Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image josephine ananda sekararum

Fakta Tren Fast Fashion dan Bahaya yang Harus Anda Waspadai

Agama | 2025-12-16 14:13:59

Perkembangan zaman telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Mulai dari cara berkomunikasi, hingga ke cara berpakaian. Di masa kini, model-model pakaian tradisional sudah mulai ditinggalkan, banyak orang berlomba-lomba untuk tampil menarik dan mencolok dengan gaya se-modern mungkin. Industri fashion pun ikut berkembang dengan cepat untuk memenuhi permintaan konsumen. Fast fashion bukan hanya gaya hidup, namun juga tren yang dapat mendesain dan membuat berbagai pakaian dengan sangat cepat, jumlah yang fantastis, dengan harga terjangkau. Tentu hal ini sangat menggiurkan bagi banyak orang karena dianggap lebih praktis dan efisien.

picture from freepik.com

Sebelum dimulainya tren fast fashion ini, pada akhir tahun 1800, pakaian diproduksi dalam dua musim saja: musim dingin/musim gugur dan musim panas/musim semi. Seiring berkembangnya teknologi produksi pakaian dan permintaan akan tren sepanjang abad ke-21, sistem pembuatan pakaian dengan cepat menggunakan teknologi baru seperti mesin jahit, memungkinkan volume pakaian yang lebih besar untuk diproduksi dan dijual. Pada tahun 1990-an, siklus tren semakin cepat. Salah satu brand fashion luar negeri di Spanyol menginisiasi tren ini dengan merilis ratusan koleksi pakaian baru dalam seminggu. Pada 2023, salah satu brand besar dari China, memecahkan rekor dengan membuat hingga 10.000 desain pakaian terbaru dalam sehari, dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan pesaing-pesaingnya yang sudah lebih lama berada di dunia fashion. Dipercepat oleh adanya media sosial yang memfasilitasi perkembangan tren fashion dengan kecepatan lebih tinggi, kini brand-brand fast fashion memproduksi koleksi pakaian dalam 52 “musim mikro”.

Namun, apakah fast fashion adalah sebuah tren yang aman jika diteruskan dalam jangka panjang? Pada kenyataannya ada banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan. Mulai dari dampak lingkungan serius, kualitas pakaian yang membahayakan kesehatan, hingga eksploitasi pekerja. Masalah yang ditimbulkan kompleks dan berlapis.

Dampak Ekologis

Sekitar 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahun di seluruh dunia, dan 85% di antaranya berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar (padahal sebagian besar bahan ini dapat digunakan kembali). Didukumg oleh laporan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) tahun 2023, industri fashion bertanggung jawab atas hingga 10% emisi karbon global tahunan. Dikutip dari majalah Vogue 2021, Setiap tahun, 150 miliar pakaian diproduksi oleh industri fashion, di mana 30% tidak pernah terjual dan lebih dari 50% dibuang dalam waktu kurang dari setahun, yang menyebabkan kerugian senilai sekitar US$500 miliar.

Mencuci pakaian jenis ini menyumbangkan 500.000 mikroplastik ke perairan setiap tahunnya. Angka ini setara dengan 50 miliar botol plastik. Mencemari ekosistem laut, beserta ikan yang ditangkap dan dikonsumsi oleh manusia. Sebuah laporan tahun 2017 dari Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menyatakan bahwa pencucian tekstil sintetis seperti poliester menyumbang 35% dari mikroplastik di lautan, yang merupakan potongan plastik yang sangat kecil yang tidak pernah terurai secara hayati. Mikroplastik adalah penyumbang polusi sebesar 31% pada lautan. Industri fashion juga merupakan konsumen air terbesar ke dua di dunia. 1 kemeja katun memerlukan 700 galon air dalam produksinya, dan sepasang celana jeans memerlukan 2.000 galon air dalam produksinya. Pewarnaan tekstil adalah pencemar air terbesar kedua di dunia, karena air sisa dari proses pewarnaan sering dibuang ke selokan, sungai kecil, atau sungai besar.

