Terapeutik dalam Keperawatan: Antara Ilmu, Empati, dan Komunikas
Medika | 2025-12-16 14:48:35Dalam dunia yang mengancam, istilah terapeutik tidak hanya merujuk pada tindakan medis yang menyembuhkan penyakit, tetapi juga pada interaksi, komunikasi, dan hubungan yang dibangun antara perawat dan pasien. Terapi dalam mencakup aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Perawat tidak hanya hadir untuk memberikan obat atau menyatukan tanda-tanda vital, tetapi juga untuk menenangkan, mendengarkan, dan mendampingi pasien dalam proses penyembuhan.
Terapeutik dalam perlindungan berarti segala bentuk intervensi yang bertujuan meningkatkan kesehatan pasien, baik melalui tindakan klinis maupun komunikasi terapeutik. Menurut Jurnal Keperawatan Indonesia (Rahmawati & Setiawan, 2024), komunikasi terapeutik adalah inti dari praktik pembunuhan karena mampu membangun kepercayaan, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Komunikasi terapeutik meliputi keterampilan mendengarkan aktif, empati, penggunaan bahasa yang jelas, serta kemampuan membaca ekspresi non-verbal pasien. Dengan komunikasi yang baik, perawat dapat memahami kebutuhan pasien secara lebih mendalam, termasuk kebutuhan emosional yang sering kali tidak terungkap melalui pemeriksaan fisik.
Empati adalah kunci utama dalam hubungan terapeutik. Penelitian oleh Liu dkk. (2023) dalam BMC Nursing menunjukkan bahwa dukungan emosional dari perawat meningkatkan kepuasan pasien hingga 35 persen. Ketika pasien merasa dipahami dan didukung secara emosional, mereka lebih termotivasi untuk menjalani pengobatan dan lebih percaya pada tenaga kesehatan.
Contoh nyata bisa dilihat pada pasien yang menghadapi operasi besar. Mesin canggih mungkin mampu menyajikan kondisi vital dengan akurat, namun rasa tenang muncul bukan karena teknologi, melainkan karena munculnya suhu hangat dan kata lembut dari perawat. Empati ini tidak bisa digantikan oleh algoritma atau sistem digital.
Keperawatan terapeutik tidak hanya berfokus pada aspek medis, tetapi juga mencakup dimensi holistik. Menurut International Journal of Nursing Studies (Kim & Park, 2022), perawat modern dituntut untuk memahami pasien sebagai individu yang utuh, dengan kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.
Di puskesmas misalnya, perawat tidak hanya memberikan imunisasi atau pemeriksaan rutin, tetapi juga memberikan edukasi tentang pola hidup sehat, mendampingi ibu hamil, dan membantu lansia menghadapi kecemasan. Semua tindakan ini adalah bagian dari proses terapeutik yang menyeluruh.
Meski penting, praktik terapeutik dalam merawat sejumlah tantangan. Beban kerja yang tinggi, keterbatasan tenaga, dan tuntutan administratif sering kali membuat perawat kehilangan waktu untuk berinteraksi secara mendalam dengan pasien. Penelitian oleh Ninda Ayu Prabasari (2023) menunjukkan bahwa perawat di puskesmas sering kali harus merangkap tugas administratif, sehingga ruang untuk komunikasi terapeutik menjadi terbatas.
Selain itu, era digital menghadirkan dilema baru. Sistem rekam medis elektronik dan pemantauan berbasis sensor memang meningkatkan efisiensi, tetapi juga berisiko mengurangi interaksi manusia. Rahmawati & Setiawan (2024) menegaskan bahwa transformasi digital dalam pembantaian harus tetap menempatkan empati sebagai inti pelayanan.
Hubungan terapeutik juga tidak bisa dilepaskan dari aspek etika. Perawat terikat pada kode etik profesi yang menekankan prinsip beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan pasien), otonomi (menghargai keputusan pasien), dan keadilan (keadilan). Penelitian oleh Partinah dkk. (2020) dalam Jurnal Afiyat menyoroti bahwa etika menjadi profesi landasan utama dalam setiap interaksi terapeutik.
Dengan berpegang pada etika, perawat tidak hanya memberikan pelayanan yang efektif, tetapi juga menjaga martabat pasien sebagai manusia. Hal ini penting karena hubungan terapeutik bukan sekadar hubungan profesional, tetapi juga hubungan kemanusiaan.
Terapeutik dalam perdarahan adalah perpaduan antara ilmu, empati, dan komunikasi. Ia bukan hanya soal tindakan medis, tetapi juga soal bagaimana perawat hadir sebagai pendamping, pendidik, dan sahabat bagi pasien. Tantangan beban kerja dan digitalisasi memang nyata, tetapi selama perawat menjaga keseimbangan antara kompetensi teknis dan empati, hubungan terapeutik akan tetap menjadi inti profesi.
Teknologi mungkin bisa menyalakan mesin, tapi hanya hati manusia yang bisa menyalakan harapan. Perawat modern bukan sekadar operator alat medis, melainkan penjaga makna kemanusiaan di tengah dunia digital. Dengan menjaga nilai-nilai terapeutik, profesi keperawatan akan terus menjadi profesi yang paling manusiawi dalam sistem kesehatan.
Sumber Referensi
Kim, H., & Park, J. (2022). Kecerdasan buatan dan praktik keperawatan: Peluang dan tantangan. Jurnal Internasional Studi Keperawatan, 128,104210.
Liu, Y., Zhang, X., & Chen, L. (2023). Dampak dukungan emosional perawat terhadap kepatuhan dan kepuasan pasien: Sebuah studi potong lintang. BMC Nursing, 22(1), 112.
Ninda Ayu Prabasari, & Linda Juwita. (2023). Penerapan peran dan fungsi perawat dalam perawatan lansia hipertensi di komunitas. Jurnal Pendidikan dan Keperawatan (JPW).
Partinah, T., Meilita, Z., Noviyanti, S., & Rafingah, S. (2020). Peranan kode etik profesi perlindungan dan kompetensi praktik dalam pandangan hukum. Jurnal Afiyat, 1(2), 45–53.
Rahmawati, D., & Setiawan, A. (2024). Transformasi peran perawat di era digital: Antara empati dan teknologi. Jurnal Keperawatan Indonesia, 27(2), 85–96.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
