Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdul Aziz Rabbani

Bayi Terbaik dari Laboratorium: Di Mana Batas Ikhtiar Manusia?

Agama | 2025-12-24 20:19:21
Sumber foto: https://mynucleus.com/

Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial ramai dibicarakan oleh perbincangan tentang Nucleus Genomics, sebuah perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat yang pada 5 Juni 2025 meluncurkan program terbarunya bernama Nucleus Embryo. Perhatian publik semakin besar ketika perusahaan ini menggunakan slogan “Have Your Best Baby”, sebuah diksi yang terdengar menjanjikan sekaligus memicu banyak tafsir. Tak sedikit netizen yang mengaggap bahwa teknologi ini memungkinkan orang tua memodifikasi bayi secara langsung, mulai dari fisik hingga kecerdasan, bahkan sejak masih berbentuk embrio.

Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Program yang dikembangkan Nucleus Genomics tidak bekerja dengan cara mengubah atau mengedit DNA bayi secara langsung. Teknologi ini digunakan dalam proses bayi tabung (IVF), dimana satu pasangan suami-istri dapat menghasilkan beberapa embrio di laboratorium. Embrio-embrio tersebut kemudian dianalisis profil genetiknya, lalu dipilih salah satu untuk ditanamkan ke rahim ibu yang sama. Dengan demikian, yang terjadi bukanlah modifikasi genetik, melainkan seleksi embrio berdasarkan data genetik yang secara alami sudah ada. Namun, di sinilah letak persoalan etikanya. Ketika embrio mulai dibandingkan dan dipilih dengan tujuan memperoleh yang “paling baik”, manusia tidak lagi sekadar berikhtiar menjaga kesehatan, melainkan mulai menilai kehidupan sejak awal berdasarkan kriteria tertentu. Hal ini menimbulkan masalah serius dalam ranah moral dan agama.

Dilema Moral di Balik Pilihan "Terbaik”

Di media sosial, kegelisahan soal teknologi ini muncul lewat komentar-komentar yang sederhana namun menohok. Ada yang bertanya, “ini melanggar moral gak sih?”, ada pula yang disimpulkan sebagai bentuk “ playing god ”, bahkan menafsirkan, “kalau semuanya bisa dipilih, terus di mana takdir Tuhan?” Reaksi seperti ini menunjukkan bahwa yang dipersoalkan publik adalah cara kita memandang kehidupan manusia.

Pertentangan moral pun menjadi sulit dihindari. Di satu sisi, teknologi seperti ini sering dipahami sebagai bentuk ikhtiar manusia untuk menghadirkan kehidupan yang lebih sehat dan mengurangi risiko penyakit genetik sejak dini. Dari sudut pandang ini, memilih embrio dipandang tidak jauh berbeda dari praktik medis lain yang bertujuan mencegah penderitaan sebelum kehidupan benar-benar dimulai. Namun di sisi lain, kegelisahan mulai muncul ketika logika “memiliki yang terbaik” diterapkan pada calon manusia. Saat embrio dibandingkan dan dipilih berdasarkan kriteria tertentu—baik kesehatan, kecerdasan, maupun potensi lainnya—cara kita memandang kehidupan pun perlahan berubah. Kehidupan yang seharusnya diterima sebagai anugerah berisiko dipersepsikan sebagai hasil seleksi, seolah-olah ada standar “lebih layak” dan “kurang layak” untuk dilahirkan. Di titik inilah dilema moral menguat: niat untuk berbuat baik dibayangkan dengan rasa tidak nyaman ketika manusia mulai menentukan nilai hidup sejak fase paling awal, sebuah kegelisahan yang sering dilabeli sebagai “ bermain tuhan ”, bukan semata-mata karena alasan agama, tetapi karena kekhawatiran bahwa tidak semua kehidupan lagi dipandang setara sejak awal keberadaannya.

Fenomena Nucleus Embryo ini tidak secara universal dianggap melanggar moral. Ia berada di tengah tarik ulur kewajiban antara moral untuk mencegah penderitaan (yang membenarkan seleksi) dan kewajiban moral untuk menjaga martabat dan fitrah kehidupan (yang mengecamnya sebagai bermain tuhan dan tidak bermoral).

Batas Kebolehan Rekayasa dan Seleksi Genetik dalam Perspektif Fatwa MUI

Berbeda dengan rekayasa genetik yang legal di Indonesia hanya untuk penelitian dan pengembangan vaksin, produk pangan, atau produk medis dengan aturan yang jelas, praktik yang mengubah DNA embrio secara permanen, misalnya dengan teknik CRISPR-Cas9 untuk tujuan enhancement (meningkatkan sifat non-medis), dilarang keras di Indonesia dan oleh MUI. Namun, jika teknologi genetik digunakan untuk tujuan pengobatan, misalnya mencegah penyakit genetik berat, hal ini masih dianggap boleh menurut Fatwa MUI Nomor 35 Tahun 2013.

Analoginya bisa kita bandingkan dengan operasi plastik. Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan bahwa operasi plastik dapat dilakukan jika bersifat rekonstruktif—memperbaiki bentuk atau fungsi tubuh akibat cacat, kecelakaan, atau penyakit. Tapi jika tujuannya semata-mata untuk mempercantik diri atau menambah estetika, haram, kecuali ada alasan medis yang jelas dan dilakukan oleh ahli yang kompeten.

