa menyebar luas seperti penyakit. Jika kurang dari 1, informasi akan berhenti sendiri.

Seperti vaksin yang membantu menciptakan kekebalan kelompok terhadap penyakit, kita juga perlu menciptakan kekebalan kelompok terhadap hoaks. Dalam matematika, kekebalan kelompok tercapai ketika jumlah orang yang sudah imun cukup besar, sehingga tingkat penyebaran (R efektif) menjadi kurang dari satu, sehingga penyebaran berhenti.

Untuk hoaks, "vaksin"nya adalah literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Jika banyak orang di jaringan sosial tidak langsung membagarkan informasi tanpa memverifikasi, maka penyebaran hoaks bisa terhambat. Hitungan matematika menunjukkan kita tidak perlu semua orang kebal—cukup sekitar 70-80% populasi (tergantung R awal) sudah cukup untuk mengurangi penyebaran secara signifikan.

Strategi lainnya adalah mempercepat penyebaran informasi yang benar dengan menggunakan struktur jaringan yang sama. Platform media sosial bisa memprioritaskan konten yang telah diverifikasi melalui algoritma, sehingga konten yang benar bisa menyebar dengan cepat dan seimbang dengan hoaks.

Pertarungan melawan hoaks bukan sekadar perdebatan opini dengan opini, melainkan pertarungan melawan dinamika yang rumit dan berbasis matematika. Kita tidak cukup hanya mengandalkan kesadaran atau edukasi saja. Kita memerlukan pendekatan yang sistematis, didasarkan pada data, dan memahami cara informasi menyebar secara dasar.

Matematika mengajarkan kita bahwa dalam dunia yang saling terhubung secara cepat, tanggung jawab untuk memeriksa kebenaran sebelum membagikan informasi bukan hanya soal sikap pribadi tapi juga soal kesehatan keseluruhan sistem informasi. Setiap klik "bagikan" adalah bagian dari persamaan besar yang memutuskan apakah kita hidup dalam masyarakat yang informatif atau terjebak dalam lautan informasi palsu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image