Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ihsan Wiloejo

Pegadaian Syariah: Benar Sesuai Syariat atau Sekadar Label?

Agama | 2025-12-18 11:01:22

Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, termasuk pada sektor pegadaian syariah. Lembaga ini hadir sebagai alternatif dari pegadaian konvensional dengan klaim beroperasi sesuai prinsip syariat Islam, khususnya melalui akad rahn (gadai). Namun, di balik pertumbuhan tersebut, muncul pertanyaan mendasar yang patut diajukan secara kritis: apakah pegadaian syariah benar-benar telah menjalankan prinsip Islam secara substansial, ataukah sekadar menggunakan label “syariah” untuk kepentingan legitimasi dan pemasaran?

Dalam perspektif fiqh muamalah, akad rahn pada dasarnya diperbolehkan selama tidak mengandung unsur riba, gharar, dan kezaliman. Barang yang digadaikan tetap menjadi milik nasabah dan hanya berfungsi sebagai jaminan atas pinjaman. Lembaga pegadaian syariah tidak dibenarkan mengambil keuntungan dari pinjaman itu sendiri, melainkan hanya boleh menarik biaya riil atas jasa penitipan dan pemeliharaan barang (ujrah). Prinsip keadilan, transparansi, dan tolong-menolong menjadi fondasi utama yang membedakan pegadaian syariah dari praktik konvensional.

Masalah mulai muncul ketika praktik di lapangan tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip tersebut. Dalam beberapa kasus, besaran ujrah yang dikenakan kepada nasabah tampak tidak jauh berbeda dengan bunga dalam pegadaian konvensional, baik dari sisi perhitungan maupun dampaknya. Jika biaya jasa tersebut meningkat seiring dengan besarnya pinjaman, maka secara substansi ia berpotensi menyimpang dari semangat syariah, meskipun secara formal menggunakan istilah yang diperbolehkan.

Dari sisi tata kelola, pegadaian syariah di Indonesia sejatinya telah berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan serta diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). Namun, efektivitas pengawasan ini masih menjadi catatan. Keberadaan DPS sering kali lebih bersifat struktural daripada fungsional. Pengawasan terhadap produk, akad, dan praktik operasional belum sepenuhnya dirasakan oleh publik, sementara laporan kepatuhan syariah masih minim diakses secara terbuka.

Fenomena inilah yang kemudian melahirkan kekhawatiran akan terjadinya labelisasi syariah, yakni kondisi ketika nilai dan simbol Islam digunakan tanpa penerapan yang konsisten dalam praktik. Tentu tidak adil jika seluruh pegadaian syariah digeneralisasi demikian. Beberapa lembaga telah menunjukkan upaya serius untuk mematuhi ketentuan syariah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penguatan tata kelola dan pengawasan masih sangat diperlukan agar prinsip syariah tidak berhenti pada tataran normatif.

Pada akhirnya, tantangan utama pegadaian syariah bukan terletak pada ketiadaan aturan, melainkan pada konsistensi implementasi. Tanpa komitmen kuat terhadap kepatuhan syariah yang substantif, label “syariah” berisiko kehilangan makna dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, pegadaian syariah perlu terus memperbaiki tata kelola, meningkatkan transparansi, serta menjadikan prinsip Islam sebagai ruh operasional, bukan sekadar identitas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image