picture from freepik.com

Kualitas Kain yang Berbahaya bagi Kesehatan 

Jenis kain yang digunakan untuk produk pakaian fast fashion adalah poliester, nilon, dan akrilik. Kain-kain sintesis ini memiliki harga yang rendah dan kualitas yang buruk, berbahaya bagi kesehatan. Poliester adalah jenis kain yang paling umum digunakan dalam industri ini. Kain yang berasal dari petrokimia ini laris karena biaya produksinya rendah, kemudahan dalam perawatan, tahan terhadap kerutan dan penyusutan. Poliester dibuat melalui reaksi kimia yang melibatkan batubara, minyak bumi, udara, dan air. Proses produksinya sendiri menimbulkan masalah lingkungan, dampak kesehatan potensial dari mengenakan pakaian poliester semakin di bawah pengawasan. Penggunaan tekstil berbasis minyak bumi seperti poliester secara berlebihan berarti merek-merek tersebut bergantung pada bahan bakar fosil untuk menciptakan produk baru. Poliester berbasis minyak bumi menyumbang sekitar 50 persen dari produksi serat.

Karena berasal dari plastik, poliester daya serap yang rendah terhadap keringat. Menyebabkan sensasi gerah, membuat kulit berkeringat lebih. Menjebak kelembapan dalam kulit dan membuat ruang bagi bakteri dan jamur berkembang. Sehingga dapat menimbulkan iritasi bagi kulit. Bahan kimia sisa dari proses produksi dan finishing dapat menyebabkan dermatitis kontak langsung atau reaksi alergi. Gas kimia yang keluar dari kain sintesis ini setelah baru selesai diproduksi juga dapat menyebabkan gangguan pernafasan seperti asma. Bahan kimia seperti penghambat api dan pelapis penolak air yang digunakan dalam kain poliester dapat mengganggu endokrin dan regulasi hormon dalam tubuh.

Eksploitasi Pekerja

Tingginya permintaan konsumen serta tuntutan target besar yang harus dicapai setiap minggunya, membuat industri di fast fashion mengeksploitasi pekerjanya. Pekerja pabrik garmen dipaksa bekerja selama 12-16 sehari selama 7 hari penuh, dengan gaji yang di bawah standar. Hanya kurang dari 2% dari 75 juta pekerja global menerima upah layak, dengan gaji bulanan di Bangladesh sekitar $96, kurang dari sepertiga kebutuhan dasar, akibat outsourcing ke negara murah. Tidak hanya upah, keamanan lingkungan kerja pun tidak sesuai standar. Lingkungan tanpa ventilasi, perlindungan keselamatan minim, yang menjadi salah satu penyebab kecelakaan kerja pada 2013 di salah satu pabrik garmen Bangladesh yang menewaskan 1.134 pekerja. Pekerja juga rentan terpapar gas kimia beracun dari residu proses produksi. Beresiko tinggi terkena penyakit paru, kanker, gangguan endokrin, keguguran, hingga kematian akibat paparan kimia dan fasilitas tidak aman.

Karena regulasi resmi dan pengawasan yang kurang, pekerja juga kerap diperlakukan tidak sepantasnya. Kekerasan fisik, pelecehan seksual, serta ancaman pemecatan umum terjadi untuk memenuhi target produksi cepat. Eksploitasi ini terjadi di beberapa negara berkembang seperti Indonesia dan Bangladesh. Mayoritas korban adalah perempuan, bahkan anak-anak yang dianggap mudah dikendalikan, menghambat SDGs seperti pekerjaan layak dan pendidikan anak. Praktik ini melanggar hak buruh, termasuk penggunaan anak dan imigran tanpa kontrak atau asuransi.

Solusi dari Fast Fashion

Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi kerugian-kerugian di atas adalah dengan menerapkan kembali old fashion dan 3R (reuse, reduce, recycle). Slow fashion adalah berbelanja dengan benar-benar memikirkan manfaat dari memiliki beberapa barang berkualitas tinggi yang memiliki daya tahan lama, serta dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Mengubah sudut pandang ke arah yang lebih terbuka terhadap keberlanjutan. Kurangi pembelian impulsif dengan decluttering lemari pakaian dan prioritaskan kualitas daripada kuantitas. Thrifting, padu-padankan outfit, atau jual-beli online second-hand seperti di Etsy mengurangi limbah tekstil. Solusi lainnya adalah dengan mengembangkan fashion barang bekas dan daur ulang. Harapannya, dengan memiliki kesadaran dan bijak dalam berbelanja serta memilah tren yang diikuti, kita juga dapat membantu mengurangi masalah-masalah yang ada di bumi ini demi kebaikan bersama di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image