Kembali ke seleksi genetik embrio, praktik seperti yang dilakukan Nucleus Embryo terjadi dalam proses bayi tabung (IVF). Menurut Fatwa MUI Tahun 1979, bayi tabung yang dibolehkan selama sperma dan ovum berasal dari pasangan suami-istri yang sah, dan embrio tidak dititipkan ke rahim orang lain.

Perlu dicatat bahwa hingga saat ini belum terdapat fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara khusus mengatur praktik seleksi embrio berbasis analisis genetik seperti Nucleus Embryo. Oleh karena itu, penilaian hukumnya masih mengacu pada prinsip-prinsip umum fatwa yang telah ada.

Tetapi muncul pertanyaan yang lebih rumit: apakah menyeleksi embrio tertentu untuk mencegah penyakit atau memilih yang “lebih sehat” dapat dibenarkan secara Islam?

Manfaat Medis sebagai Ikhtiar Menjaga Jiwa (Hifz al-Nafs) dan Prinsip Kehati-hatian


Dalam konteks medis, teknologi Nucleus Embryo dapat dipandang lebih dominan membawa manfaat sebagai bentuk ikhtiar manusia untuk mencegah penyakit genetik berat sejak tahap embrio. Melalui proses bayi tabung (IVF), analisis genetik memungkinkan pemilihan embrio yang secara medis lebih stabil tanpa mengubah atau merekayasa DNA, sehingga meningkatkan peluang kehamilan yang sehat, mengurangi risiko keguguran, serta meminimalkan penderitaan fisik dan psikologis anak di masa depan. Dari perspektif Islam, praktik ini masih dapat dibenarkan selama tujuan murni medis dan berorientasi pada pencegahan mudarat, sejalan dengan prinsip menjaga jiwa (hifz al-nafs). Meski demikian, kehati-hatian tetap diperlukan agar seleksi embrio tidak bergeser ke arah peningkatan non-medis yang berpotensi mengubah cara manusia memandang kehidupan dan melampaui batas ikhtiar yang diperbolehkan secara moral dan spiritual.

Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah kehati-hatian. Nabi ﷺ bersabda: السَّمْتُ الحَسَنُ وَالتُؤَدَّةُ وَالاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

“Perangai yang baik, termasuk kehati‑hatian dan ketenangan, adalah bagian dari kenabian.” (Sunan at‑Tirmidzi no. 1933)

Dalam konteks penggunaan teknologi seperti Nucleus Embryo, hadis tentang kehati-hatian (التؤدة) tidak hanya menuntut niat yang baik, tetapi juga menuntut sikap bijak dan tidak tergesa-gesa dalam praktik penggunaannya, termasuk membatasi tujuan pada aspek medis dan menghindari perpindahan ke arah peningkatan non-medis.

Al-Qur'an juga menekankan hal serupa: وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Selain kehati-hatian, syukur menjadi prinsip lain yang penting. Allah berfirman: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ“Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152)Dalam konteks seleksi embrio untuk perbaikan, prinsip ini mengingatkan bahwa manusia harus menerima dan bersyukur atas karunia Allah. Mengubah atau “meningkatkan” sifat non-medis bisa berarti mengabaikan nikmat Allah dan melampaui batas yang seharusnya.

Kesimpulan

Dari perspektif moral dan agama, seleksi genetik embrio menghadirkan dilema yang tidak sederhana. Di satu sisi, teknologi ini menyentuh wilayah sensitif karena melibatkan penilaian terhadap kehidupan manusia sejak tahap paling awal, sehingga memunculkan kekhawatiran tentang martabat, kesetaraan, dan fitrah penciptaan. Dalam Islam, kehidupan dipandang sebagai anugerah Allah yang tidak boleh direduksi menjadi objek seleksi berdasarkan standar “lebih baik” atau “lebih layak”. Oleh karena itu, seleksi embrio menjadi problematik secara moral ketika diarahkan pada peningkatan non-medis, seperti kecerdasan, fisik, atau sifat unggul, karena berpotensi melampaui batas ikhtiar dan prinsip dorongan bersyukur serta tawakal kepada Allah. Hingga saat ini, Majelis Ulama Indonesia belum mengeluarkan fatwa yang secara spesifik membahas seleksi embrio berbasis profil genetik untuk tujuan non-medis, sehingga kehati-hatian etis menjadi semakin penting.

Namun demikian, dari sudut pandang medis dan bioetika Islam, praktik seleksi embrio tidak dapat serta-merta ditolak secara mutlak. Selama dilakukan dalam kerangka bayi tabung yang sah, tanpa rekayasa atau pengubahan DNA, serta ditujukan untuk mencegah penyakit genetik berat, seleksi embrio dapat dipandang sebagai ikhtiar yang diperbolehkan demi menjaga jiwa (hifz al-nafs) dan menghindari mudarat yang lebih besar. Oleh karena itu, meskipun kehati-hatian tetap menjadi prinsip utama dan pengawasan etis sangat diperlukan, penulis cenderung membolehkan praktik ini selama tidak mengandung unsur enhancement non-medis dan tetap menempatkan teknologi sebagai sarana ikhtiar, bukan alat untuk mengendalikan atau “menyempurnakan” ciptaan Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image